Feb 07, 2021 18:20 Asia/Jakarta

Sebelum Revolusi Islam 1979 di Iran, rakyat negara ini tidak memiliki suara dan andil dalam pemerintahan. Hal ini disebabkan sistem monarki turun-temurun pada saat itu, namun pasca kemenangan Revolusi Islam, semua telah berubah.

Rakyat Iran, 42 tahun lalu dengan bersandar pada tekad baja tanpa bergantung pada kekuatan dan adikuasa dunia, berhasil melalui hari-hari menentukan sehingga memenangkan Revolusi Islam Iran.

Mulai tanggal 12-22 Bahman 1357 Hijriah Syamsiah (1-11 Februari 1979) terjadi perubahan politik besar di Iran, yang berujung dengan tumbangnya pemerintahan despotik rezim Shah.

Sepuluh hari menentukan ini telah merusak kalkulasi rezim Shah dan para pendukungnya. Kegagalan upaya mencegah kembalinya Imam Khomeini ke Iran pada 12 Bahman 1357 Hs, dibubarkannya Dewan Kerajaan dan pembentukan pemerintahan sementara oleh Imam Khomeini, pengumuman solidaritas pegawai sejumlah instansi sensitif seperti perusahaan minyak nasional atas kebangkitan revolusi rakyat, dibatalkannya aturan darurat militer atas perintah Imam Khomeini, dan turunnya masyarakat ke jalan-jalan serta baiat bersejarah para komandan Angkatan Udara Iran kepada Imam Khomeini pada 19 Bahman 1357 Hs (8 Februari 1979), di antara peristiwa yang menandai kemenangan Revolusi Islam Iran.

Pidato Imam Khomeini pada tanggal 12 Bahman 1357 Hs (1 Februari 1979) menyampaikan pesan Revolusi Islam Iran. Imam Khomeini menegaskan urgensi penentuan masa depan rakyat oleh rakyat sendiri, dan pemilu sebagai prinsip serta independensi negara di seluruh bidang yang menjadi fondasi Revolusi Islam Iran.

Setelah kemenangan Revolusi Islam di Iran pada 1979, Imam Khomeini ra mengusulkan pelaksanaan referendum untuk menentukan sistem negara dan pemilihan ini diselenggarakan di seluruh penjuru Iran pada tanggal 10-11 Farvardin 1358 Hijriyah Syamsiah (30-31 Maret 1979). Sebanyak 98,2 persen rakyat Iran menyetujui Republik Islam sebagai sistem pemerintahan mereka.

Hasil referendum itu diumumkan pada 12 Farvardin dan momen bersejarah tersebut dikenang setiap tahun sebagai Hari Republik Islam. Pelaksanaan referendum ini merupakan salah satu manifestasi demokrasi, yang terjadi hanya beberapa bulan pasca kemenangan Revolusi Islam Iran.

Keistimewaan sistem Republik Islam adalah memberikan perhatian serius dan menghormati suara dan kehendak rakyat sejak hari pertama berdiri. Di Republik Islam, suara rakyat memiliki tempat khusus dan sistem politik bergerak menuju pemenuhan kehendak rakyat. Sejak awal kemenangan revolusi, faktor yang telah mendekatkan republikanisme dan Islamisme adalah pemilu yang bebas dan hak untuk memilih.

Sebelum referendum, Bapak Pendiri Republik Islam Iran, Imam Khomeini dalam sebuah pesan menekankan pentingnya partisipasi seluruh lapisan masyarakat dalam pemilihan dan kebebasan mereka dalam memilih sistem politik negara.

"Referendum ini akan menentukan nasib bangsa kita. Referendum ini akan membawa kalian ke arah kebebasan dan independensi atau seperti masa silam, pengekangan dan ketergantungan pada asing. Ini adalah sebuah referendum yang harus diikuti oleh semua… kalian bebas menjatuhkan pilihan. Kalian berhak dan bebas menulis di surat suara, menulis republik demokratik, rezim monarki atau menulis apapun yang kalian inginkan. Kalian bebas dalam hal ini," ujar Imam.

Mengenai 12 Farvardin dan Hari Republik Islam, Direktur Kajian Sejarah Revolusi Islam di Tehran, Ali Kurdi menuturkan, "Imam Khomeini dalam penunjukan Perdana Menteri sementara, Mehdi Bazargan, telah menetapkan empat tugas penting bagi pemerintahan transisi dan salah satunya meminta pandangan rakyat dalam mengubah sistem politik negara. Meski rakyat Iran menyerukan pembentukan Republik Islam dalam puluhan demonstrasi yang berlangsung selama revolusi, namun Imam – demi menghapus segala keraguan – tetap memerintahkan pelaksanaan referendum untuk menentukan sistem politik mendatang."

Keputusan Imam Khomeini ini telah memberikan kedudukan dan kredibilitas yang tak tergoyahkan bagi Republik Islam. Lewat gerakan historis ini, beliau telah menghadiahkan kemuliaan, wibawa, dan independensi bagi bangsa Iran.

Referendum 12 Farvardin menjadi sejarah baru bagi Iran yang menegaskan prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat.

Seorang analis Arab, Nasser Kandil mengatakan, "Dalam setiap pemilihan, Iran dengan tenang dan hati-hati mengirimkan pelajaran dan pesannya. Republik Islam di Iran adalah contoh unik dari sebuah sistem yang mampu menjaga stabilitas, nilai-nilai, dan sumber kekuatannya, tetapi pada saat yang sama dapat menghasilkan formula yang fleksibel untuk peralihan kekuasaan di mana opini publik berperan dan prioritas mereka adalah mendistribusi kekuasaan di antara komunitas yang berbeda."

