Genosida Muslim Rohingya di Myanmar (12)
Salah satu organisasi regional penting yang sangat lemah kinerjanya dalam menanggapi pembantaian, pengusiran dan pelanggaran hak kemanusiaan etnis minoritas muslim Rohingya di Myanmar adalah ASEAN.
Sisi penting dari organisasi ini adalah Myanmar justru menjadi salah satu anggota organisasi ini dan jika ASEAN mengambil sikap tegas, maka ia akan mampu memaikan peran positif dan pencegahan ketimbang organisasi regional yang serupa.
Namun demikian kita harus membedakan antara kebijakan toleran anggota organisasi kerja sama regional dan mayoritas rakyatnya. Bangsa kawasan dan organisasi kemasyarakatan memiliki sikap yang lebih dapat diterima dan mereka menunjukkan penentangannya atas kebijakan Myanmar melalui aksi protes dan perilisan statemen serta bahkan menggelar aksi demonstrasi di Malaysia dan Indonesia.
Meski demikian, faktanya adlah pemerintah anggota ASEAN dengan berbagai alasan menolak menunjukkan sikap tegas dan penentangan atas genosida etnis Muslim Rohingya di Myanmar.
Bagaimana pun juga, ada satu perbedaan yang terasa antara sikap Malaysia dan Indonesia dengan seluruh anggota ASEAN yang patut dikaji. Perbedaan pandangan ini dapat disaksikan di sidang tingkat menlu dan bahkan KTT pemimpin negara anggota. Mantan perdana menteri Malaysia, Mahathir Mohamad memiliki sikap paling tegas dalam mengutuk pembantaian Muslim Rohingya, bahkan ia mengusulkan pemecatan Myanmar dari ASEAN. Mahathir Mohamad di konferensi kejahatan anti kemanusiaan untuk membela etnis Rohingya, meminta pemimpin negara-negara anggota ASEAN untuk mengeluarkan Myanmar dari organisasi tersebut.
Selain Mahathir sebagai tokoh tinggi di Malaysia, dua organisasi kemasyarakatan (NGO) Gerakan Keadilan Dunia Malaysia dan Pusat Dukungan dan Perealisasian HAM Malaysia, mengkritik respon lemah ASEAN atas genosida Muslim Rohingya dan meminta pemimpin negara organisasi ini mengambil sikap lebih serius dan memaksa pemimpin Myanmar melindungi hak kemanusiaan Muslim Rohingya serta mencegah pengusiran etnis tertindas ini.
Mantan perdana menteri Malaysia ini di tahun 2018 dan di sela-sela Sidang Umum Majelis PBB ke 73 di New York mengatakan, Aung San Suu Kyi berbicara mengenai aksi kekerasan militer dan penumpasan terhadap Muslim Rohingya oleh militer negara ini, dan kami senantiasa menyaksikannya bungkam atas pembantaian rakyat Rohingya, dengan demikian kita tidak lagi mendukungnya.
Selain AEAN, yang, jika mengambil posisi yang tegas, realistis, dan jera, dapat menekan pemerintah Myanmar dan mengurangi tingkat kekejamannya terhadap Muslim Rohingya. Organisasi regional yang paling penting adalah Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), di mana 57 negara Islam menjadi anggotanya, yang, jika menjalankan kebijakan tunggal dan koheren dalam mendukung Muslim Rohingya, bisa jadi cukup efektif dalam meringankan penderitaan kaum tertindas Muslim Rohingya. Namun karena berbagai alasan, organisasi ini sejauh ini belum mampu mengambil posisi pendukung yang signifikan.
Namun, pada KTT 2017 di Kuala Lumpur, Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) mengkritik Myanmar dan menyerukan diakhirinya genosida dan pengusiran Muslim Rohingya dari tanah air bersejarah mereka di Negara Bagian Arakan. Selain itu, organisasi tersebut mengambil langkah maju pada KTT Menteri Luar Negeri 2018, mengutuk pembunuhan Muslim Rohingya. Tetapi sebenarnya Organisasi Kerja Sama Islam tidak memiliki kekuatan eksekutif, dan maksimal yang telah dilakukan dalam praktiknya adalah menyampaikan suara protesnya kepada pemerintah Myanmar, sementara dunia Islam memiliki harapan yang jauh lebih besar dari organisasi ini.
