Peran AS dalam Konflik Laut Cina Selatan (2)
Dalam konflik Laut Cina Selatan, Vietnam bukan hanya satu-satunya negara yang memiliki perbatasan darat dengan Cina, tetapi juga terlibat ketegangan tingkat tinggi dengan Beijing di era sekarang.
Vietnam dan Laut Cina Selatan
Namun di tingkat ASEAN, Vietnam memiliki hubungan perdagangan yang besar dengan Cina. Nilai perdagangan Hanoi-Beijing mencapai lebih dari 100 miliar dolar per tahun. Kedua negara ini terlibat sengketa di tiga wilayah Laut Cina Selatan atau Laut Timur Vietnam, Teluk Tonkin, dan wilayah perbatasan darat.
Sengketa Hanoi dan Beijing juga dipengaruhi oleh persaingan politik di wilayah tersebut, termasuk kasus sengketa antara Vietnam dan Kamboja. Dalam kasus konflik perbatasan Vietnam-Kamboja pada September 1978, Cina berpihak pada rezim Pol Pot di Kamboja. Sebaliknya, Vietnam mendukung pemberontak Kamboja yang memicu protes dari Cina.
Dalam konflik maritim antara Beijing dan Hanoi, Cina menginvasi Kepulauan Paracel pada tahun 1974 dan menduduki kepulauan itu setelah membunuh sejumlah tentara Vietnam. Kasus yang sama juga terjadi pada tahun 1988 di Kepulauan Spratly. Oleh karena itu, sengketa maritim antara Cina dan Vietnam jauh lebih besar dan memicu masalah bagi kedua negara. Sebab, mereka belum mencapai prinsip-prinsip hukum yang mengikat untuk menegakkan kedaulatannya di Laut Cina Selatan.
Sebagian besar sengketa perbatasan antara Cina dan Vietnam menyangkut masalah Teluk Tonkin dan Laut Cina Selatan. Dalam kasus teluk ini, Cina menentang dasar hukum yang menjadi sandaran Vietnam. Hanoi menganggap sebagian besar Teluk Tonkin sebagai bagian dari perairan mereka, tetapi Beijing menentang klaim itu dan percaya bahwa perjanjian tahun 1886 antara Vietnam dan Prancis, hanya berhubungan dengan pembagian pulau-pulau dan tidak memiliki keabsahan untuk menentukan perbatasan maritim Teluk Tonkin.
Kepulauan Paracel dan Spratly sejak dulu menjadi titik singgah dan transit bagi para nelayan Cina dan Vietnam. Di era kolonialisme Prancis di Vietnam dari 1920-1930, Prancis menyerahkan pulau-pulau tersebut kepada Vietnam. Kemudian pada 1938, Jepang menduduki pulau-pulau itu dan mencaploknya.
Pasca Perang Dunia II, kaum nasionalis Cina menduduki Kepulauan Paracel dan Spratly, tetapi terpaksa harus mundur dalam waktu singkat. Perjanjian San Fransisco 1951 mencabut kedaulatan Jepang atas pulau-pulau tersebut, tetapi juga tidak mengakui kedaulatan baru apapun atas pulau-pulau itu. Pada masa itu, Beijing memprotes Treaty of San Francisco dan mengumumkan Kepulauan Paracel dan Spratly sebagai milik Cina.
Ketika Prancis menarik pasukan terakhirnya dari wilayah tersebut pada 1956, Saigon (Ibukota Vietnam Selatan) menempatkan tentaranya di pangkalan-pangkalan yang ditinggalkan oleh Prancis dan memasang tanda demarkasi di pulau-pulau tersebut. Namun pada saat yang sama, pasukan komunis Cina juga menduduki beberapa pulau paling timur di Paracel.
Pada 1974, pasukan komunis Cina dan Vietnam bertempur memperebutkan Kepulauan Paracel, yang akhirnya membuat Beijing menguasai lebih banyak pulau. Amerika Serikat tetap memilih netral dalam pertempuran ini. Konflik terbesar antara Cina-Vietnam atas kepemilikan Kepulauan Spratly terjadi pada tahun 1988, ketika Angkatan Laut Cina menenggelamkan beberapa kapal perang Vietnam.
Pada akhirnya, hampir seluruh Kepulauan Paracel dikuasai oleh Cina. Pada masa itu, barat laut kepulauan ini juga dikuasai oleh Filipina. Vietnam dan Filipina berusaha memperkuat angkatan laut mereka untuk melawan manuver Cina. Dapat dikatakan bahwa Vietnam adalah satu-satunya negara yang sedang terlibat konflik sengit dengan Cina di Laut Cina Selatan.
Hanoi ingin meningkatkan daya saingnya dengan Beijing dengan mengandalkan bantuan lintas regional, seperti India dan Jepang, sekaligus menghidupkan kembali infrastruktur maritimnya termasuk di sektor militer. Mengingat Vietnam pernah terlibat perang mematikan dengan Cina di Kepulauan Paracel pada 1974, pihaknya tetap berhati-hati dalam berurusan dengan Beijing.
