Islamophobia di Barat (27)
Dari Inggris – yang dikenal sebagai salah satu pusat demokrasi dan kebebasan beragama di dunia – terdengar laporan tentang diskriminasi agama di negara itu.
Sejarah Islam di Wales kembali ke permulaan abad ke-12 Masehi. Menurut sensus 2011, Muslim membentuk 46.000 orang dari 3 juta penduduk di wilayah itu. Persisnya 45.950 Muslim tinggal di Wales dengan perbandingan satu orang dari 60 warga Wales adalah Muslim.
Di Cardiff, ibukota negara Wales, perbandingannya satu orang dari 14 warga adalah Muslim. Setengah dari Muslim Wales tinggal di daerah yang serba kekurangan, sementara hanya 1,7% dari mereka tinggal di daerah gentrifikasi. Tingkat pengangguran sangat tinggi dan statistik penyakit di kalangan lansia banyak dilaporkan.
Salah satu problema Muslimah Wales adalah ketimpangan antara kebutuhan dan kondisi lingkungan kerja serta kebiasaan tradisional lingkungan keluarga.
Daud Salman (69 tahun), yang telah memimpin Cardiff Islamic Center selama 27 tahun, berbicara tentang perubahan yang mempengaruhi komunitas Muslim di Wales. Menurutnya, rekonstruksi dan pengembangan Butetown di Cardiff memiliki dampak negatif bagi kehidupan umat Islam.
Salman menuturkan seperti Muslim lainnya di Wales, ia merasa bahwa tingkat penganiayaan warga Muslim telah meningkat di negara itu. "Wanita Muslim saat mereka pergi ke jalanan dengan jilbab, menghadapi intimidasi buruk, padahal wanita Muslim sama sekali tidak menimbulkan masalah bagi masyarakat," ujarnya.
Rahimah Zaman, salah seorang ibu Muslim berbicara tentang sejumlah kasus diskriminasi di tempat kerjanya dan terhadap putrinya (12 tahun) di sekolah. Ia mengatakan, "Kata-kata yang didengar oleh pelajar Muslim di sekolah sangat mengerikan, seringkali sesuatu dilempar ke arah mereka dan bunyi suara ledakan dibuat untuk mengejek siswa Muslim. Bagaimana mereka harus menanggapi perilaku ini?"
Sejauh ini ribuan perempuan kulit putih telah memeluk Islam di Inggris Raya, di mana pada tahun 2010 saja, 100 ribu wanita dengan usia rata-rata 28 tahun memeluk Islam.
Rahimah Zaman terkait diskriminasi terhadap para wantia Muslim berkulit putih mengatakan, "Saya kenal wanita Muslim kulit putih, terpaksa bermigrasi ke daerah di luar Cardiff karena diskriminasi dan pelecehan, dan kendati kulitnya mereka sama dengan tetangganya, namun mereka pun diancam dan dibenci dikarenakan mengenakan jilbab."
Amanda Morris, keturunan Kanada yang memeluk Islam di usia 25 tahun, terkait diskriminasi terhadap gadis-gadis Muslim menuturkan, "Ada gadis-gadis yang menyembunyikan keislaman mereka di tengah keluarga, karena jika kedua orang tua mereka mengetahui hal tersebut, mereka akan diusir dari rumahnya."
"Salah satu guru sekolah menyelenggarakan program kunjungan ke masjid dan sinagoga Yahudi, di mana 30% orang tua tidak mengizinkan anaknya untuk mengunjungi masjid,” tambahnya.
Statistik Badan Perumahan Wales menunjukkan bahwa 2.941 kejahatan berlatar kebencian terhadap Muslim dicatat oleh polisi Wales antara tahun 2016 dan 2017.
Sejak tahun 2001, warga Muslim Wales menderita pelecehan dan serangan kebencian.
Ana Miah, Sekretaris Masjid Shah Jalal di Cardiff yang berlokasi di daerah bentrokan etnis, mengatakan salah satu penganiayaan yang saya lihat adalah ketika kami meninggalkan masjid, dan pada saat bersamaan seorang pria Wales menurunkan kaca mobilnya dan menghina kami.
Islamophobia dan sentimen anti-Muslim secara resmi telah memasuki literatur politik sebagian besar negara Eropa. Sekarang para pemimpin Eropa tidak lagi peduli jika mereka dituduh anti-Islam dan anti-imigran.
