Sep 08, 2021 15:42 Asia/Jakarta
  • Hari Literasi Internasional, 8 September
    Hari Literasi Internasional, 8 September

Tidak diragukan, salah satu tolok ukur kemajuan, dan perkembangan sebuah negara adalah perang melawan buta huruf, dan pemanfaatan maksimal kemampuan baca-tulis oleh setiap anggota masyarakat.

Mengingat pentingnya masalah ini, pada pertemuan menteri pendidikan negara-negara dunia di Iran pada tahun 1965, atas prakarsa Tehran diusulkan agar ditetapkan hari literasi internasional untuk semakin meningkatkan perhatian pada pentingnya literasi bagi seluruh orang, dan masyarakat. 
 
Hari Literasi Internasional yang dikenal juga dengan Hari Aksara Internasional atau Hari Melek Huruf Sedunia yang diperingati setiap tahun pada tanggal 8 September, pertama kali dideklarasikan oleh Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa, UNESCO pada 26 Oktober 1966.
 
Penetapan Hari Literasi Internasional ditujukan untuk menyebarluaskan kesadaran tentang melek huruf, meningkatkan level pendidikan berkualitas, dan mengembangkan keterampilan-keterampilan belajar, dan bekerja. Selain itu dimaksudkan juga untuk menghapus buta huruf, dan meningkatkan taraf hidup setiap masyarakat di dunia. Hari ini 8 September 2021 diperingati sebagai Hari Literasi Internasional.
 
Definisi tradisional literasi adalah menguasai kemampuan membaca, menulis dan berbicara, akan tetapi definisi modern literasi adalah memiliki kemampuan menjalin hubungan, dan memahami konsep, serta pemikiran di tengah masyarakat. Definisi lain menyebut literasi sebagai kemampuan dan kekuatan untuk menciptakan perubahan.
 
Menurut definisi ini, literasi harus bisa melahirkan serangkaian kemampuan dan keterampilan pada setiap orang yang membuat mereka mampu berhadapan dengan fenomena-fenomena baru di bidang sosial, ekonomi, lingkungan hidup, kerumitan dunia teknologi, metode-metode kerja baru, mekanisme dan instrumen-instrumen anyar dalam hubungan sosial, sehingga mereka masing-masing bisa menyelesaikan permasalahan individu, keluarga dan pekerjaan dengan metode yang benar, dan mereka juga bisa menjalin hubungan yang efektif dengan lingkungan sekitar, dan bisa mengembangkan pengetahuan dan keterampilan mereka secara kontinu. 
 
anak sekolah di Afghanistan

 

Meski definisi di atas nampak sudah akurat, namun UNESCO punya definisi sendiri tentang literasi dan itu adalah, kemampuan mengenal, memahami, menafsirkan, membangun, menjalin hubungan, dan menghitung dalam membaca karya-karya cetak, dan tertulis terkait dengan beragam bidang. Literasi juga meliputi rantai pendidikan yang memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memiliki kemampuan mencapai tujuannya, mengembangkan pengetahuan, dan potensi, serta berpartisipasi penuh di tengah masyarakat yang lebih besar.
 
Menurut definisi-definisi di atas, salah satu indikator pertumbuhan sebuah masyarakat adalah tingkat pemanfaatan anggota masyarakat sebuah negara atas kemampuan literasi minimal yaitu membaca dan menulis. Jelas bahwa perang melawan buta huruf bukan hanya bagian dari konsep pengembangan budaya sebagai langkah awal, tapi juga menempati posisi khusus di bidang sosial, ekonomi dan politik.
 
Semakin maju sebuah masyarakat ke arah literasi, maka dapat dipastikan jalan perubahan, dan perkembangan masyarakat tersebut ke arah konsep pembangunan akan semakin cepat. Akan tetapi kenyataannya lebih dari 775 juta orang dewasa di dunia saat ini bahkan tidak memiliki kemampuan literasi yang paling dasar. 75 persen masyarakat buta huruf dunia terkonsentrasi di 10 negara yaitu India, Cina, Pakistan, Bangladesh, Nigeria, Ethiopia, Mesir, Brazil, Indonesia dan Kongo.
 
Negara semacam Afghanistan yang memiliki kondisi literasi sangat buruk di tengah masyarakatnya, menyalip semua negara dalam masalah ini. Dua pertiga dari orang yang buta huruf ini adalah perempuan, sehingga mereka harus menderita ketidakadilan dan diskriminasi di bidang ekonomi dan sosial. Berdasarkan data yang dirilis badan internasional, negara-negara yang di dalamnya marak terjadi aksi kekerasan, tingkat literasinya berada di level terendah.
 
Di sisi lain sampai sekarang masih terus diperdebatkan faktor apa yang paling utama dalam mencegah terlaksanakanya akses “Pendidikan untuk semua, dan pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium", atau Education for All and Millennium Development Goals, MDGs. Negara-negara dilanda perang memiliki lebih dari 40 persen anggota masyarakat yang harus putus sekolah dasar.
 
Hari Literasi Internasional

 

Selain itu, permasalahan-permasalahan yang muncul dalam dua tahun terakhir, menyebabkan proses literasi harus berhadapan dengan tantangan terbesar. Penyebaran wabah virus Corona menyebabkan munculnya krisis yang memaksa sebagian besar negara dunia untuk menerapkan berbagai pembatasan ketat.
 
