Aug 01, 2018 14:49 Asia/Jakarta

Putusan baru parlemen rezim Zionis (Knesset), dalam upaya mengesankan wilayah Palestina pendudukan sebagai wilayah Israel, mengambil langkah baru dengan memandang kaum Yahudi sebagai kaum terunggul. RUU tersebut merupakan ketentuan paling rasis yang pernah disahkan parlemen Zionis sejak pendudukan Palestina dan pembentukan rezim ilegal di Israel.

Menurut undang-undang tersebut, Israel selanjutnya secara eksklusif didefinisikan sebagai negara Yahudi dan dikenal sebagai tanah air kaum Yahudi. Perluasan permukiman Zionis di seluruh wilayah pendudukan dilegalkan, dan al-Quds (di timur dan barat) dianggap sebagai tanah dari rezim ilegal Israel dan menjadi ibukota resminya. Bahasa Ibrani juga dijadikan bahasa resmi dan bahasa Arab dihapus sementara bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa resmi kedua di Palestina pendudukan.

Ditetapkan dua tahun untuk sepenuhnya menghapus bahasa Arab di seluruh wilayah Palestina pendudukan dengan mengganti bahasa yang digunakan di tanda-tanda jalan, kota dan desa, buku-buku sekolah dasar, menengah, tinggi dan universitas serta dokumen pemerintah di semua pusat-pusat resmi. Dalam undang-undang ini, bagian timur al-Quds diumumkan sebagai ibukota rezim Zionis.

Parlemen Israel, Knesset

Al-Quds Timur diduduki rezim Zionis selama perang Arab-Israel 1967. Seharusnya sesuai Kesepakatan Oslo al-Quds yang ditandatangani antara rezim Zionis dan Otoritas Palestina adalah ibukota Palestina. Di Palestina pendudukan, terdapat dua juta orang Arab hidup dan membentuk 17% dari total populasi sembilan juta yang di tinggal di kawasan pendudukan.

Menurut keputusan Knesset, bukan  hanya bahasa Arab tidak dijadikan bahasa resmi kedua, bahkan warga Arab Palestina yang tinggal di wilayah pendudukan tidak memiliki hak yang sama dengan orang Yahudi. Meski pada praktiknya, orang-orang Arab Palestina yang tinggal di wilayah pendudukan tidak memiliki hak yang sama dengan orang Yahudi.

Para pejabat tinggi Zionis hingga detik ini mengklaim diri mereka sebagai negara paling demokratis di Timur Tengah, namun sekarang, melalui UU Negara Bangsa Yahudi itu, terungkap bagi mereka yang masih ragu tentang sifat rasis rezim Zionis dan bahwa rezim ilegal Israel sama dengan rezim apartheid Afrika Selatan tiga dekade lalu.

Putusan Knesset terkait UU Negara Bangsa Yahudi itu menuai berbagai reaksi. RUU usulan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu itu, disetujui Knesset dengan mayoritas tipis yaitu 62 anggota parlemen dari 120 suara di parlemen Israel. Penentangan para anggota Knesset terhadap RUU tersebut menunjukkan besarnya bahaya yang akan dihadapi Israel jika disetujui dan diterapkan.

Netanyahu beranggapan bahwa mengingat kondisi yang sedang bergejolak di kawasan saat ini dan dukungan komprehensif Presiden AS Donald Trump, ia dapat melegitimasi proses pendudukan Zionis dan mengumumkan ibukota Yerusalem serta melanjutkan pembangunan permukiman Zionis. Kedekatan sejumlah rezim Arab dengan rezim Zionis, seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, dapat dilihat sebagai alasan lain untuk mendukung usulan Perdana Menteri Israel tersebut.

Namun banyak kelompok Yahudi Zionis yang tidak berpikir demikian. Pasca penetapan UU Negara Bangsa Yahudi di Knesset, perwakilan Arab dan non-Yahudi di parlemen Zionis mengoyak salinan undang-undang tersebut. Wakil Partai Zionist Union, Shelly Yachimovich, mengkritik RUU tersebut dan mengatakan," Ini adalah bentuk post-nasionalisme yang membenci kelompok lain."

Isaac Herzog, ketua kelompok oposisi baru Zionis, menyatakan keprihatinan atas penerapan hukum tersebut dan mengatakan, "Pertanyaannya sekarang adalah apakah hukum ini akan memperkuat atau merusak Israel?" Aktivis kelompok Peace Now Israel berdemonstrasi menentang penetapan UU tersebut oleh Knesset dan menancapkan bendera hitam di balkon gedung  parlemen Zionis.

Jeremy Ben Ami, ketua dan pendiri lobi Zionis J Street di Amerika Serikat, juga mengkritik kabinet Netanyahu menyusul ratifikasi undang-undang tersebut dan mengatakan, UUD tersebut melahirkan dosa. Richard Jacobs, presiden Union for Reform Judaism mengatakan, "Ini adalah hari yang menyedihkan bagi demokrasi di Israel yang menunjukkan ketidakpeduliannya terhadap hal tersebut."

