AS dan Penyelundupan Manusia (2)
(last modified Thu, 12 Oct 2017 03:58:37 GMT )
Okt 12, 2017 10:58 Asia/Jakarta

Departemen Luar Negeri Amerika Serikat di laporan tahunannya menuding Republik Islam Iran lalai dalam memerangi praktek penyelundupan manusia dan menuding Tehran terlibat di pekerjaan kotor perdagangan manusia serta melanggar hak asasi manusia (HAM). Padahal sumber fenomena ini adalah Amerika dan Eropa yang mengklaim sebagai pembela HAM.

Penyelundupan manusia dan juga perdagangan manusia merupakan salah satu fenomena menyedihkan dan mulai marak di tingkat internasional. Deplu AS ketika merilis laporan yang mengklaim negara lain, justru di Washington aksi kekerasan, rasisme dan kecenderungan ke arah perbudakan dari dulu sampai sekarang terlihat jelas.

Sementara itu, perwakilan negara-negara di Perserikatan Bangsa Bangsa dilaporkan menyepakati rencana aksi global untuk memerangi tindak kejahatan perdagangan orang yang diistilahkan sebagai perbudakan di zaman modern.  “Ini mesti menjadi prioritas nyata dalam kerjasama international,” kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Gutteres, membuka sidang tingkat tinggi untuk aksi global tersebut di Markas Besar PBB, New York, Rabu 27 September 2017.

Kejahatan perdagangan orang kata Gutteres, terkait erat dengan kemiskinan, pengangguran, ketidakmerataan, konflik senjata, bencana alam, diskriminasi dan kejahatan seksual.  Jika sebelumnya orang khawatir anak-anak mereka menjadi korban obat bius, sekarang mereka bisa menjadi korban perdagangan orang. “Kejahatan ini sekarang mengancam kita, di seluruh wilayah dunia,” ujarnya.

Bicara setelah Gutteres, Direktur Eksekutif  Kantor PBB bidang obat obatan terlarang dan kejahatan (UNODC) Yury Fedotov meminta pemerintah dunia memberikan dukungan sumber daya. “Kita membutuhkan banyak sumber daya untuk penegakan hukum, mendukung korban, melatih para petugas dan menyelenggarakan kerjasama antar lembaga dan antar negara,” katanya.

Fedotov menjelaskan, para pedagang manusia kini menggunakan teknologi baru dalam aksinya sehingga makin sulit dideteksi. Menurut dia, Dewan Keamanan PBB menengarai ada kaitan erat antara perdagangan orang dengan kelompok bersenjata dan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan.

Selama ini, penggalangan dana oleh PBB baru mampu membantu 2.500 korban per tahun, terutama perempuan dan anak-anak, dan mendanai 34 proyek anti perdagangan orang di 30 negara.

Adapun diskriminasi yang saat ini marak di masyarakat Amerika terhadap warga pribumi (Indian), warga kulit hitam dan imigran merupakan refleksi dari kecenderungan anti kemanusiaan. Berlanjutnya proses ini membuat benih rasisme dan diskriminasi bahkan dalam bentuk beragam pembunuhan dan kekerasan rasis di Amerika masih terus berlanjut, padahal era perang rasis di negara ini telah lama berakhir.

Di Amerika Serikat, tolok ukur nilai kemanusiaan didasarkan pada ideologi rasis. Oleh karena itu, meski perbudakan di AS telah dihapus, arus rasis dan peristiwa yang menunjukkan perilaku rasis di masa lalu masih terus berulang di negara ini. Di era kolonialisme lalu, fenomena pembasmian warga pribumi atau pembagian strata sosial berdasarkan etnis dan warna kulit adalah sebuah keputusan yang ditentukan oleh pemerintah imperialis. Namun dewasa ini di dunia kontemporer, dunia peradaban dan kemajuan, warisan era imperalis masih kita saksikan.

Mantan presiden AS, Barack Obama dalam pidatonya pada acara wisuda mahasiswa Universitas Howard, mengakui masih adanya rasisme dan ketidaksetaraan di Amerika Serikat, dan mengatakan banyak langkah perlu diambil dalam hal ini.

Obama dalam pidatonya di Washington, Sabtu (7/5/2016) menuturkan bahwa hubungan antar-ras telah mencapai kemajuan dalam tiga dekade terakhir, tapi masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan. "AS mencatat ketimpangan rasial dalam peluang ekonomi dan tingkat pengangguran secara keseluruhan sekitar lima persen, tetapi angka itu mencapai hampir sembilan persen untuk warga kulit hitam," ujarnya.

AS menghadapi sejumlah kontroversi rasial dalam beberapa tahun terakhir, termasuk penembakan seorang remaja kulit hitam tak bersenjata oleh polisi di Ferguson pada tahun 2014, yang memicu protes besar-besaran.

