Strategi Media Barat di Gaza; Pendistorsian Fakta dan Penipuan Publik
Setelah operasi Badai al-Aqsa 7 Oktober 2023, dan berlanjutnya kejahatan brutal Israel membantai warga Palestina di Jalur Gaza, media-media utama barat menetapkan agenda untuk merusak dan mendistorsi fakta perang Zionis terhadap rakyat Gaza.
Media arus utama di Barat, yang sebagian besar berada di bawah pengaruh lobi Zionis, telah mengadopsi strategi yang ditargetkan seperti memutarbalikkan kenyataan, menerbitkan berita palsu, membalikkan keadaan, dan menjelek-jelekkan rakyat Palestina dalam tujuh dekade terakhir. Media-media tersebut telah bermaksud dan berusaha menanamkan narasi yang mereka inginkan mengenai isu Palestina ke dalam benak publik. Dalam strategi ini, masyarakat utama Palestina diperkenalkan sebagai masyarakat yang “tidak beradab” dan “tidak konsisten” yang mengancam kehidupan warga Zionis yang “beradab dan demokratis” dengan tindakan mereka yang melanggar norma. Strategi ini berada di sisi lain dari wacana “Kristen Barat yang baik” versus “Muslim teroris”.
Pasca dimulainya operasi penyerangan al-Aqsa pada 7 Oktober 2023, dan menyusul kejahatan brutal rezim Zionis dalam genosida rakyat Palestina di Gaza, terjadi pembalikan dan distorsi fakta perang rezim Zionis melawan kelompok tak berdaya dan rakyat Palestina yang tertindas telah menjadi agenda media arus utama Barat. Untuk melaksanakan agenda ini, sejak tanggal 7 Oktober, ketika perang Zionis melawan orang-orang tak berdosa di Gaza dimulai, dan Gaza terus menerus diserang oleh roket, sehingga hanya enam minggu setelah tanggal 7 Oktober, Israel menewaskan lebih dari 22.000 orang di Gaza, media Barat telah mengadopsi berbagai metode dan teknik untuk menceritakan kembali fakta perang ini secara terbalik. Media-media ini bermaksud menyesatkan opini publik dan audiensnya dengan memutarbalikkan berita perang Israel di Gaza dan pembunuhan tanpa ampun terhadap rakyat Palestina.
Menelaah berita dan laporan tekstual dan visual dari media Barat seperti Reuters, Fox News, CNN, NBC News, BBC News, dan New York Times tentang perang Gaza, menunjukkan taktik menyesatkan dari media-media tersebut untuk menyembunyikan kejahatan Israel.
Salah satu teknik yang paling banyak digunakan oleh media Barat dalam menangani isu perang Gaza adalah penggunaan teknik "targeted highlighting and downplaying". Dengan teknik ini, meskipun terjadi pemboman besar-besaran oleh rezim Zionis dan kematian ribuan anak di Gaza, media arus utama Barat berusaha membuatnya terlihat pudar dan tidak besar. Pada saat berita tentang jumlah syuhada Palestina, penghancuran rumah dan rumah sakit di Gaza dipublikasikan, media Barat menyalahkan gerakan Hamas alih-alih mengidentifikasi pelaku kejahatan ini adalah rezim Zionis. Pendekatan memudarkan kejahatan Israel ini sangat kentara di laporan New York Times.
Media barat dengan menuding Hamas sebagai pihak yang bersalah, berusaha memberi legitimasi serangan Israel dan menyesatkan opini publik dari kejahatan harian Zionis di Gaza, dan televisi CNN termasuk dalam kelompok ini. sebagian media Barat seperti NBC News juga selalu membesar-besarkan isu penculikan dan menyatakan bahwa tujuan utama serangan Hamas ke wilayah pendudukan adalah mengumpulkan sandera.
Dalam metode membesar-besarkan isu, pembahasan sandera untuk menggerakan emosi, senantiasa diulang di media-media Barat. Misalnya dalam laporan Reuters disebutkan tentangan hadiah rezim Zionis kepada mereka yang memberi informasi kondisi sandera.
Metode lain yang digunakan media barat untuk mendistorsi apa yang tengah terjadi di Gaza adalah memanfaatkan metode korelasi. Dalam metode korelasi, media-media Barat membandingkan dua kejadian yang tidak serup, dan sekedar ada kesamaan dalam bentuknya saja.
Dalam teknik ini, suatu peristiwa yang sudah pasti terjadi dibandingkan dengan peristiwa lain yang seharusnya didiktekan kepada penonton. Media Barat telah menggunakan teknik ini untuk membandingkan Hamas dan Daesh (ISIS). Berdasarkan strategi ini, media arus utama di Barat, dengan menggunakan semua alat propaganda yang tersedia, mulai dari jejaring sosial hingga jaringan televisi dan kampanye internasional, telah mencoba membuat "Badai Al-Aqsa" menjadi operasi teroris dan mencitrakan kinerja front perlawanan Palestina seperti aktivitas Desh dan dengan cara inilah mereka menciptakan semacam kesamaan antara "Hamas" dan "ISIS" dalam opini publik dunia. Padahal tidak hanya tidak ada kesamaan di antara keduanya; Sebaliknya, ISIS adalah kelompok teroris yang membunuh orang di berbagai wilayah di dunia. Sedangkan Hamas melawan Israel hanya untuk merebut kembali tanah Palestina yang diduduki.
