Peran AS dalam Konflik Laut Cina Selatan (6)
Pada edisi ini, kita akan membahas posisi pemerintah India, Rusia, serta Korea Utara dan Selatan mengenai sengketa Laut Cina Selatan. Meskipun India menganggap dirinya bukan sekutu negara manapun, tetapi juga tidak menyambut perluasan pengaruh serta penguatan militer dan ekonomi Cina.
Posisi India di Laut Cina Selatan
Presiden Amerika Serikat waktu itu, Donald Trump – melalui prakarsa India-Pasifik sebagai pengganti dari kebijakan Asia-Pasifik – berusaha menampilkan India sebagai rival Cina di Asia. Oleh sebab itu, ia mendukung perjanjian perdagangan dan ekonomi India dengan negara-negara yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan.
Kesepakatan perdagangan India dengan Vietnam khususnya tentang eksplorasi minyak di perairan tersebut, ditujukan untuk menantang kekuatan Cina di Laut Cina Selatan. Itulah mengapa pemerintah Beijing berulang kali memperingatkan New Delhi tentang keterlibatannya dalam urusan eksplorasi energi di kawasan.
Pada tahun 2011, India menandatangani perjanjian dengan Vietnam untuk eksplorasi minyak dan gas di Laut Cina Selatan. Langkah ini sejak awal telah menuai protes keras dari Beijing, tetapi para pejabat New Delhi – terlepas dari semua tekanan Cina – secara konsisten berusaha untuk tetap terlibat di wilayah tersebut.
Pemerintah India menganggap kehadirannya di Laut Cina Selatan dan eksplorasi sumber daya di wilayah itu sebagai urusan bisnis, namun Cina memandang hal itu sebagai pelanggaran kedaulatan. India juga berusaha mengimbangi perubahan di lingkungan maritim Laut Cina Selatan dengan meninjau ulang strategi maritimnya.
New Delhi selalu bersikap sensitif terhadap perkembangan di Laut Cina Selatan. Dalam beberapa tahun terakhir, Angkatan Laut India berusaha untuk hadir di kawasan itu dengan dalih memastikan keamanan perdagangan dan melindungi kepentingannya. Pada Juni 2012, Kementerian Luar Negeri India menyatakan bahwa mereka berkomitmen untuk memastikan kebebasan navigasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi non-eksklusif di Laut Cina Selatan.
Salah satu usulan provokatif AS kepada India adalah mengenai latihan militer. Washington mendorong New Delhi untuk bersaing dengan Beijing lewat program latihan militer dan patroli maritim, yang melibatkan teknologi yang canggih dan berbagi informasi intelijen dengan negara-negara sekutunya. Untuk menjustifikasi kerja sama ini, para pejabat India mengangkat isu kehadiran kapal-kapal selam Cina di Samudra Hindia. Mereka mengatakan kapal selam Cina terpantau di kawasan rata-rata empat kali setiap tiga bulan, dan beberapa dari kapal selam ini bahkan berada di dekat Kepulauan Andaman dan Nikobar, yang terletak di dekat Selat Malaka.
India juga bekerja sama dengan Australia dalam menyikapi perkembangan di Samudra Hindia. Kedua negara mengadakan latihan maritim yang disebut “AUSINDEX-15.” Banyak analis menilai latihan ini bertujuan untuk melawan kehadiran Angkatan Laut Cina di Samudra Hindia. Untuk itu, kedua negara menandatangani perjanjian kerja sama militer pada tahun 2006.
Di sisi lain, India berusaha menampilkan dirinya sebagai penyeimbang kekuatan Cina di kawasan. Dalam hal ini, India ingin memperkuat hubungannya dengan ASEAN dan AS sebagai aktor lain di kawasan. India juga telah menandatangani perjanjian pertahanan bersama dengan Jepang dan Korea Selatan.
Sikap Rusia dalam Sengketa di Laut Cina Selatan
Mengingat Rusia dan Cina adalah dua sekutu strategis, Moskow pasti mendukung posisi Beijing di Laut Cina Selatan. Latihan gabungan Angkatan Laut Rusia dan Cina di Laut Cina Selatan menunjukkan bahwa Beijing juga berusaha merangkul sekutunya untuk unjuk kekuatan kekuatan di hadapan rivalnya di kawasan.
Moskow dan Beijing mencoba membuktikan bahwa mereka dapat mengambil tindakan kolektif untuk membendung pengaruh Washington di Asia dan Pasifik serta melawan tekanan politik dan militer dari Negeri Paman Sam. Rusia menekankan kemitraan strategis dengan Cina di wilayah Asia-Pasifik.