Tetapi ini tidak berarti bahwa Vietnam mengabaikan kepentingannya di Laut Cina Selatan. Hal ini ditunjukkan lewat kerja sama Hanoi dengan New Delhi untuk mengeksploitasi minyak di wilayah perairan itu meskipun diprotes oleh Beijing.
Indonesia dan Laut Cina Selatan
Indonesia adalah salah satu negara lain yang bersengketa dengan Cina di Laut Cina Selatan. Jakarta dan Beijing berselisih tentang kepemilikan Kepulauan Natuna dan perairan di sekitarnya. Kepulauan Natuna terdiri dari 272 pulau yang mengelilingi dan berbatasan dengan Laut Cina Selatan di lepas pantai barat laut Pulau Kalimantan antara Semenanjung Malaysia dan Brunei.
Natuna menyimpan cadangan gas alam yang besar. Indonesia sekarang memiliki pangkalan militer di kepulauan ini. Meski Jakarta tidak memperuncing sengketanya dengan Beijing di Laut Cina Selatan, namun secara senyap mengejar strategi berbasis maritim sehingga menjadi sebuah kekuatan maritim di wilayah tersebut.
Selain itu, pemerintah Jakarta secara resmi mengeluarkan peta Republik Indonesia yang baru di mana menekankan bahwa Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Natuna telah diberi nama Laut Natuna Utara. Jakarta juga menolak tegas klaim Beijing atas wilayah ZEE di Natuna Utara karena tidak berlandaskan hukum internasional.
Indonesia terlibat konflik mengenai hak-hak penangkapan ikan di sekitar Kepulauan Natuna dan telah memperkuat kehadiran militernya di wilayah tersebut dengan menangkap beberapa nelayan Cina.
Dalam menanggapi penamaan Laut Natuna Utara oleh pemerintah Indonesia, seorang juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Geng Shuang mengatakan, “Nama Laut Cina Selatan memiliki pengakuan internasional yang luas dan batasan geografis yang jelas.” Dalam wawancaranya dengan surat kabar Daily News pada 2017, dia menegaskan beberapa negara yang disebut mengganti nama itu sama sekali tidak berarti.
Pakar hukum laut dari Universitas Gadjah Mada, I Made Andi Arsana menuturkan bahwa penggantian nama tersebut tidak membawa kekuatan hukum, melainkan sebuah pernyataan politik dan diplomatik. “Ini akan dilihat sebagai langkah besar Indonesia untuk menyatakan kedaulatannya. Ini akan mengirim pesan yang jelas, baik untuk orang Indonesia maupun secara diplomatis,” tegasnya.
Perubahan penamaan Laut Cina Selatan menjadi Laut Natuna Utara oleh pemerintah Indonesia, merupakan sebuah pesan diplomatik yang tegas bahwa Jakarta tidak akan memilih diam dalam melindungi kepentingan nasionalnya dari gangguan Beijing, dan akan mengejar hak-haknya secara damai.
“Langkah pemerintah Indonesia mengubah nama bagian dari Laut Cina Selatan merupakan kelanjutan dari perlawanan terhadap klaim Cina di Laut Cina Selatan oleh pemerintah Asia Tenggara lainnya," kata Euan Graham, Direktur Program Keamanan Nasional di Lowy Institute yang berbasis di Sydney. “Ini akan diperhatikan di Beijing,” tambahnya.
Presiden Joko Widodo pada Juni 2016 mengunjungi Kepulauan Natuna untuk menegaskan kedaulatan Indonesia di wilayah itu. “Pengamanan wilayah perairan perbatasan tidak boleh kita lupakan. Untuk menjaganya, patroli dan penjagaan keamanan laut juga harus kita tingkatkan,” tegas Presiden.
Presiden Jokowi mengadakan rapat kabinet di atas kapal perang Imam Bonjol yang melepas tembakan ke Han Tan Cou di Kabupaten Natuna. Sekretaris Kabinet, Pramono Agung mengatakan sebagai kepala negara, Presiden ingin tunjukkan bahwa Natuna merupakan bagian dari kedaulatan Negara Kesatuan Rapublik Indonesia.
Dengan meningkatnya ketegangan antara Cina dan AS terutama di masa pemerintahan Trump, Washington melibatkan diri dalam sengketa antara negara-negara pesisir dan Beijing di Laut Cina Selatan. Pemerintah Cina juga berusaha menggagalkan intervensi AS di kawasan itu dengan memberlakukan regulasi baru dan membatasi navigasi di Laut Cina Selatan.
Dalam hal ini, pakar masalah internasional dari Rusia, Alexander Gabuev mengatakan konflik Cina-AS di Laut Cina Selatan memicu protes dari negara-negara kecil di wilayah itu, karena peraturan baru pemerintah Cina untuk membatasi pelayaran kapal-kapal Angkatan Laut AS, juga akan mempersulit kapal-kapal dari Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Indonesia.
“Risiko keterlibatan kekuatan besar dalam permainan ini adalah kemarahan negara-negara kecil yang menderita kerugian ekonomi sehingga mendorong mereka untuk bersitegang dengan Cina,” ucapnya. (RM)