Deklarasi Perang Trump dengan Media
Presiden Donald Trump baru memimpin Amerika Serikat selama tiga pekan lebih, tapi publik dunia mengetahui bahwa ia adalah sosok yang menggambarkan media sebagai pembohong dan wartawan sebagai manusia yang paling banyak berbohong di muka bumi. Trump selalu menggunakan setiap kesempatan untuk menyerang media. Ia juga dikenal sangat aktif menggunakan Twitter untuk menyuarakan opininya.
Setiap hari, Trump memposting beberapa cuitan kontroversial dan kadang bisa mencapai 10 pesan. Akun Twitter Trump memiliki lebih dari 20 juta followers. Cuitan-cuitannya memuat beragam pesan mulai dari sindiran dan bahkan sampai ancaman terhadap perusahaan otomotif Ford, negara-negara lain dan perjanjian internasional.
Dalam mengomentari kritikan yang menyebutnya terlalu aktif di lini masa, Trump selama wawancara dengan Fox News mengatakan, "Saya tidak suka menggunakan twitter, saya punya hal-hal lain yang bisa saya lakukan. Tapi, saya mendapatkan media sangat tidak jujur, pers yang sangat tidak jujur. Dan ini adalah satu-satunya cara di mana saya bisa melawannya. Sekarang jika pers jujur – nyatanya tidak jujur – saya tidak akan menggunakan Twitter. Dan saya tidak akan memilikinya juga."
Serangan Trump terhadap media dimulai sejak pertarungan pemilu Presiden AS. Ia menyebut dirinya tidak bertarung dengan Hillary Clinton, tapi sedang berperang dengan media. Taipan properti ini berkali-kali menyerang media-media ternama Amerika termasuk surat kabar The New York Times. Pada satu kesempatan, Trump menuturkan ia ingin berbicara tentang sebuah koran yang gagal dan akan segera bangkrut. Selama masa pemilu, ia berkali-kali mempertanyakan hasil polling surat kabar tersebut. Dia bahkan mempertanyakan sumber berita di surat kabar itu dan menuding mereka tidak punya sumber akurat.
Trump baru-baru ini berkata bahwa ia berharap seseorang yang punya potensi dan ahli akan datang untuk membeli koran The New York Times yang suka berbohong atau merombak menajemennya atau menutupnya secara terhormat. Ia juga meragukan kredibilitas media-media lain yang populer di Amerika seperti, Politico, The Washington Post dan Huffington Post. Terkait televisi CNN, Presiden baru AS ini berujar, "CNN menjijikkan dan anda tahu bahwa rating media ini sedang turun drastis, karena saya menolak wawancara dengan mereka. CNN adalah media yang bias dan tidak netral."
Sangat jarang seorang politisi mengeluarkan komentar seperti itu di ruang publik, melontarkan kata-kata hinaan dan meluapkan kemarahannya terhadap media. Tapi, Trump – sebagai Presiden AS ke-45 – dalam satu pertemuan di Trump Tower mengatakan, "Kita sedang berada di ruangan yang penuh dengan pendusta." Ia menyebut media tidak jujur dan penipu. Sebuah sumber mengatakan, "Trump memulai dari [kepala CNN] Jeff Zucker dan berkata, 'Aku benci jaringan anda, semua orang di CNN adalah pembohong dan anda harus malu.'"
Dalam konferensi pers pertamanya setelah terpilih sebagai Presiden AS, Trump menolak menjawab pertanyaan seorang wartawan CNN. Ia mengatakan kepada wartawan senior CNN, Jim Acosta bahwa CNN adalah penyebar berita palsu. Setelah mengulang kalimat soal berita palsu dan tak berdasar, Trump lalu menolak niat Acosta, yang bertugas di Gedung Putih mengajukan pertanyaan.
Jurnalis tersebut berkata, "Bapak Presiden terpilih, sejak anda menyerang media kami, bisakah anda memberi kami kesempatan untuk mengajukan pertanyaan?" Tapi Trump malah meminta jurnalis tersebut agar bertindak sopan. "Media anda mengerikan,” ujar Trump pada Acosta. Namun Acosta tak menyerah, ia terus menekan balik Trump agar diijinkan mengajukan pertanyaan. Trump menegaskan, "Saya tak akan memberikan kesempatan bertanya untuk anda. Anda pembuat berita palsu." Ia kemudian meminta jurnalis dari media lain untuk bertanya.
