Imigran dan Komitmen HAM Eropa (3)
(last modified Sat, 18 Feb 2017 04:24:59 GMT )
Feb 18, 2017 11:24 Asia/Jakarta

Standar ganda Barat dalam berurusan dengan isu hak asasi manusia sekarang diterapkan di wilayah Eropa sendiri setelah mereka kedatangan para pengungsi dari Timur Tengah dan Afrika. Masalah ini telah menciptakan sebuah tantangan besar bagi pemerintah-pemerintah Eropa. Korban utama gelombang pengungsi ke Eropa adalah anak-anak. Anak-anak dan remaja sangat menderita ketika harus menempuh jalan terjal dan berliku untuk mencapai daratan Eropa.

Europol meyakini bahwa 27 persen dari jutaan pendatang di Eropa pada tahun 2015 adalah anak-anak dan remaja. Lembaga internasional non-pemerintah untuk anak-anak, Save The Children melaporkan sekitar 26 ribu anak-anak tanpa pendamping telah masuk ke Eropa tahun lalu. Banyak dari mereka tidak terdata di negara manapun di Eropa dan tercatat sebagai orang-orang yang hilang. Europol menyatakan bahwa 5.000 anak pengungsi tanpa pendamping hilang di Italia dan 1.000 anak pengungsi tanpa pendamping hilang di Swedia.

Pada akhir Agustus 2015, sebuah foto bayi tiga tahun bernama Aylan Kurdi yang tertelungkup di pantai Turki telah membuat dunia tercengang dan murka serta menimbulkan simpati. Dunia terkejut dengan tragedi kemanusiaan yang terjadi di rute yang digunakan oleh pengungsi Suriah untuk menuju Benua Biru. Foto Aylan Kurdi dengan cepat menyebar luas melalui media-media dunia dan jejaring sosial.

Surat kabar The Independent menulis, "Jika foto bayi itu tidak mampu mengubah sikap negara-negara Eropa terhadap pengungsi, lalu hal apa lagi yang bisa membuat mereka berubah?" Koran Le Monde menilai foto Aylan Kurdi membuat syok dan akan membangunkan nurani Eropa. Menurut laporan harian Le Point, foto tersebut dengan cepat menyebar di semua surat kabar Eropa dan mereka menyebutnya sebagai simbol tragedi kemanusiaan pengungsi di Eropa.

Perdana Menteri Quebec, Kanada, Philippe Couillard mengatakan, "Sangat disayangkan jika nurani kita baru bisa terbangun dengan foto bayi pengungsi Suriah yang tenggelam." Kanada telah menolak permohonan suaka oleh ayah Aylan Kurdi dan ia bersama empat orang anggota keluarganya terpaksa menempuh jalur laut untuk mencapai Eropa, sehingga mereka bisa terbebas dari penderitaan hidup di Turki. Peristiwa pahit itu terjadi ketika perahu yang membawa mereka bergerak dari kota pantai Bodrum di Turki ke arah pulau Kos di Yunani. Perahu mereka terbalik setelah dihempas ombak di Laut Aegea.

 

Para pemimpin Eropa kemudian memanfaatkan peristiwa tragis itu untuk kepentingan politik dan pencitraan. Perdana Menteri Inggris ketika itu, David Cameron mengatakan, "Siapapun yang menyaksikan foto itu pasti akan terenyuh dan saya sebagai seorang ayah, saya benar-benar terenyuh setelah melihat foto jasad bocah itu di pantai Turki. Kami akan memenuhi tanggung jawab moral kami."

Perdana Menteri Perancis Manuel Valls dalam sebuah tweet menyampaikan kesedihannya atas peristiwa tersebut dan menulis, "Nama dia adalah Aylan Kurdi. Kita harus segera berbuat sesuatu dan Eropa harus bergerak." Reaksi langsung muncul dari opini publik dunia dan pemerintah negara-negara Eropa setelah foto Aylan Kurdi tersebar luas.

Setelah foto Aylan, foto jasad bocah-bocah lain juga tersiar luas setelah perahu mereka tenggelam di Laut Mediterania. Namun tidak banyak mengundang simpati Eropa. Para pemimpin Eropa bahkan tidak menunjukkan reaksi terhadap laporan sejumlah LSM dan data dari beberapa lembaga resmi Uni Eropa tentang kondisi kehidupan dan kesulitan yang dihadapi pengungsi di kamp penampungan dan di perbatasan Eropa.

