Imigran dan Komitmen HAM Eropa (2)
(last modified Thu, 16 Feb 2017 11:27:51 GMT )
Feb 16, 2017 18:27 Asia/Jakarta

Uni Eropa menghadapi tantangan politik, keamanan, dan sosial yang besar setelah munculnya gelombang pengungsi ke Eropa pada tahun 2015. Krisis ini bukan karena bahaya yang akan diciptakan oleh jutaan manusia yang berstatus pengungsi dan pencari suaka. Namun lebih karena pandangan tidak manusiawi dan tidak adanya koordinasi di antara pemerintah negara-negara anggota Uni Eropa.

Pemerintah Eropa selalu menganggap dirinya sebagai pembela nilai-nilai kemanusiaan. Salah satu parameter pembangunan bagi negara-negara maju dan Eropa adalah parameter kemanusiaan dan penghormatan terhadap hak-hak dasar manusia dari segala jenis ras, gender, kebangsaan, dan agama. Namun, negara-negara Eropa tidak menunjukkan komitmen serius terhadap parameter kemanusiaan di luar perbatasan mereka. Eropa memanfaatkan isu hak asasi manusia sebagai instrumen dan menerapkan standar ganda.

Eropa menerapkan standar tertentu di dalam wilayah perbatasan mereka dan berdasarkan standar itu, mereka memperkenalkan dirinya sebagai kiblat untuk negara-negara berkembang. Akan tetapi, Eropa akan mengadopsi tindakan yang berbeda di luar perbatasan mereka. Dalam menyikapi kasus-kasus di tempat lain, pemerintah Barat hanya mengejar kepentingan mereka dan bersuara sesuai dengan kepentingannya; tidak ada bedanya apakah itu kepentingan legal atau ilegal.

Karena Barat bertindak atas dasar standar ganda, jadi bagi mereka tidak ada perbedaan antara kepentingan legal dan ilegal. Standar ganda tersebut akhirnya diterapkan juga di dalam wilayah perbatasan mereka dalam merespon gelombang imigran ke Eropa. Sikap ini telah menciptakan sebuah tantangan yang besar bagi pemerintah-pemerintah Eropa sendiri. Ujian besar ini telah mempermalukan negara-negara yang mengaku membela HAM. Dunia termasuk opini publik Barat sekarang menyaksikan kontradiksi antara ucapan dan tindakan pemerintah Barat dalam membela nilai-nilai kemanusiaan.

Sejumlah pengungsi berhasil menyelesaikan perjalanan terjal melalui Laut Mediterania dan tiba di daratan Eropa. Namun, mereka ternyata masih harus menghadapi bahaya baru berupa tindakan represif polisi, kelaparan, kedinginan, kawat berduri, dan tembok pembatas. Sejumlah laporan menyebutkan bahwa pengungsi di negara-negara Eropa sekarang menghadapi masalah kesehatan dan kekurangan makanan. Kelaparan dan penyebaran penyakit menular adalah dua persoalan yang mendera pengungsi akibat dari kurangnya perhatian negara-negara tuan rumah.

Kondisi pengungsi di Yunani benar-benar memprihatinkan dan negara ini tidak mampu memenuhi standar-standar dasar kehidupan untuk pengungsi, meskipun mereka dibantu oleh PBB untuk menangani krisis tersebut. Kebanyakan pengungsi di Yunani tinggal di taman-taman kota, di pinggir jalan, dan daerah pinggiran. Mereka tidak memiliki tempat untuk berlindung dari cuaca dingin dan terik matahari.

Pemerintah tidak memberi bantuan kepada pengungsi tersebut dan kebanyakan dari mereka menderita kelaparan dan kedinginan. Mereka terpaksa harus mengumpulkan sisa makanan dari tempat-tempat sampah di sekitar restoran dan depot makan. Kondisi pengungsi di Yunani sangat buruk sehingga sebagian pejabat Eropa menyuarakan protesnya.