Referendum pembentukan Republik Islam menunjukkan bahwa Revolusi Islam dibangun dengan menghormati hak kedaulatan rakyat dalam menentukan nasibnya. Ini merupakan sebuah titik balik dalam sejarah politik Revolusi Islam Iran, yang telah mendorong semangat keterlibatan rakyat dalam mengelola negara. Pemilu dan partisipasi rakyat terus diperluas di tahun-tahun pasca kemenangan Revolusi Islam.

Sistem demokrasi religius di Iran telah memberikan sebuah model yang tidak pernah bertentangan dengan agama, nilai-nilai, dan prinsip-prinsipnya selama 42 tahun terakhir. Prinsip demokrasi religius tetap ditegakkan bahkan pada saat munculnya gangguan dari luar dan masalah dari dalam.

Di Iran, masyarakat secara bebas dan adil dapat berpartisipasi dalam pemilu. Terlepas dari propaganda asing yang menuding Iran merampas kebebasan, tetapi fakta mencatat bahwa rakyat Iran selalu bebas menentukan pilihan di setiap pemilu dan antusias mendatangi kotak suara bahkan di tengah krisis politik dan ekonomi.

Tudingan itu dilakukan ketika di negara-negara lain seperti, Belgia, Australia, dan Austria terdapat pemaksaan dalam pemilu. Masyarakat tidak punya pilihan dan mereka harus ikut dalam pemilu. Di negara-negara tersebut, jika warga tidak mengikuti pemilu, mereka tidak bisa menikmati hak-haknya sebagai warga negara dan harus menanggung biaya politik dan ekonomi yang berat.

Pemilihan presiden, parlemen, Dewan Ahli Kepemimpinan, dan pemilu-pemilu lain merupakan manifestasi dari suara dan kehendak rakyat. Partisipasi ini merupakan hak rakyat sekaligus kewajiban mereka.

Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah Sayid Ali Khamenei mengatakan, "Sistem merakyat yaitu memberikan peran kepada rakyat di pemerintah. Rakyat berperan dalam mengelola negara, membentuk pemerintah, memilih pemimpin, serta dalam menentukan sistem pemerintahan dan politik. Makna lain dari sistem merakyat adalah pemerintahan Islam hadir untuk mengabdi kepada masyarakat. Pemimpin harus memperhatikan kepentingan masyarakat umum, bukan segelintir orang atau kelompok tertentu."

Seorang pengamat politik dari Iran, Abbas Nikooye menuturkan, referendum 12 Farvardin adalah pemilu pertama pasca Revolusi Islam Iran. Menurutnya, tingginya partisipasi rakyat dalam referendum membuktikan antusias mereka dalam mengikuti pesta demokrasi dan hal ini telah membuat kubu anti-revolusi tidak bisa menciptakan keraguan sekecil apapun.

Jelas bahwa sejak awal kemenangan Revolusi Islam, Iran sangat menghargai suara rakyat, dan Undang-Undang Dasar juga mengakui rakyat sebagai pemilik asli kekuasaan dan menegaskan bahwa siapa pun tidak berhak mencabut kekuasaan dari rakyat.

Singkatnya, sistem Republik Islam Iran sejak kemunculannya telah dibangun dengan menghormati parameter sistem demokrasi, mulai dari menggelar referendum dan kemudian diikuti dengan berbagai pemilu selama 42 tahun terakhir. Ini semua membuktikan bahwa parameter dalam menjalankan kekuasaan di Republik Islam adalah suara rakyat.

Kemenangan Revolusi Islam Iran pada kenyataannya merupakan perwujudan kehendak sebuah bangsa untuk mencapai independensi, kemuliaan dan kebebasan dari hegemoni kekuatan imperialis global.

Kemarahan Amerika Serikat realitasnya merupakan konsekuensi sikap Republik Islam Iran yang menentang hegemoni negara adikuasa itu, dan di kemudian hari menjadi inspirasi kebangkitan masyarakat tertindas dunia. Amerika sejak berdirinya Republik Islam Iran telah menggunakan strategi penggulingan sebagai senjatanya menghadapi Tehran.

Kekuatan imperialis global menyadari bahwa tantangan terbesar yang mereka hadapi untuk menundukkan Iran adalah partisipasi luas rakyat negara ini dalam membela revolusi. Amerika selama bertahun-tahun berusaha menjatuhkan sanksi luas terhadap rakyat Iran, dan memberikan tekanan maksimum kepada mereka.

Tidak diragukan Amerika sejak 42 tahun telah menggunakan opsi tekanan ekonomi untuk menaklukkan Iran.

Selain itu Amerika juga berusaha menghentikan aktivitas damai nuklir Iran, mengancam kemampuan pertahanan rudal Iran, dan mengulang klaim tak berdasar soal pengaruh regional Iran, hingga teror terhadap Komandan Pasukan Quds IRGC, Letjend Qassem Soleimani.

Masih kurang, Amerika juga menyingkirkan para ilmuwan nuklir Iran seperti Syahid Mohsen Fakhrizadeh, untuk meruntuhkan Revolusi Islam Iran dalam beberapa tahun terakhir.

Bangsa Iran tetap kokoh berdiri sampai sekarang di tengah semua tekanan dan kesulitan yang dihadapi. Mereka menunjukkan bahwa tidak ada satupun kekuatan arogan yang bisa menaklukkan rakyat dan Republik Islam Iran. (RA)