Islamophobia di Barat (21)
Komisi Hak Asasi Manusia Islam (IHRC) yang berbasis di London, memilih pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi sebagai penerima Islamophobia Awards 2017.
Kejahatan terhadap Muslim Rohingya di Myanmar sudah sangat memilukan sehingga Suu Kyi mengalahkan para nominator lain penerima Islamophobia Awards 2017 termasuk Presiden AS Donald Trump, Ketua Partai Nasional Prancis Marie- Le Pen, dan Ketua Partai Kebebasan Belanda (PVV), Geert Wilders.
Masyarakat internasional mengkritik keras Suu Kyi karena kejahatan tentara Myanmar terhadap Muslim Rohingya dan pengusiran paksa ribuan orang dari negara itu.
Babak baru serangan militer Myanmar terhadap Muslim Rohingya dimulai pada 25 Agustus 2017. Tentara Myanmar membunuh ratusan ribu warga Rohingya, memperkosa ribuan wanita, dan membakar rumah-rumah mereka dengan tujuan pembersihan etnis. Kejahatan rutin militer Myanmar menyebabkan 620 ribu warga Muslim Rohingya melarikan diri ke Bangladesh.
Di Inggris sendiri, Islamophobia Awards 2017 diberikan kepada Tommy Robinson, mantan pemimpin kelompok fasis English Defense League, yang dikenal kerap merilis statemen anti-Islam. Nama-nama lain penerima hadiah tahunan ini adalah Katie Hopkins, presenter televisi, Nigel Farage, mantan pemimpin partai Kemerdekaan Inggris (UKIP), Anne Marie Waters, pendiri partai For Britain, dan Boris Johnson, menteri luar negeri Inggris waktu itu.
Sementara untuk kategori media, stasiun televisi Fox News dinobatkan sebagai peraih Islamophobia Award 2017.
Tentu saja, perilaku pemerintah Eropa dalam mendukung para tokoh anti-Islam bisa disaksikan dari cara mereka menyikapi kampanye Islamophobia di dunia. Salah satu dari perilaku ini adalah sikap mereka di hadapan pemerintah Myanmar.
Para pejabat dan politisi dari negara-negara Eropa telah berkunjung ke Bangladesh dan menyampaikan penyesalan atas situasi kritis yang dihadapi pengungsi Rohingnya. Mereka juga menyerukan agar pengungsi bisa dipulangkan kembali ke Myanmar.
Sebagian pejabat Eropa bahkan telah mengingatkan pemerintah Naypyidaw, tetapi tidak ada tindakan yang diambil oleh Barat untuk menghentikan kebijakan pembersihan di Rakhine. Padahal, negara-negara Barat memiliki semua instrumen yang diperlukan untuk menerapkan tekanan politik, terutama pada pemimpin de facto Myanmar.
Pada 26 Novemver 2017 lalu, Paus Fransiskus terbang ke Yangon, Myanmar untuk lawatan enam hari. Ribuan minoritas Katolik menyambut kedatangan Paus di Yangon, kota terbesar dan bekas ibukota Myanmar.
Populasi umat Katolik di Myanmar berjumlah sekitar 700 ribu orang. Mereka tidak dikekang untuk bertemu pemimpinnya dan menjalani hidup sesuai dengan ajaran agama Kristen. Jika genosida itu menimpa orang-orang Katolik, apakah Eropa akan tetap bersikap pasif terhadap tragedi kemanusiaan di Myanmar? Apakah mereka akan pergi mengunjungi Aung San Suu Kyi, penerima Hadiah Nobel Perdamaian?
Dalam turnamen olahraga, jika pemenang terbukti berbuat curang atau memakai doping, maka medalinya akan dicabut dan diserahkan kepada peserta di urutan kedua bahkan jika sudah berlangsung lama. Namun, aturan seperti ini tidak berlaku untuk para penerima Hadiah Nobel.
Suu Kyi menerima Hadiah Nobel Perdamaian karena telah melawan junta militer Myanmar selama bertahun-tahun. Namun, ia sekarang justru menutup mata atas pembunuhan ribuan orang Muslim Rohingya dan bahkan menjustifikasinya.
Pemimpin Myanmar ini bahkan tidak menghadiri sidang Majelis Umum PBB di New York karena untuk menghindari kritik dari para pemimpin dunia atas kasus genosida Muslim Rohingya.