Para pemimpin Eropa justru mengadopsi tindakan keras untuk mencegah para pengungsi masuk ke wilayah mereka. Mereka tidak peduli dengan kondisi tidak manusiawi dan penderitaan yang dirasakan oleh pengungsi asal Suriah. Para pemimpin Eropa sedang fokus untuk menghalangi kedatangan pengungsi ke Eropa. Pengungsi khususnya anak-anak yang sudah tiba di Eropa berada dalam kondisi sulit dan menderita.

Pemerintah negara-negara Eropa tidak bersedia menerima tanggung jawab terhadap orang-orang, yang sudah berada di wilayah mereka. Dalam situasi seperti ini, anak-anak pengungsi terutama mereka yang tanpa pendamping, sangat rentan terhadap berbagai aksi kejahatan khususnya prostitusi anak. Laporan Badan Intelijen Kriminal Uni Eropa tentang situasi anak-anak pengungsi di Eropa menyebutkan bahwa sedikitnya 10 ribu anak-anak yang berstatus pengungsi tanpa pendamping telah hilang setelah mereka tiba di Eropa.

Salah satu negara tujuan pengungsi adalah Swedia. Negara ini menjalankan kebijakan yang ramah terhadap pengungsi dibanding dengan negara-negara lain Eropa. Namun, anak-anak pengungsi di Swedia telah menjadi korban perdagangan seks. Menurut laporan media-media Swedia, anak-anak pengungsi yang tanpa pendamping menjadi korban eksploitasi seksual.

Media-media Swedia melaporkan bahwa anak-anak pengungsi di kota Malmo, selatan Swedia menjadi incaran kelompok mafia penyelundup manusia dan mereka dipaksa untuk melacur. Surat kabar Aftonbladet mengutip keterangan seorang kepala sekolah di kota Malmo menulis, "Para bocah pengungsi pria dan wanita menerima pendidikan di sekolah-sekolah di Malmo. Mereka diculik di halaman sekolah untuk dijadikan budak seks."

Kepala sekolah yang berbicara dengan syarat anonim itu menuturkan, "Meskipun telah menerima banyak pengaduan tentang penculikan anak-anak pengungsi dari sekolah-sekolah di kota itu, tapi kepolisian Malmo tidak menindaklanjuti laporan itu."

Koordinator satgas anti-perdagangan manusia di selatan Swedia, Lisa Green dalam sebuah wawancara, mengkonfirmasikan laporan tentang eksploitasi seksual terhadap anak-anak pengungsi. Lisa Green mengatakan, "Kami telah melaporkan sekitar 40 kasus penculikan anak kepada polisi pada tahun 2014, tapi jumlah anak-anak pengungsi yang menjadi korban eksploitasi seksual lebih besar dari angka tersebut."

Pada Oktober 2016, pemerintah Perancis menerjunkan lebih dari 1.200 polisi ke kota Calais untuk membongkar paksa kamp-kamp pengungsi. Dalam aksi pembongkaran itu, anak-anak menjadi komunitas yang sangat rentan terhadap berbagai aksi kriminal. Para aktivis yang membantu pengungsi di kota Calais, mengatakan bahwa anak laki-laki pengungsi yang tinggal di kamp itu menjadi korban serangan seksual dan anak-anak perempuan juga berada dalam bahaya eksploitasi seksual di benua Eropa.

Majalah Observer dalam sebuah laporan menulis, "Perempuan dan anak-anak bahkan anak-anak umur tujuh tahun menerima serangan seksual dan pemerkosaan di kamp-kamp, yang disebut aman untuk pengungsi di Yunani. Mereka bahkan tidak berani keluar dari tendanya dan pergi ke kamar mandi karena adanya serangan tersebut." Salah seorang anggota parlemen Yunani kepada Observer mengatakan bahwa semua pihak harus merasa malu dengan laporan itu dan mengambil tindakan darurat untuk melindungi anak-anak tanpa pendamping.

Europol sebelumnya memperingatkan tentang potensi eksploitasi seksual terhadap anak-anak pengungsi di Eropa. Pemerintah negara-negara Eropa – yang mengaku membela HAM berdasarkan perjanjian internasional perlindungan hak-hak anak – berkewajiban mengambil langkah-langkah untuk melindungi anak-anak. Namun, mereka tidak peduli dengan kondisi anak-anak pengungsi dan laporan tentang serangan seksual terhadap anak-anak. Pemerintah negara-negara Eropa sama sekali tidak memikul tanggung jawab dalam masalah tersebut. Mereka bahkan menilai tindakan itu sebagai cara untuk menakut-nakuti pengungsi agar meninggalkan Eropa.