Dehumanisasi dan demonisasi telah menjadi teknik menonjol lainnya yang dilakukan sebagian besar media Barat dalam menghadapi kejadian baru-baru ini di Gaza. Dalam teknik demonisasi, media barat dan pakar perang psikologis mencoba mendiskreditkan target secara umum di benak audiens dan memberinya wajah setan. Dalam teknik demonisasi, dengan memberi label pada lawan dengan atribut negatif seperti pencuri, pembunuh, pembohong, dll., dicoba untuk menyiapkan panggung untuk menggunakan tindakan anti-manusia dan jahat terhadap negara target. Mencoba menampilkan gambaran yang kasar, kejam, dan tidak pengertian terhadap kebutuhan dan perasaan orang lain juga termasuk dalam kategori ini. Akibat dehumanisasi target tersebut, pembantaian lebih dari 27.000 orang, di antaranya terdapat lebih dari 11.000 anak-anak, menjadi tidak relevan. Karena mereka memilih Hamas, mereka adalah teroris seperti Hamas, dan pembunuhan mereka tidaklah penting.
Dengan menelaah dimensi teknik dehumanisasi dan demonisasi, menjadi jelas mengapa, bersamaan dengan penggunaan nama Hamas, kata kunci terorisme juga digunakan oleh media barat. Dengan metode media ini dan dengan menyebut Hamas sebagai kelompok teroris, “Fox News” menjadikan tindakan Israel seperti pengepungan, perang, genosida, dan kejahatan perang terhadap Gaza tampak normal dan sah.
Memberi label pada Hamas dan rakyat Palestina juga sangat populer akhir-akhir ini di media arus utama Barat. Dalam teknik ini, media barat berusaha mengaitkan atribut-atribut positif atau negatif pada suatu orang, kelompok atau negara tanpa memberikan argumen dan alasan tertentu dan mencatatnya dalam pikiran masyarakat melalui pengulangan. Penggunaan beberapa judul positif seperti demokrat, libertarian, penyelamat, moderat, atau beberapa judul negatif seperti teroris, stoner, radikal, fasis, dll merupakan simbol yang dapat mengkondisikan audiens terhadap orang-orang yang berulang diberi label kata-kata tersebut dan menciptakan interpretasi khusus dari mereka di benak audiens.
Media Barat selain menggunakan label terorisme, bahkan juga menggunakan istilah penculik, tapi mereka tidak pernah menyinggung beberapa ribu warga Palestina yang mendekam di penjara-penjara rezim Zionis. Dalam laporan Fox News selalu menyebutkan Hamas sebagai penyandera dan penculik, tanpa merujuk pada genosida yang tengah terjadi di Gaza oleh rezim Israel.
Teknik lain yang digunakan media Barat untuk memberikan informasi yang salah tentang perkembangan di Gaza adalah dengan menggunakan teknik memutarbalikkan kebenaran dan menyimpang dari kenyataan. Meskipun mencerminkan kebenaran dan realitas harus menjadi prioritas media, sejak perang Israel melawan rakyat Gaza yang tidak bersalah, media Barat telah berusaha mengubah peran kaum tertindas dan penindas. Dalam pemberitaan BBC, teror Hamas dan terulangnya bencana 11 September berulang kali dibicarakan.
Selain itu, salah satu isu terpenting seputar perang Gaza adalah isu hak asasi manusia dan kejahatan yang dilakukan rezim Zionis terhadap rakyat Palestina yang tidak bersalah dan tidak bersenjata. Padahal lembaga hak asasi manusia internasional seperti Amnesty International, Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia, Human Rights Watch, dan lain-lain, dalam beberapa dekade terakhir, mencatat banyak laporan mengenai tindakan Israel yang melanggar hak-hak rakyat Palestina, seperti tindakan brutal dan tidak manusiawi, merendahkan martabat, penyiksaan, pengungsian, tuna wisma, pembunuhan bayi, eksekusi tanpa pengadilan terhadap warga sipil, namun salah satu penyebab kurangnya perhatian terhadap hak-hak dasar dan mendasar masyarakat Palestina dan Gaza adalah kurangnya representasi media barat. Masalah ini semakin nyata dalam beberapa minggu terakhir meskipun pemboman sekolah, rumah sakit, dan masjid di Gaza semakin intensif oleh rezim Zionis.
Sejak pembentukannya, strategi Israel adalah mempersempit ruang hidup masyarakat, memberikan tekanan untuk mengevakuasi tanah Palestina dari penduduk aslinya dan menyerahkannya kepada orang-orang Yahudi dan pemukim; Mirip dengan kebijakan yang terjadi di Gaza sejak 7 Oktober. Pembersihan etnis di Gaza dengan mengebom rumah sakit, rumah, sekolah, pusat perbelanjaan, universitas, masjid dan gereja, yang merupakan tempat berlindung dan dibutuhkan oleh masyarakat biasa, dengan tujuan menciptakan kondisi yang tidak tertahankan bagi masyarakat untuk memaksa mereka meninggalkan tanah air dan melakukan migrasi massal, serupa dengan tindakan yang terjadi pada tahun 1948 dan 1967 yang dilakukan dengan menggusur ratusan ribu warga Palestina dan menduduki Palestina selangkah demi selangkah.
Tujuan lain dari pembantaian di Gaza adalah mencoba menghasut masyarakat untuk memberontak. Israel, yang tidak memiliki kekuatan untuk menang melawan rakyat biasa dalam kondisi alamiah, seperti organisasi teroris lainnya, telah melakukan pembunuhan untuk memaksa mereka berkonfrontasi dan menentang pemerintah terpilih dan dengan demikian membuka front baru bagi kemajuannya. Sementara itu, media Barat untuk mengalihkan opini publik dari fakta-fakta terkini dan sejarah, menekankan isu-isu sampingan dan marginal.