Rintangan dan Blunder PM Inggris
https://parstoday.ir/id/radio/world-i72341-rintangan_dan_blunder_pm_inggris
Perdana menteri baru Inggris, Boris Johnson menghadapi sejumlah tantangan yang akan merintanginya selama menjabat.
(last modified 2025-10-07T09:39:18+00:00 )
Jul 29, 2019 16:09 Asia/Jakarta
  • Perdana menteri baru Inggris, Boris Johnson
    Perdana menteri baru Inggris, Boris Johnson

Perdana menteri baru Inggris, Boris Johnson menghadapi sejumlah tantangan yang akan merintanginya selama menjabat.

Salah satu tantangan utama yang dihadapi Johnson mengenai sikap negatif partai-partai oposisi dan konsekuensinya terhadap untuk membentuk kabinet baru.

Pada hari Kamis (25/7), Partai Demokrat Liberal Inggris mengusulkan untuk melancarkan mosi tidak percaya di majelis rendah, jika Johnson tetap bersikeras memaksakan pendapatnya supaya Inggris keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan. 

Jeremy Corbyn selaku pemimpin Partai Buruh, partai pesaing utama konservatif, segera menyerukan pemilu dini menyikapi pidato pertama Johnson, dan menyatakan bahwa rakyat Inggris ini harus menentukan urusan negara ini seharusnya berada di tangan siapa. Oleh karena itu, Johnson tidak hanya menghadapi tantangan  serius dari Uni Eropa, tetapi juga perlawana internal yang kuat.

 

Jeremy Corbyn

 

Johnson telah melanggar proses politik yang berlaku selama ini dalam pembentukan kabinet. Dalam sistem politik Inggris, anggota kabinet dan wakilnya dipilih dari perwakilan partai yang berkuasa di majelis rendah, dan dalam beberapa kasus, majelis tinggi ikut menentukan. Itulah sebabnya, sekali setiap tahun, perdana menteri melakukan perubahan struktur kabinetnya yang disebabkan oleh pengunduran diri beberapa menteri dan kedatangan pejabat yang lebih muda. Tetapi yang terjadi pada hari kerja pertama Boris Johnson bukanlah pemilihan kabinet, namun benar-benar mengubah komposisinya.

Perubahan besar seperti itu tidak bisa dilakukan tanpa perubahan partai yang berkuasa di Inggris. Partai Buruh, sebagai partai oposisi utama menanggapi perubahan luas ini dengan menyebut Boris Johnson telah membentuk kabinet paling kanan dalam beberapa dekade terakhir. Secara khusus, terjadi perubahan pengisi pos penting seperti keuangan, luar negeri, dalam negeri dan menteri pertahanan.

Menurut para analis, alasan utama di balik masuknya lebih banyak sayap kanan ke dalam kabinet Johnson adalah dukungan mereka terhadap program Johnson untuk menarik diri dari Uni Eropa dan penghapusan peraturan dan regulasi yang telah diwajibkan untuk diterapkan di Inggris sebagai anggotanya.

Komposisi kabinet Johnson menunjukkan bahwa separuh anggotanya mendukung referendum brexit di tahun 2016, sementara separuh anggotanya memilih keluar, tetapi sekarang semua anggotanya meminta Inggris meninggalkan Uni Eropa.

Prasyarat utama untuk menjadi anggota kabinet Johnson adalah tidak menentang keluarnya Inggris dari Uni Eropa. Johnson mengira pembentukan kabinet semacam itu akan menyebabkan Uni Eropa menganggap serius ancamannya keluar Uni Eropa tanpa kesepakatan, dan akhirnya puas dengan perubahan mendasar dalam implementasi brexit.

Posisi Johnson dalam masalah ini persis sama dengan sikap Theresa May, yang menegaskan, "Keluar lebih baik daripada menerima kesepakatan buruk,". Dia yakin bisa mengambil poin dari Brussels dengan sikap keras kepala melawan Uni Eropa.

Pendekatan Johnson tersebut memicu reaksi negatif dari para pejabat senior Eropa. Presiden Komisi Eropa, Jean Claude Juncker mengatakan bahwa masalah kesepakatan brexit telah ditolak tiga kali oleh majelis rendah Inggris dan tidak akan disetujui implementasinya.

Johnson berjanji akan menerapkan proses penarikan Inggris keluar dari Uni Eropa hingga moratoriumnya berakhir. Namun pendekatan Johnson tersebut menyulut perlawanan serius. Lebih dari setengah anggota majelis rendah, termasuk sekitar tiga puluh anggota parlemen dari partai konservatif tidak setuju dengan langkah tersebut. Mereka prihatin dengan konsekuensi negatif di bidang ekonomi dari implementasi brexit.

 

Trump dan Johnson

 

Masalah penting lainnya mengenai masa depan hubungan Inggris dan AS di era kepemimpinan Johnson. Donald Trump adalah salah satu pendukung utama Johnson yang paling penting dari luar negeri. Tidak lama setelah Johnson dinyatakan sebagai pemenang, Trump memujinya dengan mengatakan, "Kita memiliki pria hebat yang akan menjadi perdana menteri baru Inggris, Dia adalah Boris Johnson, pria yang baik, serius dan cerdas. Dia disebut Trump Inggris ".