Perdana Menteri Hungaria, Viktor Orban menyebut pengungsi Muslim sebagai orang yang menginvasi untuk mencari kehidupan lebih baik. Ia menyampaikan hal itu saat ditanya alasan mengapa Hungaria tak mau menerima pengungsi.
"Kami tidak menganggap mereka pengungsi, mereka adalah penyerbu," tegasnya. Para pencari suaka ini dinilai sebagai orang yang akan merusak tatanan yang selama ini dibangun.
"Mereka bukan sedang menyelamatkan diri mereka, mereka pergi untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Oleh karena itu, pemerintah Hungaria lebih memilih menyebut mereka migran ekonomi daripada pengungsi," ungkap Orban.
Sikap anti-imigran dan anti-Islam telah menjadi satu paket di banyak negara Eropa. Para politisi anti-Islam di Eropa memberlakukan pembatasan yang ketat terhadap Muslim dengan alasan kehadiran imigran berdampak negatif pada ekonomi dan budaya serta komposisi demografis negara-negara mereka.
Salah satu politisi anti-Islam di Eropa adalah Milos Zeman, Presiden Republik Ceko. Dia dikenal karena menentang Islam dan pencari suaka di Eropa Timur. Milos Zeman menggambarkan krisis pengungsi pada 2015 sebagai "pendudukan terorganisir" di Eropa. Dia bersikeras bahwa integrasi Muslim dengan masyarakat Eropa merupakan sesuatu yang mustahil diwujudkan.
"Biarkan mereka hidup dengan budaya mereka sendiri di negara mereka masing-masing dan tak perlu membawanya ke Eropa," tegasnya.
Republik Ceko merupakan salah satu negara Eropa di mana kubu sayap kanan memiliki peran yang dominan di kancah politiknya. Pada Desember 2017, Praha menjadi tuan rumah pertemuan partai-partai ekstrem kanan dan anti-Islam di Eropa. Mereka menggunakan setiap kesempatan untuk mengubah slogan anti-Islamnya ke dalam bentuk undang-undang yang membatasi warga Muslim.
Ketua kampanye Partai untuk Kebebasan (PVV) di Utrecht, Henk van Deun mengatakan dia lebih suka masjid-masjid kota itu dibakar. Dalam sebuah wawancara dengan radio lokal, ketika seorang narasumber mengatakan bahwa ia ingin semua orang bangga dengan keberadaan masjid Utrecht ini seperti halnya mereka bangga dengan Dom Tower, Van Deun menegaskan, "Kami lebih suka semua masjid dibakar."
Ketika ditanya oleh pembawa acara apakah dia ingin mencabut pernyataannya, Van Deun berkata, "Kami menentang semua masjid dan berpikir mereka semua harus ditutup."
Mungkin dapat dikatakan bahwa tidak ada negara di Eropa yang tidak ditemukan perilaku diskriminasi agama dan sentimen anti-Islam di dalamnya.
Luksemburg adalah salah satu negara kecil dan maju di Eropa. Nama negara ini sangat jarang menghiasi media-media dunia kecuali jika ada hajatan pertemuan Uni Eropa, namun siapa sangka warga Muslim menghadapi serangan anti-Islam di negara tersebut.
Untuk melawan rasisme dan Islamophobia, sekelompok warga Muslim kemudian mendirikan Observatorium Islamophobia di Institut Kajian Budaya (Iredi) di kota Dudelange pada awal 2018. Lembaga ini bertujuan untuk mengumpulkan informasi tentang serangan-serangan berlatar Islamophobia, seperti diskriminasi dan kekerasan terhadap warga Muslim di Luksemburg.
"Setelah mengalami beberapa situasi Islamophobia, di mana korban adalah istri dan teman saya, saya menemukan diri saya berkewajiban untuk melindungi diri saya dengan satu atau lain cara," kata pendiri Observatorium Islamophobia Luksemburg.
Kelompok ini terdiri dari tiga hingga empat orang dengan berbagai spesialisasi, yang semuanya ingin tetap dirahasiakan identitasnya di media karena mereka sering menjadi korban pertama serangan Islamophobia.
Kegiatan Observatorium Islamophobia sepenuhnya dijalankan secara sukarela dan tidak memiliki iuran tetap. Diperkirakan ada antara 10.000 dan 15.000 Muslim yang tinggal di Luksemburg.
Para pemimpin Muslim dan kelompok-kelompok advokasi di seluruh dunia telah menyatakan keprihatinan tentang peningkatan gelombang Islamophobia, yang didefinisikan sebagai ketidaksukaan atau prasangka terhadap Islam atau Muslim. (RM)