Jan 11, 2021 16:51 Asia/Jakarta
  • Etnis Muslim Rohingya
    Etnis Muslim Rohingya

Setelah kudeta para jenderal di Myanmar tahun 1962 dan pemerintahan sipil U Nu, seiring dengan amandemen konstitusi yang dibentuk setelah perjuangan bersama tiga etnis, Shan, Rakhine dan Rohingya, Muslim Rohingya kehilangan seluruh konsesi yang pernah mereka raih.

Para jenderal ini mengungkapkan kecenderungan sosialisnya, namun karena mereka menginginkan Myanmar menjadi sebuah negara kesatuan dan sebuah bangsa, maka mereka membentuk Dewan Revolusi dan di tahun 1978 meratifikasi undang-undang yang menyatakan etnis Rohingya warga Bangladesh serta etnis ini tidak mendapat konsesi hukum yakni kewarganegaraan. Gerakan jenderal ini sejatinya langkah ilegal pertama untuk membantai dan mengusir Muslim Rohingya dari Arakan, tempat tinggal bersejarah mereka.

Meski demikian undang-undang tahun 1978 yang menciptakan kesulitan bagi kewartanegaraan Rohingya lebih moderat ketimbang undang-undang selanjutnya yang diratifikasi junta militer tahun 1982 dan 1988 dan paling tidak undang-undang 1978 tidak mengingkari status imigran etnis Myanmar. Sementara di undang-undang kewarganegaraan tahun 1982, seluruh konsesi yang dimiliki etnis Rohingya dihapus. Alasannya adalah butir di undang-undang ini menyebutkan kewarganegaraan Myanmar disyaratkan dengan dokumen yang diakui oleh junta militer. Keluarga harus membuktikan bahwa mereka telah tinggal di Myanmar sebelum tahun 1824, yakni ketika Inggris menjajah negara ini.

Namun faktanya adalah etnis Muslim Rohingya pada awalnya tidak menyadari urgensitas undang-undang yang diratifikasi. Mayoritas mereka hidup di desa leluhur dan tidak menyangka pemerintah junta militer mempertanyakan kewarganegaraannya berdasarkan undang-undang ini dan menempatkan mereka sejajar dengan imigran dari India. Kedua jika mereka pun menyadari pentingnya masalah ini, para prakteknya mereka tidak mampu memberi dokumen yang diminta pemerintah junta militer bahwa mereka telah tinggal di negara ini sebelum tahun 1824. Satu-satunya dokumen menurut mereka adalah kehidupan turun menurun dan berabad-abad di desa tersebut yang saat ini pun mereka tinggal di desa ini. Namun keberadaan turun menurun ini tidak valid menurut pemerintah junta militer.

Perbedaan pandangan antara junta militer dan warga Rohingya adalah berdasarkan undang-undang yang telah diratifikasi Dewan Revolusi, siapa saja yang tidak mampu memberikan dokumen sah akan diakui sebagai imigran dari Bangladesh dan orang asing. Ketidakjelasan ini muncul setelah penjajahan Inggris di Myanmar dan Arakan di tahun 1828, sejumlah besar imigran India dibawah ke Myanmar, di mana sebagian mereka masih famili etnis Rohingya atau paling tidak memiliki kesamaan bahasa dan budaya dengan etnis ini. Sejatinya ini sekedar alasan untuk menjadikan seluruh etnis Rohingya warga Bangladesh dan melucuti kewarganegaraan mereka.

Yang lebih penting dari ini adalah keputusan pemerintah junta militer merampas dokumen nasional bagi etnis Muslim Rohingya. Di data statistik tahun 1948, yakni di pemerintahan sebelumnya dan setelah kemerdekaan Myanmar, etnis Rohingya mendapat ijin menggunakan nama Rohingya sebagai salah satu etnis Myanmar. Namun junta militer dengan merampas kewarganegaraan mereka mulai merampas dokumen yang dimiliki etnis ini yang diberikan pemerintah sipil. Dalam hal ini, junta militer menggunakan kekerasan. Dampak dari gerakan ini adalah kekerasan yang marak terjadi. Etnis Rohingya yang tidak memiliki kartu identitas yang menunjukkan kewarganegaraan Myanmar. Peristiwa ini terjadi sembilan bulan sebelum junta militer di luarnya ingin mencitrakan pemerintahan mereka berbentuk sipil dengan menyelenggarakan pemilu dan etnis Rohingya tidak memiliki hak suara.

