Feb 24, 2020 16:44 Asia/Jakarta
  • Potret wanita Muslimah Inggris.
    Potret wanita Muslimah Inggris.

Parlemen Denmark pada Mei 2018 menyetujui undang-undang yang melarang pemakaian burka dan niqab di tempat umum. Ratusan orang melakukan aksi protes di Denmark untuk menolak undang-undang tersebut.

Para pengunjuk rasa mengenakan niqab di Kopenhagen. Sekitar 1.300 warga Denmark dari kalangan Muslim dan non-Muslim turun ke jalan-jalan untuk memprotes larangan niqab dan menuduh pemerintah melanggar hak perempuan dalam masalah berpakaian.

Para pengunjuk rasa yang rata-rata mengenakan niqab atau burka, bergerak dari distrik sayap kiri, Norrebro ke kantor polisi Bellahoj di pinggiran ibukota. Di sana, mereka membentuk rantai manusia dan kemudian bergerak kembali ke Norrebro sebelum membubarkan diri.

Para demonstran meneriakkan slogan-slogan "Tidak ada tempat untuk orang-orang rasis di jalan kami" dan "Hidup saya, pilihan saya" selama aksi yang berlangsung tiga jam itu.

"Kita perlu mengirim sinyal kepada pemerintah bahwa kita tidak akan tunduk pada diskriminasi dan undang-undang yang secara khusus menargetkan minoritas agama," tegas Sabina (21 tahun), seorang mahasiswa yang mengenakan niqab kepada kantor berita Reuters, dan meminta agar nama lengkapnya tidak ditulis.

Sabina adalah satu dari sekitar 150-200 wanita Muslim di Denmark yang setiap hari mengenakan pakaian niqab atau burqa yang menutupi wajah atau seluruh tubuh. Warga Muslim berjumlah sekitar 5 persen dari 5,7 juta populasi Denmark.

Berdasarkan undang-undang tersebut, polisi dapat memerintahkan perempuan untuk melepas niqab mereka atau memerintahkan mereka meninggalkan tempat umum. Menteri Kehakiman Denmark, Soren Pape Poulsen mengatakan aparat keamanan akan mendenda mereka dan meminta mereka pulang. Denda dimulai dari 1.000 krone Denmark ($ 160) untuk pelanggaran pertama dan hingga 10.000 krone untuk yang keempat kalinya.

Terlepas dari bahasanya yang umum, undang-undang ini secara luas ditafsirkan sebagai diskriminasi terhadap Muslim Denmark serta melanggar hak perempuan untuk kebebasan berekspresi dan beragama. Para kritikus menganggap undang-undang itu sebagai alasan utama meningkatnya sentimen anti-imigran, mengingat sangat sedikit sekali jumlah wanita Muslim di Denmark yang benar-benar mengenakan penutup wajah.

"Jika maksud dari undang-undang ini adalah untuk melindungi hak-hak perempuan, ini jelas-jelas gagal," kata Fotis Filippou, Wakil Direktur Amnesty International untuk Eropa. "Sebaliknya, undang-undang ini mengkriminalisasi perempuan akan cara mereka berpakaian," tambahnya.

Aksi protes terhadap UU larangan burka dan niqab di Denmark.

Martin Henriksen, seorang anggota parlemen dari partai sayap kanan Rakyat Denmark – yang mengusulkan larangan itu – mengatakan ia sangat senang dengan kemajuan aturan tersebut. "Kami percaya ini adalah langkah penting bagi negara kami dan kami berharap ini akan mengilhami negara lain untuk melakukan hal yang sama. Itu tidak dapat disandingkan dengan budaya dan nilai-nilai Denmark," ujarnya.

Henriksen menjelaskan bahwa Partai Rakyat Denmark ingin melawan "Islam politik" dan "kelompok-kelompok fundamentalis."

Sikap ini menunjukkan bahwa aturan yang melarang penggunaan burqa sepenuhnya bermotif politik dan harus dipandang dalam konteks Islamophobia di Denmark. Sejauh ini belum ada laporan pelanggaran hukum, atau kejahatan dan aksi terorisme dengan mengenakan burka dan niqab, sehingga ia harus dilarang dengan alasan keamanan.

Di Austria, Prancis, dan Belgia juga ada larangan penggunaan burka dan niqab. Semua negara ini mengklaim bahwa larangan itu tidak menargetkan agama tertentu. Namun, mereka tidak melarang penggunaan penutup kepala, sorban Sikh, dan kippah Yahudi. Kontradiksi ini adalah contoh lain dari bentuk sentimen anti-Islam yang dijalankan di sejumlah negara Eropa.