Dengan cara ini, Trump berharap hubungan London dan Washington akan lebih meningkat jauh melebihi periode sebelumnya. Tren ini akan semakin cepat jika Inggris meninggalkan Uni Eropa. Andrew Gimson, penulis buku biografi Boris Johnson menulis, "Hubungan antara mantan walikota London dan mantan Menteri Luar Negeri Inggris dengan Donald Trump begitu dekat, sehingga hampir tidak ada politisi Inggris yang memiliki hubungan beitu erat seperti itu,".

Sebagaimana Johnson, Trump mendukung penuh Inggris keluar dari Uni Eropa. Untuk alasan ini, presiden Amerika Serikat telah meminta London supaya meninggalkan meja perundingan seandainya tidak mencapai kesepakatan dengan Uni Eropa mengenai masalah biayanya.

"Jika Brussels tidak memenuhi harapan London, Inggris harus menahan diri dari membayar biaya kepada Uni Eropa yang diperkirakan mencapai 40 hingga 45 miliar Euro," kata Trump dalam sebuah wawancara dengan The Sunday Times.

Pada saat yang sama, London berharap bisa menandatangani perjanjian perdagangan bebas dengan Washington demi menebus kerugian dari penarikan keluar negaranya dari Uni Eropa. Namun, dengan mempertimbangkan kepribadian Trump dan ketidakpercayaannya pada janji dan komitmen, tampaknya Washington mungkin akan mengambil tindakan yang bertentangan dengan komitmen sebelumnya, atau membawa kondisi baru dengan London.

Salah satu masalah penting lain bagi Boris Johnson adalah pendekatannya terhadap kesepakatan nuklir Iran. Ada dua pandangan tentang pendekatan Johnson menyikapi JCPOA. Beberapa kalangan percaya bahwa ia tidak akan keluar dari JCPOA dan akan mempertahankannya dalam kerangka logika umum orang Eropa di bidang ini. Mereka memandang keluar dari JCPOA  akan menambah biaya baru bagi diplomasi asing dan kebijakan luar negeri Inggris.

Mereka berpendapat bahwa Johnson tidak memiliki kekuatan untuk bermanuver seperti Trump dalam mengejar tujuannya, karena majelis rendah dan lebih dari itu, otoritas perdana menteri Inggris dalam situasi rapuh karena partai konservatif tidak akan memberikan ruang bermanuver terhadap Johnson. Di sisi lain, banyak warga negara Inggris yang menentang dukungan Johnson terhadap Trump.

Masalah lain yang membatasi kekuasaan Johnson untuk menentang JCPOA adalah posisi sebelumnya tentang kesepakatan nuklir Iran. Ketika menjabat sebagai menteri luar negeri Inggris pada November 2017 mengatakan, Masalah inti dari JCPOA  tentang memberi dan meminta konsesi yang tidak mengubah perilaku baik Iran dalam program nuklir dan kemajuan ekonomi negara ini. 

 

dukungan Dewan Keamanan PBB terhadap JCPOA

 

Sebelumnya, pada Oktober 2017, Johnson dalam statemennya menyatakan bahwa JCPOA  sebagai perjanjian yang berharga untuk dilestarikan. Ia juga berjanji untuk berhenti melobi dengan pemerintah gelandangan dengan pelobi mereka. Ketika AS keluar dari JCPOA menyikapinya dengan menyatakan, "Sekarang saatnya bagi pemerintahan Trump  yang meninggalkan JCPOA untuk memulai pembicaraan baru tentang keprihatinan kita bersama ini."

Di sisi lain, ada pihak yang berpendapat bahwa Johnson memiliki banyak kesamaan dengan Trump, termasuk sikapnya terhadap isu-isu regional dan internasional, terutama pandangan negatif tentang peran regional Iran. Meskipun demikian, pernyataan dan sikap Johnson sejauh ini bisa masih teka-teki karena menggunakan pendekatan ganda. Di satu sisi, Johnson melihat perjanjian ini sebagai pencapaian diplomasi yang luar biasa, dan di sisi lain, seperti Washington, menyerukan negosiasi lebih lanjut mengenai masalah yang dinilainya harus diselesaikan seperti rudal dan kebijakan regional Iran.

Johnson menggambarkan perjanjian nuklir dengan Iran sebagai "kemenangan diplomasi luar biasa" sebagaimana disampaikan dalam pertemuan dengan Komite Urusan Luar Negeri Parlemen Inggris pada November 2017. Tetapi ia juga mengatakan bahwa perjanjian tersebut membuat perubahan besar dalam kebijakan Iran di Timur Tengah, termasuk dukungan untuk Hizbullah di Lebanon, dan Houthi di Yaman.

Oleh karena itu, tampaknya kita masih harus menunggu langkah Johnson berikutnya terutama menyikapi ketegangan antara Inggris dan Iran saat ini dalam masalah penyitaan kapal tankernya oleh Iran, dan isu penguatan kehadiran militer Inggris di Teluk Persia. Apakah masalah ini akan menyebabkan Inggris di bawah kepemimpinan Johnson ini lebih dekat dengan Trump daripada kubu oposisi, ataukah ia akan terus memegang posisi Inggris saat ini yang dalam kerangka posisi Troika Eropa. Posisi Eropa saat ini berupaya mempertahankan JCPOA demi mengurangi dampak sanksi sepihak AS terhadap negara Iran yang berefek global.(PH)