Penyelundupan Manusia, Rapor Merah AS
(last modified Wed, 05 Jul 2017 02:47:10 GMT )
Jul 05, 2017 09:47 Asia/Jakarta

Kementerian luar negeri AS dalam laporan yang disampaikan pekan lalu menuding Republik Islam Iran tidak memperhatikan masalah standar yang diperlukan untuk memberantas perdagangan manusia.  Departemen luar negeri AS dalam laporan tahunannya membagi negara-negara dunia berdasarkan level kategori dalam penanganan masalah perdagangan manusia.

Level pertama, negara-negara yang dianggap oleh Washington berhasil mengatasi sebagian besar masalah penyelundupan manusia. Ironisnya, pemerintah AS dalam laporan tersebut mengklaim berada dalam jajaran negara di level ini.

Pada level kedua, negara-negara yang tidak memperhatikan standar minimal, tapi berupaya untuk memberantas penyelundupan manusia. Sedangkan di level ketiga, negara-negara yang menurut kriteria subyektif AS tidak memperhatikan standar yang disyaratkan, bahkan mereka tidak berusaha untuk mengatasi masalah penyelundupan manusia.

Tingkatan yang paling buruk dalam masalah penyelundupan manusia menurut AS dalam laporan tahunan kementerian luar negerinya adalah negara-negara yang menjadi sarana bagi penyelundupan manusia.

Kementerian luar negeri AS dalam laporan terbarunya  menuding Republik Islam Iran tidak memiliki upaya yang memadai untuk mencegah perdagangan manusia. Tidak hanya itu, laporan kemenlu AS juga mengklaim kebijakan Iran dalam masalah penyelundupan manusia tidak transparan, dan tidak ada upaya signifikan dari lembaga pemerintan maupun non-pemerintah untuk mengatasi masalah perdagangan manusia.

Penyelundupan manusia atau perdagangan manusia merupakan salah satu fenomena buruk dan mengkhawatirkan yang semakin meningkat jumlahnya. PBB mendefinisikan penyelundupan manusia sebagai gerakan ilegal dan sembunyi-sembunyi dari pemindahan orang di perbatasan sebuah negara ke negara lain.

Perpindahan ini biasanya terjadi dari negara berkembang dan terbelakang menuju negara maju secara ekonomi. Mafia perdagangan manusia memanfaatkan kemiskinan dan berbagai masalah lainnya untuk mengeruk keuntungan ekonomi dengan melakukan eksploitasi kepentingan ekonomi dan lainnya, termasuk tubuh para korban penyelundupan manusia.

Laporan kementerian luar negeri AS yang menuding Iran dengan klaim infaktual dalam masalah penyelundupan manusia mengemuka di saat berbagai riset organisasi resmi menunjukkan fakta getir tentang maraknya perdagangan manusia di AS.

Dilaporkan, setiap tahun lebih dari 100 ribu perempuan di bawah umur menjadi budak seksual di AS. Bahkan di Washington, ibu kota AS, remaja perempuan, yang sebagian masih berusia sekitar 13 tahunan menjadi korban perbudakan seksual yang diperjualbelikan seperti barang.

Setiap tahun hampir 2,5 juta orang diselundupkan dari negara-negara sedang berkembang  ke negara maju. Dari jumlah tersebut setengahnya adalah anak-anak. Lebih dari 100.000 orang dari El Savador, Meksiko, Cina dan Vietnam diselundupkan ke AS. Mereka bekerja tanpa upah layak, tanpa libur mingguan, dan jam kerja yang sangat tinggi.

Anna Cecilia Malmström, komisioner kebijakan luar negeri Uni Eropa dalam wawancara dengan koran Jerman Die Welt menyinggung fenomena suram tersebut yang marak di Eropa.

“….Sulit untuk bisa dipercaya, tapi faktanya di negara-negara Eropa ada sekitar 10.000 orang yang hidup sebagai barang dagangan yang diperjualbelikan. Inilah realitas getir mengenai perdagangan manusia yang berada di seluruh penjuru kawasan kita, dan lebih banyak dari apa yang terpikir selama ini,”.

