Krisis Air Global; Kekhawatiran dan Harapan (8)
Krisis ekonomi dan hancurnya demokrasi oleh kalangan kaya dan bahkan presiden Amerika bukan masalah yang paling penting. Tapi ada isu yang lebih besar yang mengancam masa depan umat manusia. George Monbiot
Dari mana makanan manusia berasal? Seberapa besar dampak krisis air bagi keamanan pangan di masa depan?
Di bagian sebelumnya kami telah jelaskan bahwa air sejak lama merupakan faktor pembangunan di dunia. Manusia di kuno hidup di dekat sungai dan bercocok tanam. 97 persen sumber air tersebut adalah asin dan sangat sedikit yang dimanfaatkan manusia secara langsung. Selain itu, sekitar 1,76 persen air di muka bumi dalam bentuk kristal dan es serta berada di luar akses manusia. Sementara yang tersisa berada di kedalaman bumi.
Penggunaan metode baru pertanian dan penghematan air, merupakan faktor vital untuk meraih tujuan jaminan ketahanan pangan kolektif di tengah meningkatnya populasi global. Berdasarkan prediksi Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) selama 30 tahun mendatang, populasi dunia membutuhkan jaminan pangan 30 persen lebih banyak.
Sebagian besar peningkatan produk ini diraih oleh sektor pertanian dengan sistem budidaya padat (lahan sempit tapi hasil lebih besar) yang membutuhkan pengairan. Dengan demikian akses dan persaingan terkait sumber air menjadi kendala utama umat manusia dan sejak kini harus dipikirkan pengganti mekanisme penyimpanan air untuk produksi makanan.
Reformasi sistem produksi di sektor pertanian merupakan solusi pertama di bidang peningkatan level pemanfaatan air dan konsumsi pertanian. Dengan memanfaatkan benih yang telah diperbaiki, peningkatan dan kualitas kesuburan tanah serta pemanfaatan seluruh metode maju pertanian secara bersamaan mampu meningkatkan produksi dan penghematan air. Sementara penggunaan metode efektif pengairan dan pemulihan metode ekstraksi air juga sangat penting.
Sektor pertanian dengan konsumsu lebih dari 70 persen air yang diekstraksi tercatat sebagai konsumen paling besar. Untuk produksi diperlukan air cukup besar. Contohnya untuk memproduksi satu kilogram beras dibutuhkan sekitar 1-3 meter kubik air.
Hasil penelitian FAO di 93 negara berkembang menunjukkan bahwa sumber daya air menurun di negara-negara ini. Padahal tidak mungkin untuk mengganti sumber daya ini. Sepuluh negara berada dalam kondisi kritis, yang berarti mereka perlu mengkonsumsi sekitar 40% dari total sumber daya air terbarukan mereka untuk memasok air yang dibutuhkan oleh sektor pertanian mereka. Delapan negara lainnya menghadapi kekurangan air yang serius, dan negara-negara ini juga harus mengalokasikan 20% dari total sumber daya air terbarukan mereka untuk pertanian.
Meskipun negara-negara berkembang berfokus pada pertanian irigasi dan kering untuk menyediakan makanan mereka sendiri, banyak hasil pertanian harus disediakan melalui lahan irigasi. Menurut perkiraan FAO, jumlah lahan irigasi di negara-negara berkembang diperkirakan akan meningkat sebesar 20% pada tahun 2030. Dengan meningkatnya kepadatan tanaman, area budidaya dapat ditingkatkan dari 250 juta hektar menjadi 320 juta hektar. Menyediakan air yang dibutuhkan untuk peningkatan level ini juga membutuhkan pemanfaatan optimal setiap tetes air.
Kendala ketahanan pangan dan air serta kelangkaan lahan dimulai. PBB di laporannya mengumumkan berakhirnya kesuburan tanah. Riset para pakar PBB menunjukkan bahwa jika kondisi saat ini terus bertahan, lahan yang kita manfaatkan untuk memproduksi makanan hanya akan tetap subur hingga 60 tahun kedepan. Menggambarkan kondisi menakutkan ini sejak saat ini dapat disakkasikan dengan penurunan 20 persen produksi pertanian global, mayoritasnya disebabkan oleh kerusakan tanah.
Saat ini kita tengah menyaksikan terbentuknya beragam krisis. Laut di mana-mana dipenuhi sampah plastik. Meski peralatan nelayan dari hari ke hari semakin canggih dan kapal raksasa berangkat ke samudra untuk menangkap ikan, namun setiap tahun hasil tangkapan ikan turun satu persen. Organisme air mulai mengalami kepunahan.
Pola pembebasan lahan yang sama oleh petani kecil berlanjut di laut. Perusahaan raksasa menggantikan nelayan kecil untuk menangkap ikan, bukan mereka yang membutuhkan makanan, tetapi untuk orang kaya yang membutuhkan lebih sedikit tetapi lebih banyak uang. Hampir tiga miliar orang di seluruh dunia menghasilkan sebagian besar kuota protein untuk makanan laut. Di mana kita harus mendapatkan makanan laut saat tren saat ini berlanjut?
Produktivitas ternak industri sangat rendah. Saat ini, 36 persen kalori yang diproduksi dan 53 persen protein yang dihasilkan dari gandum dan kacang-kacangan digunakan untuk pakan ternak. Dua pertiga dari makanan ini hilang karena proses pakan ternak. The Guardian, berdasarkan data dari seluruh dunia, menyimpulkan dalam sebuah laporan bahwa diperlukan satu sentimeter persegi tanah untuk menghasilkan setiap gram protein dari tanaman (kacang-kacangan dan kacang polong). Luas lahan yang dibutuhkan untuk menghasilkan jumlah protein hewani yang sama dengan satu meter persegi. Artinya, seratus kali lebih banyak.
