Jun 22, 2020 18:16 Asia/Jakarta
  • Air
    Air

Pembagian air yang tidak merata di muka bumi dan di berbagai negara dari satu sisi dan penurunan curah hujan selama beberapa dekade terakhir dari sisi lain telah menyebabkan sejumlah pemerintah yang memiliki keragaman iklim mulai merambah daerah yang lebih subur dan memiliki persediaan air lebih besar demi menjamin kebutuhan air daerahnya yang panas, kering dan minim air. Sebuah pengalaman di samping keunggulannya, juga memberi beban finansial yang berat bagi rakyat dan negara.

Transfer antarbasin adalah (sering ditulis dgn tanda penghubung) istilah yang digunakan untuk menggambarkan skema pengangkutan buatan manusia yang memindahkan air dari satu lembah sungai di mana itu tersedia, ke lembah lain di mana air kurang tersedia atau dapat dimanfaatkan lebih baik untuk pembangunan manusia. Tujuan dari skema yang dirancang seperti itu adalah untuk mengurangi kekurangan air di waduk penerima, untuk menghasilkan listrik, atau keduanya.

Secara global tujuan dari transfer antarbasin adalah untuk menyelesaikan kendala kekuarangan air di tempat tujuan untuk jangka pendek. Meski demikian menyimak pengalaman berbagai negara dalam menerapkan rencana ini sangat bermanfaat  untuk memahami keuntungan dan kekurangan proyek sepert ini.

Ulasan ini menunjukkan puncak proyek transfer air yang terjadi di abad ke-19 yang memiliki beragam tujuan di antaranya untuk menjamin suplai air minum warga perkotaan, menjamin kebutuhan irigasi pertanian dan memproduksi energi serta tujuan lingkungan hidup. Menyimak sejumlah proyek ini sedikit banyak mampu memperjelas efesiensi dan tidak efektifnya metode ini.

Negara yang luas seperti Cina menghadapi kesulitan besar dalam menjamin kebutuhan air. Sumber air tawar di negara ini (sekitar 2000 meter kubik perorang) kira-kira sepertiga rata-rata dunia. Berdasarkan laporan Bank HSBC dan perusahaan konsultan resiko air Cina, sekitar 45 persen dari GDP Cina dihasilkan dari provinsi yang memiliki kelangkaan air, padahal sekitar 300 juta orang di Cina (kira-kira seperempat total populasi negara ini) setiap hari mengkonsumsi air tercemar.

Solusi yang untuk pertama kalinya diisyaratkan Mao Zedong di tahun 1952 "Meminjam air dari selatan negara". Di antara alasan transfer air dari selatan ke utara Cina adalah pembagian sumber air dan tanah yang tidak merata (wilayah utara memiliki tanah yang subur dan siap, sementara selatan memiliki air yang melimpah), menurunnya permukaan air bawah tanah dan meningkatnya biaya penggalian dan penyedotan air, tanah longsor, menurunnya produksi pertanian dan tercemarnya air minum di utara Cina.

Butuh lebih dari 50 tahun bagi terealisasinya usulan Mao Zedong ini. 10 Desember 2002, fase pertama proyek SNWDP beroperasi. Tujuan akhir dari proyek ini adalah untuk merelokasi 44,8 juta meter kubik air per tahun, yang lebih dari air di Sungai Thames. Proyek infrastruktur termasuk kanal tertinggi di dunia, jaringan pipa di bawah dasar sungai, pipa pasokan air raksasa dan stasiun pompa yang kuat.

Namun demikian proyek ini memiliki kendalanya tersendiri dan memaksa lebih dari setengah juta orang meninggalkan rumah mereka dan beralih ke tempat lain. Total anggaran bagi proyek ini dinilai sekitar 60 miliar dolar dan diprediksikan hingga tahun 2050, pemerintah Cina akan mengeluarkan anggaran lebih besar.

Air di Afrika Selatan juga langka dan tidak didistribusikan dengan baik di seluruh negara, negara yang sampai saat ini menggunakan lebih dari setengah dari seluruh sumber yang dimilikinya. Padahal air perkapita di Afrika Selatan setiap tahunnya sebesar 1200 meter kubik dan dengan demikian negara ini mengalami ketegangan air.

Bersamaan dengan perubahan politik dan tekanan sumber daya, Afrika Selatan untuk mengelola air secara khusus menerapkan strategi inter-basin transfer (IBT), metode yang mendapat perhatian banyak negara dunia. Teladan sejarah pembangunan ekonomi dan sosial Afrika Selatan berdasarkan sumber alam negara ini berujung pada pembangunan sistem luas transfer air di antara sumber air.

Tahun 1998 fase pertma proyek transfer air pegunungan Lesotho dimulai. Selanjutnya dua proyek besar transfer air antar waduk lainnya dimulai. Sementara itu, baik di sektor pertanian maupun perkotaan, efesiensi konsumsi air terlihat rendah. Ini termasuk proyek transfer air paling detail dan sejatinya sebuah rencana win-win bagi pemerintah kedua negara.

Afrika Selatan negara kaya dan memiliki sumber air yang langka, semantara Lesotho sebuah negara miskin, namun kaya sumber air. Karena itu, wajar bagi Afrika Selatan, yang merupakan kekuatan industri utama di Afrika Selatan, untuk meminta tetangganya menyediakan air, yang merupakan prasyarat untuk pembangunan. Di sisi lain, Lesotho, salah satu negara termiskin di dunia, akan meningkatkan tajam pendapatannya dengan menerima konsesi penjualan air dalam proyek bersama ini.