Ini untuk kesekian kalinya Obama sebagai satu-satunya presiden kulit hitam Amerika membenarkan adanya rasisme negara ini dan menekankan pemberantasannya. Obama pada Juni 2015 seraya mengisyaratkan beragam diskriminasi dan kekerasan terhadap warga kulit hitam menjelaskan bahwa meski pandangan terhadap etnis di Amerika mengalami kemajuan, namun warisan perbudakan masih terus membayangi masyarakat Amerika untuk waktu yang panjang dan kini warisan tersebut kini menjadi bagian dari DNA warga AS.

Meski adanya klaim muluk-muluk terkait kebebasan dan HAM di Amerika Serikat, warga kulit hitam negara ini dengan populasi jutaan jiwa, masih belum memiliki posisi yang layak. Mereka baik secara transparan atau tersembunyi terus mendapat beragam diskriminasi. Etnis di Amerika memainkan peran signifikan dalam menentukan siapa yang bakal maju dan siapa yang terbelakang.

Banyak orang Amerika mengira perdagangan manusia sebagai masalah yang berada jauh di luar negeri, seperti kasus hampir 300 remaja putri Nigeria yang diculik oleh Boko Haram. Tetapi pemerintah Amerika mengatakan sekitar 17.500 orang, sebagian besar perempuan, diperdagangkan ke Amerika setiap tahunnya, dan angka itu tidak termasuk mereka yang diculik dan dipaksa menjadi budak seks di Amerika.

Dilaporkan, setiap tahun lebih dari 100 ribu perempuan di bawah umur menjadi budak seks di AS. Bahkan di Washington, ibu kota AS, remaja perempuan, yang sebagian masih berusia sekitar 13 tahunan menjadi korban perbudakan seks yang diperjualbelikan seperti barang.

Setiap tahun hampir 2,5 juta orang diselundupkan dari negara-negara sedang berkembang  ke negara maju. Dari jumlah tersebut setengahnya adalah anak-anak. Lebih dari 100.000 orang dari El Savador, Meksiko, Cina dan Vietnam diselundupkan ke AS. Mereka bekerja tanpa upah layak, tanpa libur mingguan, dan jam kerja yang sangat tinggi.

Riset yang dilakukan National Human Trafficking Resource Center (NHTRC) menunjukkan posisi AS sangat vital, dan negara ini tidak bisa berlepas tangan dan melempar tudingan kepada negara lain seperti Iran dalam masalah penyelundupan manusia.

Tidak diragukan lagi sumber masalah penyelundupan manusia harus dilacak dari kebijakan unilateral, intervensi dan agresi, perang yang berkepanjangan, genosida dan terorisme. AS dan sekutunya terlibat dalam sebagian besar rangkaian masalah tersebut.

Secara umum negara yang dililit fenomena penyelundupan manusia terbagi menjadi tiga. Pertama negara asal, kedua negara transit dan ketiga negara tujuan. Negara asal terpenting adalah Eropa timur seperti Albania, Bulgaria, Republik Ceko, Lithuania, Polandia, Hongaria, dan sebagian negara Amerika Latin seperti Kolombia dan Republik Dominika.

Sementara itu, Thailand tercatat sebagai negara transit perdagangan dan penyelundupan manusia. Di Thailand industri pariwisata seks sangat marak dan menjadi tempat transit paling ideal bagi sindikat penyelundupan manusia. Adapun, Belgia, Jerman, Yunani, Italia, Jepang, Belanda, Turki dan Amerika Serikat menempati posisi teratas sebagai negara tujuan penyelundupan manusia.

Mayoritas mereka yang terjebak ke tangan sindikat penyelundupan manusia berangan-angan dapat memasuki Amerika atau negara Eropa, namun pada akhirnya mereka dijadikan budak. Perbudakan ini mulai dari kerja paksa, tanpa bayaran atau perbudakan seks. Bahkan anak-anak dan anggota badan juga diperjualbelikan.

Joy Ngozi Ezeilo, Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) baru-baru ini dilaporannya di Majelis Umum PBB mengatakan, kalangkaan anggota badan untuk transpalansi di dunia merupakan salah satu faktor utama penyelundupan manusia untuk dimanfaatkan anggota badannya serta eskalasi permintaan transpalansi serta pembatasan keras juga termasu salah satu pemicu eskalasi kasus ini."

Ezeilo menambahkan  belum ada satu negara atau badan apa pun yang berhasil menghentikan praktik perdagangan manusia, bahkan tindak kriminal itu meningkat dengan cepat di dunia. Menurutnya, "Perdagangan manusia mempermalukan kemanusiaan. Tren peningkatan kasus perdagangan manusia telah mempermalukan kemanusiaan. Kebanyakan praktik perdagangan manusia di dunia dilakukan sindikat transplantasi organ tubuh dan eksploitasi perempuan dan anak."