Seorang wanita Muslim Denmark menjadi orang pertama yang didenda karena mengenakan niqab. Sara, sanita keturunan Turki ini, dijerat dengan hukum baru mengenai larangan penggunaan burka dan niqab di tempat umum. Dia didenda 1.000 krone karena menolak melepas cadarnya. Dia adalah anggota kelompok Kvinder I Dialog (Women In Dialogue) yang menentang larangan penggunaan burka dan niqab di Denmark.

"Saya harus menjadi diri saya sendiri dan bertindak berdasarkan apa yang saya yakini, atau saya harus berlutut di hadapan sesuatu yang saya anggap salah. Mandela dipenjara selama 27 tahun karena berperang melawan Apartheid. Tetapi ketika dia dibebaskan, dia menjadi Presiden Afrika Selatan," ujar Sara kepada wartawan Deutsche Welle.

Para pendukung larangan burka dan nikaq menganggap model pakaian seperti itu sebagai "simbol penindasan terhadap perempuan" dan tidak dapat diterima. Namun, para kritikus mengatakan penerapan aturan semacam itu selain melanggar hak individu, juga merupakan keputusan yang tidak perlu dan tidak proporsional.

Amnesty International menyebut aturan yang diloloskan oleh parlemen Denmark, sebagai perlakuan diskriminatif terhadap hak-hak perempuan. Para pendukung larangan ini bahkan tidak memiliki alasan, yang bisa memuaskan lembaga-lembaga yang lahir dari sistem liberal demokrasi Barat.

Fotis Filippou, Wakil Direktur Amnesty International untuk Eropa, mengatakan, "Semua wanita harus bebas berpakaian sesuka mereka dan mengenakan pakaian yang mengekspresikan identitas atau keyakinan mereka. Larangan ini akan berdampak sangat negatif pada wanita Muslim yang memilih untuk mengenakan niqab atau burka.

Semua aturan yang diterapkan di Eropa atas nama membela hak-hak perempuan, pada dasarnya mengejar satu tujuan yaitu meningkatkan pembatasan terhadap wanita Muslim di Eropa.

Gelombang kekerasan terhadap wanita berjilbab di negara-negara Barat meningkat di tengah kegiatan kampanye pembelaan hak-hak perempuan di seluruh dunia. Studi menunjukkan bahwa kekerasan ini diarahkan untuk menolak ajaran Islam yang menyerukan perdamaian dan keadilan.

Surat kabar Amerika, The Huffington Post melaporkan bahwa kubu anti-Islam menyembunyikan pemikiran mereka di balik klaim melindungi kaum perempuan. Mereka berpendapat bahwa Islam mendiskriminasikan antara wanita dan laki-laki. Mereka mengaku ingin menyelamatkan perempuan, tapi justru mengabaikan suara wanita Muslim yang ingin mengamalkan ajaran agamanya.

Amani al-Khatahtbeh, seorang remaja New Jersey dan pendiri majalah MuslimGirl.com dalam wawancaranya dengan The Huffington Post, menuturkan, "Islamophobia telah menjadi sebuah perang terhadap gender. Industri Islamophobia secara strategis menggunakan tubuh wanita Muslim untuk melanggengkan kebencian terhadap Islam, seperti dengan mengatakan bahwa wanita Muslim dipaksa berhijab. Dengan cara ini, mereka menyebarkan ideologi rasis terhadap negara-negara Muslim."

"Hasilnya adalah bahwa komunitas Muslim yang paling rentan adalah wanita yang mengenakan jilbab, mereka menjadi target yang lebih terpolarisasi dan serangan kebencian. Orang-orang fanatik anti-Muslim benar-benar mengubah [wanita Muslim] menjadi simbol dari semua yang mereka benci," jelasnya.

Menurut jajak pendapat yang dilakukan oleh Institute for Social Policy and Understanding pada tahun 2017, wanita Muslim merasa lebih takut terhadap keselamatan dirinya daripada pria Muslim (47 persen vs 31 persen). Wanita Muslim menderita trauma emosional pada tingkat yang lebih tinggi dibandingkan pria Muslim (19 persen vs 9 persen). Jumlah wanita Muslim yang mendaftar untuk kursus membela diri, mungkin dua kali lipat lebih banyak daripada pria Muslim.

Pada 2017, Tell MAMA mencatat total 1.330 laporan. Dari laporan ini, 1.201 diverifikasi sebagai anti-Muslim atau Islamophobia dan terjadi di Inggris antara Januari dan Desember 2017. Data 2017 menunjukkan bahwa hampir 6 dari 10 korban kebencian anti-Muslim di jalanan adalah perempuan, dan 8 dari 10 pelaku adalah laki-laki.

Matthew Feldman, salah satu pendiri Centre for Fascist, Anti-Fascist and Post-Fascist Studies di Universitas Teesside yang menganalisis data Tell MAMA, mengatakan bahwa secara umum telah terjadi kekerasan terhadap Muslim, tapi jumlah korban lebih banyak wanita karena identitas mereka terlihat dari pakaiannya daripada laki-laki. (RM)