Libya, negara luas di Afrika utara dan tidak memiliki sungai tetap. Menyusul hujan lebat, air mengalir ke lembah kering dan ini bersifat periodik dan di sebagian daerah kadang tidak terjadi setiap tahun. Mengingat bahwa hanya lima persen dari luas wilayah negara ini mengalami hujan di atas 100 milimeter setiap tahun, Libya tercatat negara paling kering di dunia.

Di tahun 1983, dimulai proyek besar GMMR di Libya dan termasuk proyek pengairan raksasa dan air bawah tanah sekitar lima juta meter kubik ditransfer ke berbagai kota pantai neagra ini. Namun prediksi pakar lingkungan hidup menunjukkan bahwa jika proyek ini berlanjut, dalam jangka 60-100 tahun mendatang, cadangan air bawah tanah ini akan habis.

India dengan populasi lebih dari 1,3 miliar dan kira-kira seperlima dari total penduduk dunia. Sementara sumber air tawar di India hanya empat persen dari total sumber air tawar di dunia. Ada ancaman bahwa seiring berlanjutnya laju pertumbuhan penduduk, negara ini akan menghadapi krisis air serius. Petinggi India berusaha mentransfer air dari waduk terbesar negara ini ke wilayah yang minim air.

Selama beberapa tahun terakhir, India tengah membangun sebuah pipa air dari waduk Tehri di pegunungan Himalaya untuk mentransfer sumber daya air yang terbatas ke Sungai Gangga yang penting untuk digunakan di kota metropolis New Delhi. Proyek ini dibangun menyusul prakarsa koneksi berbagai waduk India melalui sebuah dam besar dan pelaksanaan proyek besar transfer air melalui kanal serta pipa. Anggaran bagi proyek besar ini di luar prediksi, 200 kali lipat dari anggaran pendidikan nasional serta tiga kali lipat pendapatan pajak India.

Salah satu proyek penting lain adalah proyek transfer air di Uni Soviet. Di proyek ini air dua sungai Amu Darya dan Syr Darya yang sebelumnya mengalir ke sungai Aral dialihkan dan ditransfer ke padang sahara Karakum. Pada awalnya proyek ini membuat lahan kering menjadi hijau dan produksi meningkat, namun secara bertahap menjadi kendala serius bagi kawasan, di mana Aral yang termasuk danau terbesar keempat di dunia kehilangan lebih dari 80 persen air.

Kondisi ini membuat pelabuhan di danau ini kering dan para nelayan menganggur. Lahan kapas kering karena perubahan lingkungan. Muncul lahan garam seluas 36 ribu kilo meter persegi. Kandungan garam di danau ini empat kali lipat dan mematikan ekosistem. Garam, pestisida pertanian dan sisa-sisa bahan kimia pertanian lainnya tersebar ke mana-mana melalui angin. Bahan-bahan ini membuat bumi mengalami kekeringan, penyakit pernafasan, silikosis dan jantung serta meningkatkan 30 persen kemandulan serta cacat mental di anak-anak, darah rendah, animea dan lainnya di kawasan.

Kanal Karakum

Menurut laporan UNESCO, kondisi lingkungan hidup di kawasan telah mengakibatkan angka kematian bayi tertinggi di dunia. Pada akhirnya yang tersisa di Aral hanya rasa asin yang pahit.

Memasok air melalui jaringan pipa skala besar secara tradisional menjadi bagian dari proyek kompleks untuk mengumpulkan, menyimpan, dan mengangkut air di Amerika Serikat. Pada 1930-an, tiga negara bagian, California, Arizona, dan Utah, memulai proyek untuk membangun jaringan pipa transmisi air Sungai Colorado yang besar, yang mengeringkan Danau Owens dan menghancurkan pemukiman manusia Lembah Owens di California. Masalah yang telah menyebabkan bencana lingkungan dan perusakan rawa-rawa Delta Colorado.

Proyek Big Thompson Colorado (C-BT) adalah contoh utama dari proyek transfer air yang sukses karena mampu mengatasi kekurangan air di Colorado, salah satu negara bagian paling gersang di Amerika Serikat bagian barat. Proyek C-BT dirancang untuk mengumpulkan air dari pegunungan berbatu dan memindahkannya ke timur gunung untuk keperluan pertanian. Proyek yang diluncurkan pada tahun 1938 dan 1957 itu menyediakan air bagi 30 kota.

Dengan semua contoh sukses atau proyek gagal ini, para peneliti mengatakan rencana transfer air pipa tidak boleh dilaksanakan tanpa penelitian yang cermat dan berwawasan ke depan. Menurut sebuah studi 2012 oleh Shikolumanov tentang prospek transfer air, diharapkan pada akhir 2020, sekitar 1.250 juta meter kubik air per tahun akan dipindahkan di seluruh dunia.

Berbagai riset menunjukkan di negara-negara berpenduduk padat atau distribusi penduduk yang tidak merata, mengingat tingginya permintaan, proyek transfer air akan mengalami pertumbuhan pesat. Namun mengingat pengalaman gagal berbagai proyek transfer air di berbagainegara seperti Kanada, Mesir, Turki, Amerika dan Spanyol, minat pemeritah dan rakyat terhadap proyek seperti ini menurun drastis.

Meski demikian pelaksanaan proyek transfer air di berbagai negara berkembang Asia Pasifik mengalami kenaikan. Saat ini, pengembangan ideologi transfer air menciptakan ketidakseimbangan di pusat dan tujuan ketimbang sebuah solusi untuk menciptakan keseimbangan di mata rantai air. Oleh karena itu, harus ada perhatian ekstra untuk menjalankan proyek ini.