Imam Ridha as dan Kepemimpinan Yang Saleh
Gerakan revolusi Islam yang mencapai kemenangan dengan tergulingnya rezim korup, diktator dan thaghut tahun 1979 dilandasi oleh keimanan akan Islam dan semangat untuk mengikuti jejak kaki Rasulullah dan Ahlul Bait. Yang mendorong rakyat Iran bangkit melawan rezim Shah Pahlevi adalah kebijakan rezim despotik itu yang memerangi pemikiran Islam dan ajaran Ahlul Bait as. Hari ini kita memperingati Shahidnya Imam Ali ar-Ridha as, imam kedelapan dari silsilah 12 Imam Ahlul Bait.
Beliau adalah imam yang beberapa abad lalu menjejakkan kakinya yang suci di negeri Iran. Beliau wafat di negeri ini dan dimakamkan di Khorasan, tepatnya di kota yang saat ini dikenal dengan nama Masyhad. Makam Imam Ridha setiap saat dipenuhi oleh peziarah yang dengan luapan cinta berziarah ke sana. Di makam inilah sinar maknawiyah dan makrifat memancar.
Imam Ali bin Musa ar-Ridha as lahir di kota Madinah pada tahun 148 hijriyah. Sepeninggal ayahnya, Imam Musa al-Kadzim, beliau memangku imamah atau kepemimpinan ilahi atas umat. Di kota Madinah, beliau mengajarkan ilmu-ilmu tentang agama Islam dan mendidik banyak murid. Dengan argumentasi yang kuat beliau menyatakan penentangan terhadap kekuasaan bani Abbas, sebab kekuasaan ini bertolak belakang dengan ajaran ilahi. Akibatnya, Khalifah Ma'mun merasa terancam sehingga memaksa Imam Ridha as meninggalkan kota Madinah dan berhijrah ke ibukota pemerintahan Abbasiah di Khorasan. Namun untuk menghilangkan kecurigaan dan sensitivitas umat, Khalifah melakukannya dengan bermacam tipu muslihat.
Dengan memaksa Imam Ridha meninggalkan Madinah berarti Khalifah menjauhkan beliau dari tanah suci, tempat turunnya wahyu ilahi, dan kedua, dengan menawarkan posisi sebagai putra mahkota, Ma'mun ingin menjebak Imam dalam sebuah kondisi yang bisa dikesankan sebagai legalisasi kekuasaan bani Abbas. Imam sudah bisa membaca tipu muslihat dan permainan Khalifah dengan jeli. Beliaupun dengan sangat bijak melawan konspirasi Khalifah Ma'mun diantara dengan menyampaikan hadis Silsilah az-Dzahab yang terkenal di Neishabur.
Saat melintas kota Neishabur beliau disambut dengan suka cita oleh lautan manusia yang ingin mendengar hadis dan wejangan dari Imam Ahlul Bait ini. Setelah mengucapkan hamdalah dan menyampaikan salawat serta salam kepada Nabi Muhammad Saw, Imam Ridha berkata, "Aku mendengar dari ayahku, dari ayahnya dari kakeknya dan terus bersambung hingga Rasulullah Saw dari Jibril bahwa Allah Swt berfirman: ?Kalimat Laa ilaaha illallah (Tiada Tuhan selain Allah) adalah bentengKu yang kokoh. Barang siapa masuk ke bentengKu ia akan selamat dari siksaKu." Setelah berkata demikian, beliau berlalu. Beberapa langkah kemudian beliau mengarahkan pandangan kepada lautan massa itu dan mengatakan, "Tentunya, dengan syarat-syaratnya, dan aku adalah salah satu syaratnya."
Dengan penjelasan ini, Imam Ridha as menegaskan bahwa tauhid adalah asas dari semua akidah dan sendi kehidupan. Sementara keberadaan seorang imam dan pemimpin atas umat yang di zaman itu adalah beliau sendiri, adalah bagian dari syarat tauhid. Imam hendak menegaskan bahwa imamah adalah kedudukan yang mesti dilandasi oleh ajaran ilahi dan kosmologi tauhid.
Tak syak bahwa masyarakat memerlukan kepemimpinan sosial demi tegaknya kedamaian dan stabilitas. Keharusan berdirinya sebuah pemerintahan juga sudah secara tak langsung disinggung di dalam al-Quran dan teks-teks rujukan agama Islam. Selain itu, ide pembentukan pemerintahan juga teraplikasi dalam sirah kehidupan Nabi Saw dan Ahlul Bait as, termasuk Imam Ali Ridha as. Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang erat dan tak terpisahkan antara agama dan politik dalam arti pemerintahan. Imam menjelaskan bahwa masyarakat harus dipimpin oleh seorang pemimpin yang adil dan saleh. Pemimpin inilah yang bisa mencegah kezaliman dan pengkhianatan terhadap rakyat.
Imam Ridha as memandang masalah pemerintahan dan kepemimpinan secara lebih mendalam dan mengatakan, "Salah satu faktor yang mengharuskan keberadaan pemimpin adalah bahwa tidak ada satupun bangsa di dunia yang bisa lestari dan bisa bertahan hidup kecuali dengan adanya seorang yang menjaga menegakkan stabilitas dan hukum. Sebab, masyarakat manusia tak mungkin bisa lepas dari keberadaan pemerintahan untuk urusan spiritual dan materinya."
