Des 02, 2020 15:41 Asia/Jakarta
  • Aksi protes terhadap larangan jilbab di Prancis.
    Aksi protes terhadap larangan jilbab di Prancis.

Muslimah berjilbab di negara-negara Barat selalu menghadapi pembatasan, diskriminasi, dan serangan rasis oleh kelompok anti-Islam karena jilbab mereka. Masyarakat Barat mengaku dirinya sebagai pembela hak-hak perempuan di dunia, tetapi muslimah berjilbab di sana harus menjalani hidup dalam ketakutan.

Di samping itu, negara-negara Barat membatasi kehadiran muslimah berjilbab di area publik dan lingkungan pendidikan. Bahkan di beberapa negara Eropa, denda dan hukuman dijatuhkan terhadap wanita Muslim berjilbab.

Larangan pakaian Islami di sebagian negara Barat bertentangan dengan Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB (1948) dan Konvensi Eropa untuk Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Fundamental (1950).

Pada 1 Februari 2013, Nazma Khan – wanita Muslim yang tinggal di New York – memelopori Hari Hijab Sedunia (World Hijab Day) dan momentum ini digunakan untuk membahas tantangan yang dihadapi oleh wanita muslimah di Barat.

Nazma Khan adalah imigran asal Bangladesh yang pindah ke Amerika Serikat pada usia 11 tahun. Saat masih remaja, ia terus-menerus dilecehkan karena jilbabnya di sekolah dan di jalanan, tetapi mengalami bentuk intimidasi lain pasca serangan 11 September. “Saya dibuntuti oleh sejumlah pria, mereka meludahi saya dan menyebut saya teroris dan Osama bin Laden,” kata Nazma.

Agar bisa terhubung dengan wanita berjilbab lain yang menghadapi diskriminasi dan tantangan yang sama, Nazma Khan mengajak mereka untuk berbagi pengalamannya di media sosial.

Di Prancis, pemberlakuan undang-undang larangan jilbab di sekolah-sekolah telah menimbulkan banyak perdebatan. Masyarakat Muslim Prancis – sebagai komunitas Muslim terbesar di Eropa – dilarang mengenakan jilbab di sekolah negeri sejak 2004. Undang-undang larangan penggunaan simbol-simbol keagamaan di sekolah negeri secara resmi melarang pemakaian jilbab di sekolah-sekolah.

Sebelum ini, sebagian besar sekolah Prancis telah memperketat aturan soal penggunaan pakaian jilbab oleh siswa muslimah.

Hari Hijab Sedunia (World Hijab Day) diperingati pada tanggal 1 Februari setiap tahun di 140 negara dunia. Tujuannya adalah untuk mendorong wanita dari semua agama dan latar belakang untuk merasakan pengalaman mengenakan jilbab. Panitia acara menggambarkannya sebagai kesempatan bagi wanita non-Muslim untuk merasakan hijab dan menunjukkan solidaritas.

"Dengan mengenakan jilbab selama satu hari maka mereka akan melihat bahwa ia tidak berbeda dari wanita lainnya," ujar Nazma Khan.

“Misi kami adalah untuk mewujudkan dunia yang damai di mana warga di seluruh dunia saling menghormati satu sama lain dan menghargai keyakinan satu sama lain. Misi kami secara khusus adalah memerangi fanatisme, diskriminasi, dan kesalahpahaman terhadap wanita Muslim,” tulis Organisasi World Hijab Day di halaman Facebook-nya.

Sekarang merupakan masa yang kritis karena jilbab mulai dilarang di sejumlah negara dan di sisi lain, muslimah berjilbab menjadi sasaran pelecehan dan diskriminasi secara fisik maupun lisan.

Hari Hijab Sedunia diadakan di berbagai negara dengan kemeriahan tersendiri. Wanita Muslim berkumpul di kota New York pada Hari Hijab Sedunia untuk membangun solidaritas untuk melawan rasisme dan Islamophobia.

Pada Februari 2019, wanita Muslim di ibukota Inggris berkumpul untuk memperingati Hari Hijab Sedunia dan membahas masalah yang dihadapi oleh mereka yang mengenakan jilbab serta bagaimana kebangkitan Islamophobia di Inggris.

