Terorisme Media Ala Barat (1)
Program ini menelusuri upaya masyarakat internasional dalam menyusun undang-undang dan pedoman yang mengatur kegiatan satelit dan kelakuan negara arogan dalam melawan prinsip kebebasan informasi dengan cara menjatuhkan sanksi ilegal, menghentikan siaran satelit negara independen, atau memblokir akun-akun media sosial mereka.
Ada empat hipotesis yang bisa digambarkan setelah manusia memperoleh akses ke luar angkasa. Pertama, wilayah udara sampai luar angkasa harus menjadi ruang bebas, tidak dimiliki atau dikuasai oleh negara mana pun. Kedua, negara/pemerintah hanya mengendalikan wilayah udara pada ketinggian tertentu dan setelah melampaui batas yang ditetapkan, ia dianggap sebagai zona bebas.
Ketiga, negara/pemerintah berdaulat atas wilayah udara di atas perbatasan darat dan lautnya sampai ketinggian yang tak terbatas. Dan keempat, perlintasan yang aman oleh pesawat sipil setiap negara di atas zona udara negara lain, tidak dilarang. Namun, kendali wilayah udara tetap berada di tangan pemerintahan negara yang bersangkutan.
Berdasarkan Prinsip Kedaulatan Negara dalam Konvensi Paris 1919, kedaulatan penuh sebuah negara atas zona maritim dan udaranya diakui jauh melampaui ruang angkasa, namun prinsip ini tidak bertahan lama. Prinsip ini dilanggar oleh peluncuran satelit pertama Uni Soviet dan kemudian undang-undang yang mengatur tentang kedaulatan negara atas ruang angkasa tidak berlaku lagi.
Uni Soviet meluncurkan satelit pertamanya, Sputnik-1 ke luar angkasa pada 4 Oktober 1957. Terobosan pertama untuk menempatkan satelit di luar angkasa membuahkan hasil. Sputnik-2 diluncurkan ke orbit bumi pada 3 November tahun yang sama.
Langkah Uni Soviet ini menjadi tamparan bagi Amerika Serikat dari segi ilmiah dan politik. Namun setelah berbagai upaya, AS meluncurkan satelit pertamanya, Explorer ke orbit bumi pada 31 Januari 1958.
Langkah Uni Soviet memicu kekhawatiran tentang potensi militerisasi ruang angkasa. Sekitar 40 hari pasca peluncuran satelit Sputnik-1, sebagian negara Barat meloloskan resolusi 1148 di Majelis Umum PBB pada 14 November 1957. Uni Soviet dan delapan negara lain menentang resolusi tersebut.
Salah satu pasal resolusi 1148 adalah mengusulkan pembentukan tim pengawas untuk memastikan penggunaan ruang angkasa secara damai, termasuk objek-objek yang ditempatkan di orbit bumi. Pasal itu menekankan bahwa setiap kegiatan eksplorasi dan penggunaan ruang angkasa harus secara eksklusif untuk tujuan damai.
Pada 13 Desember 1958, Majelis Umum PBB mensahkan resolusi lain untuk membentuk sebuah komite khusus untuk penggunaan ruang angkasa secara damai. Ia disebut COPUOS atau Komite Badan PBB untuk Pemanfaatan Damai Antariksa (United Nations Committee on the Peaceful Uses of Outer Space).
Bapak fisikawan Iran, Profesor Mahmoud Hessabi menghadiri pertemuan COPUOS sebagai wakil pertama pemerintah Iran dan negara ini memainkan peran aktif di dalamnya.
Komite PBB ini ditugasi untuk secara teratur meninjau aspek ilmiah, teknis, dan hukum terkait penggunaan ruang angkasa. Komite harus mempresentasikan hasil-hasilnya pada sidang tahunan Majelis Umum PBB.
COPUOS mengeluarkan sebuah deklarasi pada 20 Desember 1961 yang menegaskan dua prinsip dasar: Pertama, ruang angkasa harus digunakan untuk kepentingan damai, dan kedua ruang angkasa adalah warisan bersama umat manusia.
Sejauh ini Majelis Umum PBB telah mensahkan lima resolusi mengenai kegiatan manusia di ruang angkasa dan juga untuk satelit. Resolusi tersebut adalah: Pertama, The Declaration of Legal Principles Governing the Activities of States in the Exploration and Uses of Outer Space 1963. Kedua, The Principles Governing the Use by States of Artificial Earth Satellites for International Direct Television Broadcasting 1982.