Trump menuding media tidak memberikan perhatian yang cukup dan mengabaikan peristiwa-peristiwa yang diakibatkan serangan kelompok Islam radikal di Eropa. Ia berujar, "Anda melihat apa yang terjadi di Paris dan Nice. Di seluruh Eropa, banyak terjadi (serangan teror). Sampai pada titik tidak dilaporkan." Namun, Ketua Asosiasi Wartawan Jerman (DJV) Frank Uberall mengatakan, "Persoalannya di sini, ketika Trump membawa isu-isu yang bertentangan dengan fakta atau menyerupai fakta ke ruang publik, seolah-olah hal ini diterima oleh semua orang. Jika seseorang ingin melihat berita-berita yang beredar di Jerman, ia akan tahu bahwa apa yang dikatakan Trump benar-benar tidak berdasar."
Namun, pakar prediksi dan profesor dari American University, Profesor Allen J. Lichtman percaya bahwa popularitas Trump sebenarnya naik gara-gara media dan ia hanya berpura-pura mengkritik media. Dalam sebuah acara televisi, Profesor Lichtman menuturkan, "Berkat mereka Donald Trump telah menjadi produk media."
Kementar Profesor Lichtman hampir mendekati fakta. Trump terlihat aktif memuntahkan amunisi terhadap media, tapi televisi Fox News pada Mei 2016 – pada masa pertarungan pemilu – menyatakan bahwa file suara yang dikuasai oleh koran The Washington Post tentang trik-trik Trump di masa lalu, sebenarnya diperoleh dari Trump sendiri.
The Washington Post sebelum ini melaporkan bahwa pihaknya memiliki sebuah file suara, di mana Trump selama tahun 1970 – 1990 menyamar sebagai juru bicara untuk dirinya sendiri dan memperkenalkan dirinya sebagai John Miller. Ia 'menjual' kisah cinta dan kehidupan pribadinya kepada media. Wartawan majalah Vanity Fair dalam wawancara dengan Fox News mengatakan, Trump dengan nama samaran John Miller dan John Baron, rutin mengontak media untuk memberikan informasi terbaru tentang kehidupan pribadinya kepada media.
Banyak pengamat percaya bahwa perilaku Trump dalam berinteraksi dengan media adalah tidak wajar dan sangat jarang seorang politisi meluapkan kemarahannya di depan publik. Namun, Trump berkali-kali melakukan itu dan ia tampaknya tidak berniat mengubah gayanya. Ketika menyambangi kantor pusat CIA pada 21 Januari lalu, Trump kembali menyebut media tidak jujur dan tidak memberikan informasi akurat.
Trump berkata, "Seperti anda ketahui, saya sudah mulai berperang dengan media. Mereka salah satu yang paling banyak melakukan ketidakjujuran yang dilakukan manusia di muka bumi." Dengan sikap agresif ini, ia berusaha mengesankan media sebagai pendusta dan tidak dapat dipercaya serta menggiring publik Amerika untuk memusuhi media.
Serangan terhadap media tidak hanya dilakukan oleh Trump, tapi penasihat senior dan pakar strategi Presiden AS, Steve Bannon dalam wawancara dengan The New York Times mengatakan, media di Amerika masih tak dapat menerima hasil pemilu yang mengantarkan Trump ke Gedung Putih. Media pasti merasa malu dan hina dan (mereka) harus tutup mulut dan hanya menjadi pendengar untuk sementara waktu. Ia menegaskan, "Media adalah partai oposisi. Mereka tak paham negara ini. Mereka masih belum mengerti kenapa Trump dapat menjadi presiden AS."
Saat ini muncul pertanyaan di kalangan wartawan, pakar media dan perusahaan media, apakah Trump merupakan produk generasi baru dari jaringan sosial yang tak terduga dan tak terkendali? Apakah media-media tradisional telah mengucapkan perpisahan dan melimpahkan kekuasaan kepada media baru, setelah mereka gagal memprediksi hasil pilpres? Dan apakah Trump dengan menyadari tidak efektifnya media, akan semakin mendepak mereka untuk menjauh darinya?
Jeff Jarvis, seorang kritikus media, penulis dan blogger mengatakan, "Fakta bahwa Donald Trump telah menjadi seorang kandidat presiden, merupakan bukti dari kegagalan media-media mainstream." Menurutnya, kesuksesan Trump menunjukkan bahwa media telah gagal dalam membangun hubungan dengan kebenaran.
Selama masa kampanye, media-media Amerika telah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menyerang Trump, dan sekarang tampaknya giliran Trump untuk membalas semua serangan mereka.