Saima, seorang relawan di Human Relief Foundation, berbicara tentang pentingnya memahami apa arti hijab bagi wanita Muslim yang memakainya dan bagaimana hari seperti ini penting dalam mengatasi diskriminasi dan ketidaktahuan.

“Saya pikir sangat penting untuk memiliki hari di mana jilbab dikenali, terutama dalam iklim saat ini di mana Islamophobia sedang meningkat dan ada banyak ketidaktahuan seputar jilbab dan mengapa wanita Muslim memakainya,” katanya.

Ellie Lloyd, seorang warga Kristen Inggris dan putrinya yang berusia 11 tahun termasuk di antara salah satu wanita yang mengenakan jilbab pada peringatan Hari Hijab Sedunia di Doha, Qatar pada Februari 2018.

“Saya percaya wanita harus bebas dari prasangka dan diskriminasi atas pilihan mereka untuk menutupi rambut mereka,” kata Lloyd kepada televisi Aljazeera.

“Jika saya memilih untuk memakai topi, saya tidak dihakimi oleh siapa pun. Jika saya memilih untuk menata rambut saya ke atas atau ke bawah atau dikepang, saya juga tidak akan dihakimi. Lalu mengapa wanita yang mengenakan jilbab harus dihakimi? Ini tidak adil,” tegasnya.

Pihak penyelenggara Hari Hijab Sedunia berharap dapat mengubah stereotip umum tentang wanita Muslim dengan menunjukkan keragaman, kekuatan, dan kemajuan mereka. Kelompok ini mencoba melawan cara berpikir umum tentang Islam dan wanita Muslim dengan menunjukkan kesuksesan wanita berjilbab dan kiprah mereka yang sukses di masyarakat.

Dalam sebuah acara yang diadakan di Keyano College di Fort McMurray, Alberta, Kanada pada Februari 2019, wanita non-Muslim mendapat kesempatan untuk belajar tentang jilbab dan memperoleh jawaban atas pertanyaan mereka seputar Islam dan Muslim.

Kiran Malik-Khan, salah seorang panitia, mengatakan acara tersebut penting untuk membantu mendidik, membangun jembatan, dan menyebarkan kesadaran. Malik-Khan mengatakan bahwa ia mulai memakai jilbab sembilan tahun lalu.

“Saya mulai mengenakan jilbab ketika pikiran dan hati saya secara penuh setuju untuk melakukannya. Sudah waktunya bagi saya ketika saya pergi haji, ini adalah babak baru dalam hidup saya,” kenangnya.

Acara di Keyano College, Fort McMurray.

Asma Ammouneh, wanita 25 tahun yang menjadi relawan di acara tersebut untuk kedua kalinya, menuturkan bahwa acara ini merupakan sebagai cara untuk menyebarkan kesadaran dan pendidikan.

Ammouneh mulai mengenakan jilbab sejak kelas 1 SMA. Dia mengisahkan bahwa awalnya ia tidak terlalu percaya diri dan ingin menyesuaikan diri saat remaja. Kadang-kadang, jilbabnya bisa menimbulkan komentar rasial atau diskriminatif, tetapi sekarang saya lebih percaya diri, hal ini membuat saya senang memakainya.

“Mempelajari siapa saya sebagai pribadi, apa agama saya, identitas saya, saya pikir itu membantu saya (memakai jilbab) dan membangun kepercayaan diri itu,” ungkapnya.

Warga Fort McMurray, Gara Nlandu berkesempatan menghadiri acara tersebut untuk pertama kalinya dan mengatakan bahwa dia memiliki banyak teman yang mengenakan jilbab, tetapi dia tidak pernah merasakannya sendiri.

“Ini membuka mata Anda terhadap segala sesuatu di luar sana dan makna budaya orang lain, hal-hal yang mereka kenakan atau hal-hal yang mereka lakukan, bagaimana mereka melakukannya, dan mengapa mereka melakukannya,” kata Nlandu. (RM)