Ketiga, Principles Relating to Remote Sensing of the Earth from Outer Space 1986. Keempat, The principles Relevant to the Use of Nuclear Power Sources in Outer Space 1992. Dan kelima, The Declaration on International Cooperation in the Exploration and Use of Outer Space for the Benefit and in the Interest of All States, taking into Particular Account the Needs of Developing Countrise 1996.
Di samping aspek hukum dan politik, kemajuan pesat dunia di bidang teknis dan media juga memainkan peran penting dalam penyusunan aturan-aturan tersebut.
Pada 10 Juli 1962, satelit telekomunikasi pertama AS, Telstar diluncurkan ke orbit bumi sehingga memungkinkan penyiaran siaran langsung dari AS ke stasiun televisi Eropa. Langkah ini dengan sendirinya telah meningkatkan mobilitas masyarakat internasional untuk menyusun aturan bagi peluncuran dan aktivitas satelit.
Karena adanya persaingan ketat dan krisis kepercayaan antara Uni Soviet dan AS, Majelis Umum PBB kemudian meratifikasi resolusi 1802 (CVII/R) yang mengatur kegiatan pemerintah dalam eksplorasi dan penggunaan ruang angkasa. Resolusi ini meminta negara-negara anggota PBB untuk bekerja sama dalam pengembangan lebih lanjut hukum internasional luar angkasa.
Seorang pakar hukum Iran, Abbasali Kadkhodaei mengatakan, "Meski resolusi tersebut tidak mencakup larangan penggunaan ruang angkasa atau bahkan larangan propaganda terhadap negara lain, namun ia menekankan prinsip penggunaan ruang angkasa secara bebas yang sejalan dengan perdamaian dunia."
Piagam PBB melarang negara mana pun untuk melancarkan propaganda yang bertujuan memicu perang, memprovokasi kekuatan-kekuatan internal sebuah negara, dan merusak ketertiban negara lain.
Friksi tajam antar-negara mengenai prinsip satelit siaran langsung atau Direct Broadcasting Satellite (DBS) kembali mendorong PBB untuk menyusun aturan tentang teknologi DBS, yang mampu menyebarluaskan informasi secara cepat. Hukum internasional yang terkait dengan pengaturan DBS adalah Space Treaty 1967 dan resolusi 37/92 Majelis Umum PBB tahun 1982.
Pemungutan suara di PBB telah memperjelas bahwa mayoritas pemerintah bersedia mendukung prinsip persetujuan sebelumnya dari para penerima satelit siaran langsung (DBS).
Pada 1971, Konferensi Radio Uni Telekomunikasi Internasional mengeluarkan peraturan yang menekankan perlunya persetujuan sebelumnya dari para penerima untuk menyiarkan program-program satelit.
Masalah ini juga dituangkan dalam bentuk regulasi nomor 6222 pada konferensi radio tahun 1977. Peraturan ini hanya mengikat negara-negara anggota Uni Telekomunikasi Internasional (ITU).
Namun, pada akhirnya kemajuan pesat di bidang teknologi DBS khususnya dalam beberapa tahun terakhir, membuat peraturan tersebut mulai ditinggalkan.
Para pendukung prinsip kebebasan informasi beranggapan bahwa mereka berhak untuk meneruskan semua informasi yang mereka peroleh kepada pihak lain. Mereka merujuk pada Pasal 19 Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik.
Pada 1972, UNESCO mengadopsi sebuah deklarasi tentang Pedoman Penggunaan Siaran Satelit untuk Arus Informasi yang Bebas. Namun, AS dan Inggris menentangnya karena Pasal 2 Deklarasi ini menekankan penghormatan terhada kedaulatan negara lain.
Negara-negara Barat dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi, dari satu sisi ingin melancarkan propaganda media dan menyudutkan negara-negara independen, dari sisi lain mereka justru menghapus akun-akun media sosial milik kelompok atau negara independen atau memutuskan siaran satelit negara lain.
Pendekatan yang diadopsi oleh Barat telah memunculkan sebuah istilah baru yang disebut "terorisme media" yang akan kita bahas lebih lanjut di seri berikutnya. (RM)