Tentu saja, banyak lahan yang digunakan untuk peternakan mungkin tidak cocok untuk pertanian. Tetapi area ini memainkan peran kunci dalam konservasi satwa liar dan kelestarian ekosistem. Lahan basah mengering. Pohon-pohon ditebang dan bibitnya diekstraksi dari akarnya. Hewan karnivora diburu, dan vegetarian diusir dari arena alam, dan semakin banyak daerah liar yang terkuras. Hutan hujan tropis Madagaskar dan Brasil dihancurkan untuk memberi ruang bagi lebih banyak produksi daging sapi.
Kami tidak memiliki cukup lahan untuk menghasilkan makanan yang kami butuhkan saat ini. Apalagi lahan lebih banyak untuk kian rakus dan konsumsi daging. Mengubah tanah yang dapat memberi makan orang miskin di dunia menjadi peternakan penghasil daging sebenarnya mengambil makanan dari mulut orang miskin di dunia. Dan itu akan sepenuhnya menghapus sudut planet kita dari keanekaragaman hayati.
Sejak awal abad ke-21, lahan seluas setengah dari tanah Iran telah secara paksa diambil dari orang miskin dan diubah menjadi pertanian industri besar. Pertanian yang menghasilkan bukan makanan orang-orang di wilayah itu yang memproduksi tanaman yang diminta di negara-negara kaya.
Tentu saja, ini adalah krisis yang menghancurkan, tetapi bahkan ini bukan keseluruhan cerita. Dengan meningkatnya tingkat pendapatan publik di seluruh dunia, diet banyak orang bergeser dari makanan nabati menjadi protein hewani. Produksi daging meningkat empat kali lipat dalam setengah abad terakhir, tetapi ada banyak perbedaan antara orang-orang di negara miskin dan kaya. (Konsumsi global rata-rata adalah setengah dari Inggris dan sepertiga dari Amerika Serikat, negara-negara yang mengonsumsi lebih banyak daging, tetapi menghancurkan lebih banyak tanah daripada yang mereka tanam) Dari mana semua makanan ini berasal?
Bahkan jika kita andaikan bahwa populasi bumi stagnan, perubahan pola makan seperti ini tidak akan terus langgeng. Kini jika kita tambahkan laju populasi dunia, akan terlihat bahwa seberapa besar peningkatan konsumsi daging akan membuat manusia kelaparan. PBB memprediksikan bahwa konsumsi daging di tahun 2030, 70 persen lebih banyak dari tahun 2010. Ini adalah peningkatan tiga kali lipat populasi dunia dalam kurun waktu tersebut.
Akibat sejumlah faktor, termasuk laju pertumbuhan ini, permintaan konsumsi daging sebagian besar lahan dialokasikan untuk peternakan. Mengingat laju saat ini, hingga tahun 2050 dua kali lipat dari lahan yang ada di tahun 2005 harus dialokasikan untuk sektor ini. Tidak ada peluang yang cukup di lahan untuk memenuhi permintaan saat ini.
Berdasarkan laporan Institut Manajemen Air Internasional (IWMI), isu cuaca dan iklim yang tidak dapat diprediksi membutuhkan investasi makro dalam memberikan keragaman opsi penyimpanan air sehingga masyarakat internasional mampu melalui mekanisme ini melawan kondisi tak tentu seperti ini.
Saat ini jutaan petani yang bergantung pada pertanian berporos irigasi dalam kondisi penuh riskan dan bahaya akibat penurunan akses terhadap air yang tidak dapat diprediksi. Kondisi ini sebuah peringatan dan perubahan iklim yang tak tentu serta data produsen pangan dunia sampai pada titik di manan menurut pengakuan pakar global, dibutuhkan pandangan baru dan keseriusan lebih besar untuk mengambil manajeman dan pengelolaan air.
Sekitar 66 persen dari total lahan pertanian produksi tanaman tidak terairi, padahal di Afrika sekitar 94 persen lahan pertanian bergantung pada tadah hujan. Dan mengingat data ini, para pakar memprediksikan sekitar 500 juta orang di Afrika dan India akan mendapat manfaat dari reformasi pengelolaan air pertanian.
Sangat disayangkan meski curah hujan tinggi, kita masih tidak mampu memanfaatkannya secara maksimal. Misalnya, para petani Afrika sebelumnya memiliki pengatahuan mengenai waktu yang tepat untuk pembibitan sehingga mampu menghasilkan panen lebih baik, tapi kini merekat tidak lagi mampu memprediksikan waktu turun hujan.
Oleh karena itu, petani seperti ini yang kehidupan dan pendapatannya bergantung sepenuhnya terhadap turunnya hujan, untuk menghindari kerugian memanen tanaman mereka lebih cepat dan kemudian menanam bibit yang biasa dan tidak terlalu berguna. Mereka menyadari bahwa bibit yang mereka tanam kapan pun bisa musnah disiram air hujan atau kering karena hujan yang tidak kunjung turun.
Di kondisi seperti ini, harus diakui bahwa perubahan iklim dari hari ke hari menambah ketidakpastian dan hasilnya juga sangat mengkhawatirkan.