Mengenai kedudukan pemimpin pemerintahan dalam Islam kepada Abdul Aziz bin Muslim beliau berkata, "Imamah dan kepemimpinan atas umat Islam termasuk salah satu masalah prinsipal dan penyempurna agama. Allah Swt tidak membawa Nabi Saw ke alam lain kecuali setelah menyempurnakan agamaNya, menurunkan al-Quran dan menjelaskan semua hukum halal dan haram serta hukum-hukum lainnya.
Dunia belum pernah menyaksikan dan tidak pernah menyukai kitab tanpa mufassir, agama tanpa pengajar, dan agenda kerja tanpa pelaksana. Apalagi, jika agama itu adalah syariat yang menjamin kebahagiaan manusia di dua alam. Karena itu, Nabi Saw tidak wafat kecuali setelah mengajarkan kepada umatnya semua jalan yang bisa membawa mereka kepada kebenaran dalam beragama."
Selanjutnya Imam Ridha as menyinggung tentang Imam Ali as yang ditunjuk oleh Nabi Saw untuk menjadi pemimpin atas umat.
Beliau menyebut kepemimpinan figur-figur saleh sebagai pilar tegaknya sebuah masyarakat. Menurut Imam, pemimpin yang saleh akan bekerja untuk kebaikan masyarakat, memperbaiki perekonomian, pertahanan dan politik serta memberi perhatian yang penuh kepada kepentingan masyarakat. Pemimpin yang demikian akan berjalan mengikuti jejak Nabi Muhammad Saw dalam menerapkan hukum al-Quran untuk kebaikan masyarakat.
Dalam pesannya, Imam Ridha as menjelaskan pula bahwa imamah dan kepemimpinan dalam Islam menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat akan unsur maknawiyah seiring dengan terpenuhinya kebutuhan materi. Beliau berkata, "Imam adalah pemimpin agama dan pemnegak sistem kemasyarakatan kaum muslimin. Kebaikan dunia bagi kaum mukmin dan kemuliaan mereka adalah tugas yang diemban oleh imam. Sesungguhnya Imam adalah pilar Islam dan cabangnya yang rindang. Dialah yang menjalankan hukum Allah yang adil, dan dia pula yang mengarahkan masyarakat kepada jalan kebenaran dan hakikat dengan nasehat dan burhan yang kokoh."
Diriwayatkan bahwa suatu hari Khalifah Ma'mun Abbasi di hadapan Imam Ridha as berbicara tentang kemenangan yang diraih pasukannya di sejumlah medan pertempuran. Khalifah terkesan bangga dengan keberhasilan itu. Imam yang mendengar pembicaraan Khalifah berkata, "Apakah engkau bergembira karena berhasil menguasai sebuah desa?" Ma'mun balik bertanya, "Bukankah ini layak dibanggakan?"
Imam Ridha as menjawab, "Takutlah engkau kepada Allah terkait dengan umat Muhammad dan kekuasaan yang ada di tanganmu. Engkau telah merusak urusan umat Islam dan telah menyerahkan urusan kepada orang-orang yang tidak menghukumi dengan hukum Allah. Kaum tertindas semakin menderita dan untuk kehidupan mereka tidak memiliki apa-apa. Tak ada tempat bagi mereka mengadu. Tahukah engkau bahwa pemimpin dalam Islam harus memainkan peran layaknya tiang kemah, dan siapa saja harus bisa menjumpainya dengan mudah."
Dalam percakapan itu, Imam memberondong Khalifah dengan kritik deras seraya mengingatkan bahwa pemimpin Islam mesti menjauhi kemewahan dan segala acara aturan yang menjauhkannya dari rakyat. Pemimpin mesti bekerja untuk rakyat bukan mengunci diri dan berfoya-foya di istana-istana yang megah. Imam dalam riwayat lain menegaskan, "Hukum ilahi tidak akan tegak kecuali jika dijalankan oleh seorang yang kuat, mumpuni dan terpercaya yang menegakkan urusan ini dan mencegah pelecehan hak-hak masyarakat."
Imam Ridha as menerangkan panjang lebar tentang kriteria pemimpin yang saleh dan cakap. Pemimpin harus menjalankan pemerintahan dengan baik, cerdas dan semangat mengabdi dengan demikian ia akan terhindari dari ambisi dan kediktatoran. Kepemimpinan seperti ini tidak akan terwujud kecuali pemimpin memandang kekuasaan sebagai amanat ilahi. Imam Ridha as menyatakan bahwa penguasa adalah orang yang memegang amanat dari rakyat, karena itu kekuasaan harus digunakan untuk mencegah kezaliman dan pelanggaran hak orang lain. Beliau berkata, "Setiap kali penguasa melakukan kezaliman maka kekuasaannya akan melemah."
Imam Ridha melewatkan dua tahun terakhir masa hidupnya di kota Marv yang saat itu menjadi ibukota kekuasaan Bani Abbas. Beliau dipaksa oleh Khalifah Makmun untuk tinggal di kota ini dengan posisi sebagai putra mahkota. Namun demikian beliau telah mensyaratkan untuk tidak terlibat sama sekali dalam urusan pemerintahan. Ma'mun yang gagal mencapai maksudnya, akhirnya berpikir untuk mengakhiri permainan dengan membunuh Imam Ridha. Di akhir bulan Shafar tahun 203 hijriyah, Imam meneguk cawan Shahadah dari racun yang diberikan oleh Khalifah Ma'mun kepada beliau.