Mengenal Para Ulama Besar Syiah (29)
Jun 08, 2021 17:11 Asia/Jakarta
Pada dua bagian sebelumnya dibahas tentang ulama besar Abad ke-10 Ahmad bin Mohammad Ardabili yang lebih dikenal dengan Moghaddas Ardabili, dan pelayanan luar biasa yang diberikannya dalam menghidupkan Hauzah Ilmiah Najaf, dan memperkuat ajaran Syiah di Iran.
Selain itu juga sudah dibahas tentang metode fikih khusus Mujtahid Besar Syiah ini, serta jalan yang dirintisnya untuk semakin mengukuhkan fikih Syiah. Sementara pada bagian ini akan dibahas tentang karakteristik kepribadian Mohaghegh Ardabili sehingga sampai dikenal sebagai Moghaddas yang artinya “Orang Suci”.
Mohaghegh Ardabili dengan mengukuhkan fikih pada sandaran riwayat dan interaksi serta penelahaan ulang seluruh pintu fikih, secara berani mengemukakan pendapat barunya, dan karena sikap adil dan rendah hatinya, ia berhasil meyakinkan para penentang.
Mohaghegh Ardabili dengan bersandar pada prinsip kemudahan dalam Islam, percaya bahwa sebagian aturan ketat tanpa argumen yang mempersulit seseorang tidak memiliki landasan agama. Dengan demikian menurut pandangan Ardabili, fikih adalah pengetahuan untuk kehidupan dan kebahagiaan masyarakat. Pada bagian ini akan diulas kepribadian Moghaddas Ardabili yang bisa menjadi teladan praktis bagi kita dalam akhlak dan kesucian jiwa.
Dikarenakan ketakwaannya yang tinggi dan memiliki segudang kemuliaan yang disaksikan masyarakat, ulama besar Syiah ini dikenal sebagai Moghaddas atau orang suci. Diceritakan bahwa selama 40 tahun Ardabili bukan hanya tidak melakukan dosa, bahkan tidak melakukan hal-hal yang makruh dan mubah. Artinya, ia hanyak melakukan pekerjaan-pekerjaan yang mustahab dan wajib saja.
Suatu hari seorang pria bersikeras bertanya kepada Moghaddas Ardabili, apakah Anda benar-benar tidak melakukan dosa ? Ardabili menjawab, “Memangnya Anda makan sesuatu yang najis atau bahkan bersedia untuk sekadar melihatnya ? Pandangan kita terhadap dosa juga seperti ini.”
Benar berdasarkan kesaksian para ulama dan pemuka agama, Ardabili dalam zuhud, takwa dan ibadah telah sampai pada derajat terakhir, dan tidak ada ulama lain yang menyamainya. Selama hidupnya, ia adalah ulama yang paling menjaga diri, paling taat beribadah, dan paling bertakwa, sampai masyarakat biasa pun mengumpamakan dirinya sebagai perwujudan takwa dan kesucian.
Moghaddas Ardabili selain merupakan penjelmaan dari kesucian, bagi masyarakat kebanyakaan bahkan bagi ulama, adalah teladan dalam akhlak yang baik dan pemberani. Banyak kisah yang menceritakan tentang sifat rendah hati, kesabaran, kedermawanan, keberanian, dan kedekatan dengan masyarakat yang dimiliki Ardabili. Mendengar kisah-kisah tersebut dapat membantu manusia mengenal tangga-tangga kemanusiaan.
Di antara kisah itu, ulama besar Syiah ini diceritakan selalu menerima hadiah-hadiah yang diberikan kepadanya mulai dari yang tidak terlalu berharga sampai yang sangat berharga. Terkadang ia menerima hadiah kain yang sangat bernilai setara emas, dan biasanya Syeikh Ardabili akan mengenakan kain semacam itu sebagai serban, lalu pergi keluar rumah dengannya, di perjalanan ia akan memberikan sepotong kain berharga itu kepada setiap fakir miskin yang ditemuinya sehingga ketika tiba di rumah tidak ada lagi yang tersisa selembar pun di kepalanya.
Kedermawanan dan keberanian Moghaddas Ardabili sedemikian tingginya sampai sebagian orang membandingkannya dengan cincin emas. Di masa paceklik, Ardabili membagikan semua yang ada di rumahnya kepada fakir miskin, dan menyisakan untuk keluarganya setara dengan jatah untuk seorang fakir. Suatu kali istri Mohaghegh Ardabili protes, dan mengkhawatirkan anak-anaknya yang kelaparan. Ardabili langsung keluar rumah tanpa menjawab protes istrinya untuk beritikaf di Masjid Kufah.