Paus Fransiskus dalam pertemuan dengan Suu Kyi di Naypyitaw pada 28 November 2017, hanya menyeru pemerintah Myanmar untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menghormati semua kelompok dan etnisnya. Paus sama sekali tidak menggunakan istilah 'Rohingya' supaya para pemimpin Myanmar tidak tersinggung.
Pemerintah Myanmar tidak mengakui Muslim Rohingya sebagai warga negaranya dan menganggap mereka imigran dari Bangladesh.
Sikap lunak Barat tidak akan mendorong pemerintah Myanmar mengubah kebijakannya terkait minoritas Muslim Rohingya dan menerima kepulangan pengungsi. Pengalaman menunjukkan bahwa tanpa tekanan internasional, pemerintah Myanmar tidak akan mengubah perilakunya. Sikap negara-negara Eropa di hadapan Myanmar dan Suu Kyi juga menunjukkan bahwa mereka tidak akan bertindak lebih jauh selain mengkritik dan mengingatkan.
Sikap standar ganda Eropa juga kembali terlihat dalam kasus sidang Jenderal Ratko Mladic di Mahkamah Kejahatan Internasional (ICC) di Den Haag, Belanda. ICC menjatuhkan vonis seumur hidup terhadap Mladic, yang memimpin gerakan pembersihan etnis Kroasia dan Muslim di Bosnia.
Jenderal Ratko Mladic telah menjadi buron selama 16 tahun sejak berakhirnya pembersihan etnis atas Muslim Bosnia. Ia pada akhirnya ditangkap di sebuah rumah di kota Beograd dan diserahkan ke ICC.
Kejahatan utama Mladic adalah pembantaian massal delapan ribu pria dan anak-anak Muslim Bosnia di kota Srebrenica.
Namun, ada hal yang tidak disinggung oleh Mahkamah Kejahatan Internasional Den Haag selama persidangan Mladic yaitu peran negara-negara Eropa dalam pembersihan etnis Muslim Bosnia oleh tentara Serbia.
Bagaimana mungkin tragedi kemanusiaan terburuk bisa terjadi di perbatasan negara-negara Barat, yang mengaku sebagai pembela HAM. Mengapa negara-negara Eropa yang memiliki kemampuan intelijen dan militer, tidak mencegah tragedi tersebut.
Gelombang runtuhnya rezim Komunis juga mencapai Yugoslavia pada awal dekade 1990-an. Namun, pemisahan Bosnia-Herzegovina dari Yugoslavia diwarnai tragedi berdarah dan berlangsung lama. Hal ini bisa terjadi hanya karena satu alasan yaitu mayoritas penduduk Bosnia-Herzegovina beragama Islam.
Slovenia mencapai kemerdekaan hanya dalam waktu 10 hari setelah berperang dengan tentara Serbia. Perang Kroasia dengan Serbia untuk memerdekakan diri dari Yogoslavia hanya berlangsung selama tiga bulan. Makedonia terpisah dari Yugoslavia di bawah pimpinan Slobodan Milosevic, tanpa konflik berdarah. Namun, kemerdekaan Bosnia-Herzegovina diwarnai aksi berdarah yang mengerikan.
Tentara Serbia telah melakukan segala bentuk kejahatan terhadap warga Muslim Bosnia. Pembantaian massal, pemerkosaan massal perempuan, dan merobek perut wanita yang sedang hamil, adalah sebagian kecial dari kejahatan yang dilakukan tentara Serbia.
Sebanyak 100.000 orang Muslim tewas dalam perang Bosnia 1992-1995, di mana 8000 dari mereka dibantai di Srebrenica. Semua kejahatan ini terjadi di hadapan negara-negara Eropa.
Perdana Menteri Inggris waktu itu, John Major mengakui sebuah hakikat di tengah terjadinya tragedi pembersihan etnis Muslim. Major mengatakan bahwa ia tidak akan membiarkan sebuah negara Muslim berdiri di Eropa.
Pengakuan ini menunjukkan bahwa para penjahat Serbia tidak mengkhawatirkan sikap pemerintah Eropa dalam melakukan aksi jegalnya di Bosnia. Pada dasarnya, negara-negara Eropa terlibat dalam sebuah kejahatan terhadap Muslim dan mempromosikan kebencian terhadap umat Islam. (RM)