Wakil Ketua Parlemen Jerman, Claudia Roth mengkritik kondisi miris yang dihadapi pengungsi di pulau-pulau Yunani, dan menyampaikan keprihatinan yang mendalam karena tidak adanya bantuan-bantuan dasar, makanan, tenda, dan obat-obatan. Ia juga mengkritik pemerintah Yunani karena tidak mengambil langkah-langkah untuk menjamin keamanan pengungsi, yang tersebar di pulau-pulau terluar di negara itu.

PBB mendesak Yunani untuk mengakhiri 'kekacauan total' di pulau-pulau di mana pengungsi mendarat. Badan Pengungsi PBB (UNHCR) menyerukan Yunani untuk mengambil kendali dari 'kekacauan total' di pulau-pulau Mediterania di mana ribuan pengungsi telah tiba. "Negara anggota Uni Eropa juga harus berbuat lebih banyak untuk berbagi beban dengan Yunani, di mana 50.000 orang tiba pada bulan Juli saja," kata Vincent Cochetel, Direktur UNHCR untuk Eropa, setelah mengunjungi pulau-pulau Yunani, Lesbos, Kos dan Chios.

Cochetel menegaskan, "Dalam hal air, dalam hal sanitasi, dalam hal bantuan pangan, itu sama sekali tidak memadai. Pada sebagian besar pulau-pulau, tidak ada kapasitas penerimaan, orang-orang bahkan tidak punya tempat untuk tidur." Ia menambahkan, "Kekacauan total terjadi di pulau-pulau itu. Setelah beberapa hari mereka dipindahkan ke Athena, tapi tidak ada yang menunggu mereka di Athena."

Dalam kasus ini, tidak ada perbedaan besar antara perilaku kekuatan-kekuatan Eropa dengan negara-negara Eropa yang sedang didera krisis ekonomi, seperti Yunani. Di negara-negara seperti Jerman, Perancis, Belanda, dan Austria, fenomena xenophobia (anti-asing) lebih umum ditemukan.

Di Belanda, pemerintah memutuskan akan memberikan surat peringatan bagi para pengungsi yang akan tiba di Belanda. Meski menyatakan siap menerima, mereka mengingatkan pengungsi bahwa mereka akan ditempatkan dalam sebuah tenda darurat bersama ratusan pengungsi lain. Badan Penasihat Pemerintah Belanda menyatakan bahwa Belanda tidak punya kewajiban menyediakan makanan dan penampungan bagi pengungsi, yang menolak pulang setelah permintaan suaka mereka ditolak.

Buruknya kondisi dan pengawasan di tempat penampungan memaksa para imigran perempuan di kamp penampungan di Jerman menjual tubuh mereka dengan tarif murah dan menjadi sasaran pemerkosaan. Para pengungsi di Jerman ditempatkan di sejumlah penampungan dan dalam beberapa bulan belakangan terjadi banyak kasus kekerasan seksual. Di negara bagian Baden-Wuerttemberg, ada laporan menyebutkan sudah terjadi enam kali pemerkosaan di penampungan pengungsi. Organisasi pembela hak perempuan bahkan mengatakan para perempuan pengungsi dipaksa menjual diri seharga 10 euro sekali melayani.

Data mengejutkan dirilis tentang bisnis prostitusi di Eropa menyusul kedatangan para pengungsi ke benua itu. Sebelum krisis pengungsi, kegiatan prostitusi dan perdagangan perempuan sebagai budak seks telah menjadi sebuah bisnis yang menggiurkan bagi mafia penyelundup manusia di Eropa. Mereka membujuk wanita dari negara-negara bekas Uni Soviet, negara-negara miskin di Balkan, Asia dan Afrika untuk datang ke Eropa dengan berbagai alasan. Para wanita tersebut kemudian dipekerjakan di tempat-tempat prostitusi dan klub-klub malam. Para korban tidak bisa melarikan diri atau mengadu ke polisi karena mereka datang ke Eropa secara ilegal.

Pihak keamanan dan lembaga peradilan Eropa juga tidak mengambil tindakan terhadap mafia penyelundup manusia. Gelombang pengungsi telah memberi 'angin segar' kepada mereka untuk merekrut para wanita sebagai budak seks untuk dipasok ke tempat-tempat prostitusi Eropa.