Tentu saja, para jenderal militer tidak sendirian saat ini, dan melalui propaganda mereka mampu menggambarkan bagian yang lebih penting dari politisi Buddha yang menjadi mitra dalam pemerintahan militer, biksu Buddha yang sudah memiliki sentimen anti-agama dan permusuhan terhadap Muslim Rohingya, dan yang terpenting etnis. Mereka membawa serta Rakhine, yang secara bertahap menjadi minoritas di Negara Bagian Arakan.

Motif utama partisipasi Rakhine dalam pembunuhan dan pengusiran Rohingya dari desa mereka adalah penyitaan tanah dan pertanian Rohingya berkualitas tinggi. Pemerintah militer dan para biarawan berjanji kepada Rakhine bahwa mereka akan membagi semua properti yang tersisa di antara Muslim Rohingya setelah desa-desa itu diusir dan dikosongkan.

Pemerintah Myanmar berada di bawah kendali para jenderal militer. Dominasi ini dibentuk dalam bentuk pemilihan umum untuk menutupi kekuatan militer dan membuat citra internasional pemerintah lebih dapat diterima. Pada tahun 1988, dia mengambil langkah penting lainnya dalam mencabut kewarganegaraan Rohingya. Itu mengesahkan RUU 11 butir yang melarang penerbitan kartu kewarganegaraan atau dokumen yang membuktikan bahwa Rohingya adalah Myanmar, dan kelompok etnis Muslim Rohingya secara hukum diakui sebagai pemberontak, sehingga penindasan mereka tampak sah.

Faktanya, dapat dikatakan bahwa setelah militer memonopoli kekuasaan di Myanmar setelah kudeta pada tahun 1962, itupun ketika di bawah tekanan internasional, mereka mengadakan pemilihan umum dan pemerintahan militer boneka dibentuk. Rohingya kehilangan semua manfaat hukum mereka sebagai etnis Myanmar. Tentu saja, para jenderal tidak sendirian dalam tindakan ilegal ini, dan koalisi militer, politisi, Buddha, dan biksu masing-masing memainkan peran destruktif mereka sendiri terhadap Muslim Rohingya yang tertindas.

Hasil dari aliansi antara militer, pemerintah, biksu Buddha, dan Rakhine di negara bagian Arakan yang bersejarah ini adalah proses genosida dan pengusiran ilegal Rohingya, kekerasan, pembunuhan, pembakaran rumah dan properti mereka, dan pemerkosaan wanita di hadapan keluarga laki-laki dan bahkan Suami, wanita muda, dan gadis yang tidak bersalah sangat difasilitasi, dan kekuatan ini menggunakan kekerasan seperti itu di setiap desa yang mereka masuki sehingga, dengan menyebarkan rumor, kekerasan ini memaksa ratusan ribu penduduk desa Rohingya untuk meninggalkan desa mereka sebelum mereka terkejut. Evakuasi dan menyeberangi sungai dengan perahu buatan tangan yang tidak aman, memasuki Bangladesh dengan berjalan kaki dan menetap di kamp-kamp pengungsi.

Mahathir Mohamad di Sidang Majelis Umum PBB ke-73

Mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad mengkritik pemerintah Myanmar karena membunuh dan membantai Muslim Rohingya di Rakhine. Negara merdeka, tetapi apakah itu berarti mereka berhak membantai rakyatnya sendiri karena merdeka? Mahathir Mohamad mengatakan pada hari Jumat, 28 September 2018, pada sidang ke-73 Sidang Umum PBB, bahwa tindakan pemerintah Myanmar, yang dibantah oleh Aung San Suu Kyi, telah mengakibatkan tewasnya orang, perusakan rumah, dan pemindahan penduduknya. "Di Myanmar, Muslim dibunuh di negara bagian Rakhine, rumah mereka dibakar dan satu juta orang terpaksa mengungsi dan ditenggelamkan di perairan terbuka untuk datang ke kamp sementara tanpa makanan dan air, tanpa kebersihan minimum," katanya. Namun, pejabat Myanmar, termasuk pemenang Hadiah Nobel Perdamaian, membantah tuduhan tersebut.

Mahathir Mohamad juga mengkritik standar ganda negara kaya dan berkuasa yang berbicara tentang pentingnya perdagangan bebas tetapi pada saat yang sama memanfaatkan kondisi perdagangan di negara miskin tanpa kemerdekaan penuh. Menurut mantan Perdana Menteri Malaysia itu, dunia saat ini berada dalam kondisi gejolak ekonomi, sosial dan politik. Selain itu, kata dia, perang dagang antara negara-negara ekonomi terkuat merugikan negara-negara, menciptakan gejolak politik internasional, meletusnya konflik, menyebarkan terorisme dan membunuh jutaan, serta dana yang akan digunakan untuk membantu orang miskin, dihabiskan untuk membeli dan memelihara senjata perang yang mahal.

 

Tags