Di antara pembatasan itu adalah menutup pusat-pusat pendidikan. Sekarang ribuan sekolah di seluruh penjuru dunia ditutup, dan banyak kelas-kelas serta program pemberantasan buta huruf untuk orang dewasa di masa pandemi COVID-19 harus ditunda untuk sementara. Penutupan sekolah-sekolah di banyak negara dunia menyebabkan gangguan pendidikan pada lebih dari 80 persen pelajar di seluruh dunia.
 
Direktur Umum Pendidikan UNICEF Robert Jenkins mengatakan, “Sekolah-sekolah di sebagian besar negara dunia ditutup. Ini merupakan sebuah realitas luar biasa, dan jika kita sekarang tidak melakukan langkah bersama untuk mendukung pendidikan anak-anak, maka masyarakat dan perekonomian di masa setelah kita mengalahkan penyakit Corona, akan mengalami dampak panjang akibat penutupan ini. Di masyarakat-masyarakat yang paling rentan, jika tidak ada dukungan atas pendidikan anak-anak, dampaknya akan dirasakan sampai generasi-generasi berikutnya.” 
 
Ia menambahkan, “Pelajaran dari penutupan sekolah di masa penyebaran penyakit Ebola menunjukkan semakin lama masa pembelajaran jarak jauh terjadi pada anak-anak, maka kemungkinan mereka kembali ke sekolah juga akan semakin kecil. Metode-metode alternatif pembelajaran anak-anak, dan mekanisme kerja teratur dalam kerangka metode ini, merupakan bagian yang vital.” 
 
Para pakar pendidikan percaya dampak penutupan sekolah-sekolah jauh lebih besar dari ini. Diskriminasi dalam pendidikan, dan terputusnya akses banyak pelajar ke pendidikan, merupakan salah satu dampak penutupan sekolah. Laporan-laporan PBB dalam hal ini cukup mengejutkan, Amnesti Internasional pada tahun 2020 juga banyak melakukan penelitian dalam masalah ini.
 
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terutama di negara-negara Afrika, penutupan sekolah karena wabah virus Corona, telah meningkatkan ketidakadilan dalam bidang pendidikan, dan para pelajar yang sebelumnya terancam tidak bisa melanjutkan pendidikan, dengan adanya penutupan sekolah menjadi kelompok yang paling rentan.
 

 

Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sebagian besar pelajar di seluruh dunia, terutama di negara-negara miskin, sejak dimulainya penutupan sekolah sampai saat ini tidak menerima sedikit pun pembelajaran dalam bentuk apa pun.
 
Data UNESCO menyebutkan salah satu dampak wabah COVID-19 yang paling terasa adalah terganggunya sistem pendidikan di minimal 49 negara dunia. Sekolah dan universitas 29 negara dunia sampai sekarang masih ditutup, dan lebih dari 391 juta pelajar dan mahasiswa di negara-negara itu terpaksa harus diam di rumah. Akan tetapi di beberapa negara, pemerintahnya melanjutkan program-program pendidikan pengganti termasuk pendidikan jarak jauh melalui siaran radio, televisi dan pemanfaatan internet untuk proses pendidikan virtual.
 
Namun penerapan program-program pendidikan pengganti ini bukannya tanpa hambatan. Di antara hambatan terpenting adalah tidak memadainya infrastruktur, kurangnya fasilitas perangkat keras, dan perangkat lunak untuk pendidikan online, kurangnya kemampuan teknis banyak dari pengajar untuk menggunakan media pendidikan digital, dan tidak dimilikinya perangkat keras, dan lunak dasar di keluarga pelajar, serta ketidaksiapan orangtua untuk mendukung pembelajaran jarak jauh. Laporan-laporan PBB juga menunjukkan bahwa pelajar dalam proses pendidikan jarak jauh biasanya menerima materi yang lebih terbatas.
 
Republik Islam Iran merupakan salah satu negara yang menutup sekolah sejak awal penyebaran wabah COVID-19, disusul dengan penutupan pusat-pusat pendidikan lain. Sama halnya dengan negara lain, Iran juga menggunakan program pendidikan pengganti dalam mengatasi dampak penutupan sekolah yang dilakukan dalam dua bentuk.
 
Pertama, program pendidikan pengganti cepat dengan menggunakan infrastruktur jaringan pendidikan melalui televisi nasional, dan diupayakan untuk tayang setiap hari serta memberikan pengajaran untuk pelajar di berbagai jenjang pendidikan. Kedua, pendidikan virtual melalui internet.
 
Jelas bahwa langkah yang dilakukan saat ini bersifat sementara, dan dalam rangka merespon krisis serta kondisi darurat, akan tetapi pertanyaannya adalah apakah pengalaman ini dapat menjadikan program-program pendidikan alternatif sebagai pengganti program pendidikan utama atau tidak.
 
Sampai sekarang belum jelas seperti apakah dampak COVID-19 dalam jangka panjang terhadap literasi, akan tetapi apa yang sangat penting dalam peringatan Hari Literasi Internasional tahun 2021 ini adalah perhatian pada keterampilan literasi, dan upaya mendorong anak-anak serta orang dewasa untuk mengembangkan diri lebih dari masa-masa yang lain. (HS)

Tags