Dua hari berlalu, seorang pria tak dikenal membawa sejumlah banyak gandum dan tepung ke rumah Ardabili. Pria tersebut mengaku membawakan semua itu atas perintah Ardabili yang sedang beritikaf di masjid. Sekembalinya Ardabili ke rumah, istri beliau mengaku senang dengan kualitas gandum yang dikirimnya, sementara Ardabili sendiri bingung karena merasa tidak pernah menyuruh orang untuk mengirim gandum tersebut, kemudian ia sadar itu merupakan hadiah dari Ilahi dan langsung bersyukur kepada Allah Swt.
Ketawadhuan dan rendah hati merupakan sifat menonjol lain yang dimiliki Moghaddas Ardabili. Diceritakan suatu hari sebuah rombongan melewati kota Najaf, dan bermaksud untuk beristirahat sejenak di sana. Salah satu anggota rombongan yang tampak lelah, dan mukanya penuh debu melihat Moghaddas Ardabili tapi tidak mengenalnya. Ia pun meminta Ardabili untuk mencucikan bajunya yang kotor dan berjanji akan membayarnya.
Moghaddas Ardabili menerima tawaran orang itu dan mencucikan bajunya. Orang-orang yang mengenal Moghaddas Ardabili mencaci pemilik baju sampai ia malu dan meminta maaf, tapi Moghaddas Ardabili dengan tenang berkata, “Hak seorang Mukmin dari saudaranya lebih dari sekadar mencucikan baju, lalu mengapa harus meminta maaf.”
Seluruh usia dan kemampuan Moghaddas Ardabili digunakan untuk berkhidmat kepada ajaran Ahlul Bait as, sehingga ia diberi kesempatan bertemu dengan Imam Mahdi af.
Salah seorang murid Ardabili bernama Mir Feizollah Tafreshi menceritakan, “Suatu malam selepas belajar, saya duduk di kamar saya yang berhadapan dengan Makam Imam Ali as. Saya melihat seseorang melangkah ke Makam Imam Ali as di tengah malam. Saya berpikir mungkin ia seorang pencuri, maka saya pun mengikutinya. Setelah melihatnya dari dekat saya baru menyadari bahwa orang itu adalah Moghaddas Ardabili. Ketika sampai ke dekat Pusara Suci Imam Ali as, pintu-pintu Makam tiba-tiba terbuka. Perasaan ingin tahu saya muncul dan saya terus mengikutinya. Syeikh Ardabili berdiri di depan Pusara Suci Imam Ali dan saya mendengar ia berbicara dengan seseorang. Kemudian ia keluar dan melangkah ke Masjid Kufah. Di dalam masjid dekat mihrab ia berbicara lama dengan seseorang, lalu ia pun pulang.”
Tafreshi menambahkan, “Saat melangkah pulang, akhirnya Moghaddas Ardabili menyadari dirinya sedang diikuti. Saya pun berusaha menjelaskan kepadanya. Setelah meminta saya berjanji untuk tidak menceritakan apa yang terjadi selama beliau masih hidup, Syeikh berkata, ‘Saya menemukan permasalahan dalam pembahasan agama. Saya mendatangi Amirul Mukminin Imam Ali bin Abi Thalib as, dan saya bertanya kepada beliau. Imam Ali as berkata, hari ini Imam Mahdi af akan datang ke Masjid Kufah, pergilah ke sana dan bertanyalah kepadanya. Lalu saya pun pergi ke Masjid Kufah dekat mihrab, dan menanyakan masalah tersebut kepada Imam Zaman af, dan saya menerima jawabannya.' Berarti orang yang saya lihat di Masjid Kufah itu adalah Imam Mahdi af.”
Ya, di dunia yang bagi kebanyakan orang dipenuhi oleh kegelapan ini, ada sejumlah pembesar yang karena ketakwaan dan kesucian membawa dirinya sampai ke sumber cahaya dan meraih kebahagiaan.
Fakih dan ulama besar Moghaddas Ardabili akhirnya meninggal dunia pada bulan Rajab 993 Hijriah Qamariyah. Cahaya fikih yang menerangi Dunia Syiah dari Kota Ardabil itu redup setelah menjalani seluruh hidupnya dengan kerja keras tak kenal lelah di jalan agama dan syariat abadi Islam.
Ia meninggal dunia di kota suci Najaf, Irak. Syeikh Ardabili meninggalkan banyak karya berharga layaknya cahaya yang menyinari Islam dan Syiah. Tubuh mulia beliau dikebumikan di kompleks Makam Suci Imam Ali as, dengan harapan sebagaimana di dunia ia mencintai Ahlul Bait as, di akhirat pun bisa bersama mereka.(HS)