Langkah paling serius hingga saat ini oleh Organisasi Kerja Sama Islam untuk mendukung Muslim Rohingya tampaknya adalah pengaduan yang diajukan oleh Gambia mewakili organisasi ini ke Mahkamah Arbitrase Antarbangsa (PCA) Den Haag, yang menyerukan pengadilan terhadap para pemimpin militer dan politik serta biksu Buddha. Mereka terlibat langsung dalam mengorganisir umat Buddha yang menyerang Muslim Rohingya.
Pengaduan ini dalam prakteknya juga tidak membuahkan hasil dan telah menjadi bagian dari kebijakan yang lebih umum yang ditempuh oleh komunitas internasional dalam menghadapi genosida dan pemusnahan etnis minoritas Muslim. Sepertinya salah satu alasan komunitas regional seperti OKI dan ASEAN tidak terlalu berminat secara serius terlibat di isu Rohingya adalah anggapan bahwa kasus ini adalah masalah dalam negeri Myanmar. Padahal pembantaian dan kebijakan genosida bukan sebuah isu internal Myanmar, karena dampaknya akan melilit negara lain yang terpaksa menerima atau tidak para pengungsi Rohingya, serta akan menimbulkan masalah lebih serius bagi mereka.
Di antara organisasi regional penting lainnya yang jika mengambil sikap tegas terkait genosida dan pembersihan etnis Rohingya di Negara Bagian Arakan akan mampu memainkan peran pencegah adalah South Asian Association for Regional Cooperation (SAARC), organisasi di Anak Benua India dan Asia Selatan. Khususnya kedua negara penting anggota SAARC, yakni India dan Banglades, memiliki perbatasan bersama dengan Myanmar dan secara langsung terlibat dalam menerima atau menolak pengungsi Rohingya.
Kebijakan India di kasus ini sepenuhnya negatif dan tidak dapat diterima, sementara pemerintah Bangladesh secara praktis hanya menyerukan perundingan dan mendorong pemerintah Myanmar untuk mengurangi kejahatan terhadap etnis Rohingya. Meski di ruang yang lebih terbatas dan melalui perundingan dicapai kesepakatan dengan pemerintah Myanmar untuk pemulangan ratusan ribu pengungsi Rohingya. Meski demikian sepertinya SAARC mengingat persaingan dan friksi internal negara anggota dan khususnya India-Pakistan, sampai saat ini tidak mampu mengambil sikap yang jelas untuk menekan pemerintah Myanmar paling tidak memberi kewarganegaraan kepada etnis Rohingya.
Mayoritas etnis minoritas Rohingya berlindung ke Bangladesh karena takut akan kekerasan militer Myanmar dan mereka menolak kembali. Meski ada kudeta militer di Myanmar pada Februari 2021, ketakutan dan kekhawatiran ini malah meningkat drastis. Minoritas Rohingya selama beradab-abad hidup dalam kemiskinan mutlak dan tanpa memiliki hak mendasar di negaranya, Myanmar.
Selama beberapa tahun terakhir kekerasan terhadap etnis minoritas ini semakin meningkat dan ratusan ribu dari mereka melarikan diri ke Bangladesh. Radhika Coomaraswamy, salah satu pelapor PBB di New York terkait hal ini mengatakan bahwa etnis ini tidak kembali ke desa-desa mereka, karena diancam akan dibunuh dan diperkosa oleh militer Myanmar. Ia meyakini bahwa langkah Myanmar merupakan bukti nyata dari kejahatan terhadap kemanusiaan dan pembantaian massal, serta militer Myanmar harus mengakhiri kekeradan dan pembantaian terhadap etnis minoritas Rohingya.