Data statistik yang dikeluarkan PBB menunjukkan bahwa tujuan akhir dari  sekitar tiga juta orang yang diselundupkan setiap tahunnya di dunia adalah AS dan Eropa. Sekitar 50 persen dari pendapatan industri kotor ini berputar di amerika serikat.

Riset yang dilakukan National Human Trafficking Resource Center (NHTRC) menunjukkan posisi AS sangat vital, dan negara ini tidak bisa berlepas tangan dan melempar tudingan kepada negara lain seperti Iran dalam masalah penyelundupan manusia.

Juru bicara kementerian luar negeri Iran, Bahram Ghassemi mengatakan, “Publik dunia menanti penyelidikan serius mengenai pelaku dan faktor penyebab kebijakan dan aksi anti kemanusiaan yang menyulut eskalasi penyelundupan manusia di dunia, dan segera menindaknya secara keras. Dalam hal ini, tanggung jawab pemerintah AS sangat jelas, dan Washington tidak boleh berlepas tangan dalam masalah penting ini, apalagi menuding negara lain dengan klaim infaktual dan keliru. Ini sama saja dengan melepas tanggungjawabnya sendiri.”

Tidak diragukan lagi sumber masalah penyelundupan manusia harus dilacak dari kebijakan unilateral, intervensi dan agresi, perang yang berkepanjangan, genosida dan terorisme. AS dan sekutunya terlibat dalam sebagian besar rangkaian masalah tersebut.

Meskipun AS berulangkali menuding Iran tidak serius dalam menangani perdagangan manusia, tapi faktanya klaim Washington keliru besar. Sebab, berbagai aturan di Iran sudah mengatur dengan jelas masalah tersebut. Undang-undang dasar Republlik Islam Iran telah mengatur masalah ini secara jelas pada pasal 156, dan secara tidak langsung pada pasal 8.

Selain itu, secara lebih rinci, Republik Islam Iran memiliki undang-undang pemberantasan perdagangan manusia yang disahkan tahun 2004. Tidak hanya itu, Iran juga menjadi tuan rumah bagi jutaan imigran Afghanistan yang diperlakukan dengan baik di negara ini. Perlakuan baik pemerintah Iran terhadap imigran Afghanistan berulangkali mendapat apresiasi positif dari organisasi internasional, termasuk PBB.

Terkait hal ini, Komisaris tinggi PBB urusan pengungsi di Iran, Sivanka Dana Pala dalam seminar memperingati Hari Pengungsi Sedunia pada tanggal 20 Juni 2017, yang digelar di kamp pengungsi asing di Mashhad, mengatakan, “Republik Islam Iran dengan spirit perdamaian dan kemanusiaan yang berpijak dari ajaran agamanya, senantiasa melampaui komitmen internasional dalam masalah pengungsi,”.

Sementara itu, AS sendiri yang acapkali menuding negara lain tidak serius mengatasi penyelundupan manusia, justru memiliki banyak masalah besar. Salah seorang korban perdagangan manusia di AS, Tina F. menjelaskan masalah kelemahan hukum di negeri paman Sam itu.

Tina, yang mendirikan sebuah yayasan penanggulangan perdagangan manusia di AS mengatakan, “Banyak orang di AS berkeyakinan bahwa di negara ini memiliki banyak aturan tentang masalah penyelundupan manusia, padahal kenyataannya tidak demikian,”. Menurutnya, Masalah perdagangan manusia di AS bukan isu baru, tapi memiliki sejarah panjang setidaknya 50 tahunan silam.

Statemen Tina hanya satu titik dari gambar sketsa besar kompleksitas penyelundupan manusia di Amerika Serikat yang tidak bisa dipungkiri kebenarannya. Para pengungsi ilegal yang diselundupkan memasuki AS, jika mereka selamat dari terjangan gelombang laut, atau kedinginan dan kepanasan di jalan, mereka menjadi korban perdagangan manusia dan usianya habis untuk meraih mimpi yang tidak pernah terwujud.

Dengan rapor merah AS dalam penanganan masalah penyelundupan manusia di negaranya sendiri, sangat ironis ketika menteri luar negeri AS, Rex Tillerson justru menuding Iran tidak serius dalam penanganan masalah tersebut. Sepak terjang AS seperti kata pepatah, “Kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tidak tampak,”.