Parlemen Israel, Knesset

Ratifikasi UU Negara Bangsa Yahudi, bertentangan dengan seluruh perundingan damai selama beberapa dekade terakhir, akan menjadi basis pembentukan dua pemerintahan di wilayah pendudukan Palestina. Netanyahu mengumumkan bulan lalu bahwa Palestina tidak bisa menjadi negara merdeka dan harus membentuk Konfederasi Palestina-Yordania dengan pemerintah Amman.

Ratifikasi UU Negara Bangsa Yahudi sekali lagi menunjukkan bahwa semua solusi untuk perdamaian dengan rezim Zionis tidak ada manfaatnya bagi Palestina, dan bahwa cara menghadapi Zionis adalah perlawanan. Menyusul ratifikasi UU tersebut, maka sebagian dari Kesepakatan Abad yang diumumkan oleh Presiden AS Donald Trump juga terungkap. Sebuah rencana yang didasarkan pada pengabaian seluruh upaya perdamaian sejauh ini dan pengakuan atas semua agresi Zionis dan pengesampingan usulan dua pemerintah.

Salah satu karakteristik Kesepakatan Abad Trump adalah bahwa isu dua pemerintah akan ditinggalkan, dan hanya negara Yahudi yang akan dibentuk di Palestina. Satu poin dalam UU Negara Bangsa Yahudi disebutkan, "Kedaulatan adalah tuntutan untuk melindungi keselamatan anak orang-orang Yahudi dan warga Israel, mereka yang mengalami kesulitan karena berstatus Yahudi atau sebagai warga negara Israel, kedaulatan di luar Israel akan mengambil langkah untuk menjaga hubungan negara dengan putra-putra Yahudi, dan kedaulatan akan mengambil langkah untuk melestarikan warisan budaya, sejarah dan agama orang-orang Yahudi yang tinggal di luar Israel."

Interpretasi paragraf ini dari UU Negara Bangsa Yahudi berarti bahwa rezim Zionis sekarang berusaha menghapus status historis Palestina, dan ini merupakan salah satu inti dari rencana Donald Trump dalam Kesepakatan Abad. Faktanya, rezim Zionis mencoba menghapus segala bentuk solusi demokratis dengan mengadopsi UU tersebut, termasuk solusi yang diusulkan oleh Republik Islam Iran yang akan menyelesaikan krisis di Palestina pendudukan, melalui referendum dan menentukan nasib Palestina di tangan semua rakyat Palestina mencakup warga yang kehilangan tempat tinggal, Kristen, dan Muslim Palestina.

Undang-undang ini akan menjadi alasan untuk mempercepat perubahan demografi, sejarah, dan peradaban berdasarkan identitas palsu kaum Yahudi. Tempat-tempat suci Islam, khususnya Baitul Maqdis dan Masjid al-Aqsha, akan menjadi poros dari perubahan tersebut. Tidak ada lagi sisi Palestina dalam solusi yang diusulan Trump untuk krisis Palestina, melainkan penggantian status Arab menjadi rezim Zionis. Undang-undang Negara Bangsa Yahudi menghapus identitas Palestina sesuai dengan rencana Amerika dan rezim Zionis tidak menganggap diri mereka terikat untuk melaksanakan kesepakatan apapun bahkan Perjanjian Oslo yang secara resmi berakhir, karena tidak ada lagi pihak Palestina.

UU tersebut selain menilai orang-orang Palestina tidak memiliki identitas dan mempersiapkan gelombang baru pengusiran warga Palestina, juga merupakan hambatan utama untuk masalah hak pengembalian pengungsi Palestina. Subjek yang ditekankan dalam resolusi PBB nomor 194. Langkah-langkah Amerika Serikat pasca berkuasanya Turmp telah mengabaikan ratifikasi PBB dan badan-badan pendukungnya seperti UNESCO, Dewan Hak Asasi Manusia dan bahkan Dewan Keamanan.

Parlemen Israel, Knesset

Palestina dan negara-negara Islam tidak terbelenggu oleh langkah rezim rasis Netanyahu. Langkah Netanyahu selama beberapa tahun terakhir dan intensitas politik agresif Israel telah membuat Eropa menjadi penentang serius rezim Zionis selama beberapa dekade terakhir. Mereka tidak bisa lagi menutupi kedok pendudukan Zionis, seperti sebelumnya. Mereka telah sampai pada kesimpulan bahwa krisis yang ditimbulkan rezim Israel akan berdampak buruk bagi keamanan Eropa.

Karena alasan tersebut , mereka tidak secara sepihak membela tindakan rezim Zionis, seperti di masa lalu. Pendekatan pemerintah Eropa ini merupakan peluang besar bagi Palestina dan negara-negara Islam untuk mengekspos watak rasis rezim Zionis di kancah politik dan media global. Sementara itu, perlawanan dan penentangan terhadap rezim Zionis telah membuktikan hak bangsa Palestina kepada dunia.

Tags