Pada dasarnya, Rusia berharap bisa menutupi kekurangan yang ada dalam kerja sama ekonomi dan investasi dengan Cina lewat kerja sama militer dengan negara tersebut. Hal ini bisa dilihat dari kegiatan latihan bersama Rusia dan Cina di Laut Timur (Laut Jepang). Kehadiran Moskow di Laut Cina Selatan bertujuan untuk memperluas kerja sama strategis dengan Beijing terutama di lautan.
Berbicara dalam sebuah konferensi di kota Sochi pada 2019, Presiden Vladimir Putin mengatakan bahwa Rusia membantu Cina untuk membangun sistem peringatan rudal. Untuk saat ini, sistem peringatan semacam itu hanya dimiliki oleh Rusia dan AS. Sistem peringatan yang tengah dikembangkan ini merupakan jenis sistem peringatan dini yang mampu mendeteksi peluncuran rudal balistik antarbenua.
“Sistem tersebut mencakup radar berbasis darat yang akan mencegat peluncuran rudal, serta terkoneksi dengan sekelompok satelit dan didukung oleh sebuah pusat komando,” kata Putin.
Posisi Korea Utara terkait Konflik di Laut Cina Selatan
Meskipun Korea Utara tidak memiliki kemampuan angkatan laut atau udara yang mumpuni untuk terlibat secara langsung dalam konflik di Laut Cina Selatan, namun Pyongyang harus selalu diperhitungkan dalam perimbangan di Asia Timur, karena permusuhan antara Korea Utara dan Amerika serta sekutunya. Secara khusus, Korea Utara juga memiliki kemampuan rudal dan nuklir yang besar.
Tidak diragukan lagi, pemerintah Cina mendukung setiap situasi yang menggeser perimbangan regional yang merugikan AS, Korea Utara memiliki kapasitas ini mengingat kemampuan nuklir dan rudalnya. Menurut sebagian pengamat politik, krisis Korea Utara telah memberikan peluang kepada AS untuk meningkatkan tekanan pada Cina, tentu saja dengan merangkut sekutunya yaitu Jepang dan Korea Selatan, sekaligus memperkuat kehadiran militer AS di kawasan.
Faktanya, salah satu alasan utama bagi Amerika untuk memiliki kehadiran militernya di perairan sekitar Cina adalah program rudal dan nuklir Korea Utara. Itulah mengapa Presiden Xi Jinping berulang kali memperingatkan terhadap aliansi beberapa negara Asia dengan AS untuk melawan Cina.
Kekhawatiran Cina semakin meningkat setelah Jepang, Korea Selatan, dan AS menandatangani perjanjian kerja sama intelijen pada 29 Desember 2014.
Sikap Korea Selatan dalam Sengketa di Laut Cina Selatan
Korea Selatan melibatkan diri dalam konflik di kawasan karena pentingnya koridor Laut Cina Selatan sebagai jalur penghubung Asia Timur dan ketergantungan energi negara itu pada wilayah Asia Barat. Korea Selatan memenuhi sekitar 65 persen dari kebutuhan energinya melalui jalur tersebut.
Di sisi lain, Korea Selatan, seperti negara-negara lain di kawasan, prihatin dengan kebangkitan Cina dan dampak-dampak potensial, sehingga berusaha untuk mengambil sikap defensif dan kehati-hatian terhadap Beijing. Kedekatan Seoul dengan Washington telah memperlebar jarak antara Cina dan Korea Selatan.
Korea Selatan bersama Jepang – untuk membatasi gerak Cina di kawasan – memilih mengadakan latihan militer yang melibatkan negara-negara pesisir di Laut Cina Selatan, serta Amerika Serikat.
Meskipun Seoul merupakan sekutu Washington di Asia Timur, namun presiden Korea Selatan saat ini tetap berusaha untuk mengembangkan hubungan dengan Korea Utara dan Cina demi kepentingan nasionalnya. Karena ia tahu betul bahwa jika terjadi konfrontasi militer antara Beijing dan Washington, Korea Selatan dan Jepang akan menjadi pihak yang paling dirugikan sebagai sekutu AS di kawasan tersebut.
Meski Cina menjatuhkan sanksi terhadap Korea Selatan, termasuk di sektor pariwisata, namun pemerintah Seoul telah mencapai kesepakatan dengan pemerintah Beijing untuk meredam ketegangan dan memperluas kerja sama bilateral. (RM)