Des 05, 2019 19:22 Asia/Jakarta

Enam negara anggota Uni Eropa akan ikut menggunakan skema barter melalui instrumen untuk mendukung perdagangan dengan Republik Islam Iran yang disebut sebagai Instrument in Support of Trade Exchange (INSTEX).

Keenam negara itu adalah Belgia, Denmark, Finlandia, Belanda, Norwegia, dan Swedia. Mereka akan mengikuti jejak Perancis, Jerman dan Inggris yang merupakan pemrakarsa instrumen ini. Melalui INSTEX, perdagangan dengan Iran tidak perlu menggunakan dolar AS.

INSTEX dirancang untuk melindungi perdagangan dengan Iran di tengah pemberlakuan sanksi ketat Amerika Serikat. Pemberlakukan sanksi dan langkah tekananan maksimum terhadap Iran dilakukan AS setelah Washington secara sepihak keluar dari perjanjian nuklir JCPOA pada 8 Mei 2018.

Perancis, Jerman, dan Inggris mengeluarkan pernyataan bersama pada 1 Desember 2019. Disebutkan bahwa sebagai pemrakarsa kepemilikan saham INSTEX, Perancis, Jerman dan Inggris menyambut dengan hangat keputusan Belgia, Denmark, Finlandia, Belanda, Norwegia, dan Swedia, untuk bergabung dengan INSTEX sebagai pemegang saham.

INSTEX yang berbasis di Paris berfungsi sebagai lembaga kliring yang memungkinan Iran terus menjual minyak. Sebagai timbal baliknya, Iran dapat mengimpor produk dari Uni Eropa. Namun hingga sekarang, belum ada transaksi yang menggunakan sistem tersebut.

Menteri Luar Negeri Republik Islam Iran Mohammad Javad Zarif pada tanggal 2 Desember 2019 di akun Twitternya menulis, alih-alih ancaman arogan atau janji kertas kosong, tiga negara Uni Eropa dan pemegang saham INSTEX, Swedia di masa depan, harus mulai dengan sesuatu yang sangat sederhana; minimal tugas kemanusiaan.

Dalam tweetnya itu, Zarif juga meminta perusahaan produk medis Swedia Molnlycke Health Care untuk menjual produk yang memungkinkan bagi anak-anak Iran yang menderita EB untuk bisa menutupi luka mereka. Sebab, sejak AS memulihkan sanksi terhadap Iran, perusahaan itu enggan menjual perban luka untuk penderita EB di Iran.

Pada tanggal 2 Desember 2019, Zarif dalam tweetnya menulis, sekali lagi mengakui bahwa terorisme ekonomi terhadap Iran dirancang untuk kelaparan, dan dalam hal pasokan medis, untuk membunuh warga negara kita yang tidak bersalah.

Sanksi maksimal yang diberlakukan kembali oleh AS terhadap ekonomi Republik Islam Iran ternyata juga telah menghambat pengiriman obat-obatan dan peralatan perawatan yang diperlukan untuk pasien Epidermolysis Bullosa (EB).

AS menarik diri dari perjanjian nuklir JCPOA (Renvana Aksi Komprehensif Bersama) pada Mei 2018 dan menerapkan kembali berbagai sanksi ekonomi terhadap Iran.

Ketua LSM Iran yang membantu pasien EB, Hujjatul Islam Sayid Hamid Reza Hashemi Golayegani dalam konferensi pers pada 31 Oktober 2019 mengatakan, pasokan obat-obatan dan perban adalah kebutuhan utama pasien EB di Iran yang sulit didapat sejak penerapan kembali sanksi AS terhadap negara ini Iran pada Mei 2018.

"Sebagai contoh, perban ukuran A4 untuk pasien EB menghabiskan biaya hingga dua juta tomans ($ 166) untuk setiap pasien. Itu pun juga tidak bisa dibeli. Perban seperti itu dibuat oleh banyak negara tetapi yang terbaik dibuat di Swedia," imbuhnya.

Saat ini, diperkirakan ada sekitar 1.200 pasien EB di Iran. Sanksi AS telah membuat Swedia tidak lagi memasok perban pelindung untuk pasien EB di Iran, dan menyebabkan 15 anak yang mengidap penyakit ini meninggal dunia.

"Setidaknya 15 anak Iran yang menderita epidermolysis bullosa telah meninggal sejak AS meluncurkan sanksi baru terhadap Iran pada bulan Agustus," kata Hashemi Golayegani pada 10 November 2019.

Hal ini terjadii, lanjut Hashemi Golayegani, karena perusahaan medis Swedia yang menyediakan perban pelindung untuk pasien EB telah menghentikan pasokan karena pembatasan dan sanksi AS.

Penderita EB dikenal sebagai "anak-anak kupu-kupu" karena kulit mereka serapuh sayap kupu-kupu sehingga pasien EB perlu perawatan khusus, bahkan gesekan ringan atau benjolan menyebabkan lepuh parah pada kulit yang sangat menyakitkan.

Mereka sering mengalami kesulitan dengan kegiatan sehari-hari seperti berjalan, makan dan bahkan bernapas, tetapi tanpa perban pelindung yang tepat, penderitaan mereka akan semakin bertambah dan memilukan.

Perusahaan-perusahaan Eropa menolak untuk melakukan bisnis dengan Iran karena takut atas sanksi Amerika. Mereka menghentikan perdagangan barang-barang kemanusiaan, seperti makanan, obat-obatan dan peralatan medis.

Sejak pemulihan sanksi AS terhadap Iran, perusahaan produk medis Swedia Molnlycke Health Care telah berhenti memasok perban Mepilex yang dipercaya di seluruh dunia untuk mengobati berbagai luka kronis dan akut, termasuk pada pasien EB.

Sebelumnya, Wakil Tetap Iran untuk Kantor PBB di Jenewa Esmayeel Baqayee Hamaneh mengecam AS karena menjatuhkan sanksi yang secara global dianggap ilegal. Dia menegaskan bahwa AS melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia dengan menghalangi akses pasien ke obat-obatan yang diperlukan.

Baqayee Hamaneh dalam pidatonya di Pameran Pencapaian HAM di Jenewa menyebut "sanksi buta dan tidak manusiawi" AS sebagai salah satu tantangan yang melanggar HAM rakyat Iran, termasuk hak untuk kesehatan dan hak akses gratis untuk obat-obatan dan perawatan.

Menteri Kesehatan Iran Saeed Namaki mengutuk sanksi medis AS terhadap negaranya dan menyerukan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk mengambil tindakan terhadap Washington.

"Sanksi kejam AS yang menghalangi akses rakyat Iran ke obat-obatan, peralatan medis, dan bahan makanan mengancam kesehatan Iran dan merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan," kata Namaki ketika berpidato di konferensi para menteri kesehatan negara-negara Mediterania Timur di Tehran.

Dia menambahkan, Iran berkomitmen untuk menyediakan layanan kesehatan dan kebersihan untuk semua orang yang tinggal di negara ini, termasuk Syiah, Sunni, Yahudi, Kristen, Zoroaster, dan bahkan tahanan yang telah menerima hukuman mati.

Menkes Iran menyerukan WHO agar tidak mengizinkan penghasut perang AS untuk mengancam kesehatan masyarakat dengan sanksi dan tekanan. (RA)