Bagaimana RI Mengantisipasi Krisis Energi Dunia?
-
Pembangkit Listrik Tenaga Angin
Dunia tengah dihadapkan dengan ancaman krisis energi. Harga minyak dunia mengalami kenaikan bahkan mencatat rekor tertinggi dalam tujuh tahun terakhir. Sebenarnya, apa penyebab krisis energi?
Krisis energi dapat melanda seluruh belahan dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Tingginya konsumsi energi ditambah dengan sumber daya yang semakin berkurang menyumbang pengaruh besar dalam krisis energi di dunia.
Krisis energi adalah kekurangan atau gangguan pada penyediaan pasokan energi, menurut Collinsdictionary. Krisis energi juga dapat diartikan sebagai kurangnya persediaan sumber daya energi atau peningkatan terhadap harga sumber daya, seperti minyak bumi.
Penyebab Krisis Energi
Krisis energi merupakan masalah yang cukup kompleks dan terdiri dari berbagai penyebab. Berikut 10 penyebab krisis energi:
1. Konsumsi Berlebihan
Krisis energi adalah akibat dari berbagai tekanan pada berbagai sumber daya alam. Ada tekanan pada bahan bakar fosil seperti minyak, gas, dan batu bara karena konsumsi berlebihan, yang kemudian dapat membebani sumber daya air dan oksigen kita dengan menyebabkan polusi.
2. Over Populasi
Penyebab lain dari krisis adalah peningkatan yang stabil dalam populasi dunia dan permintaannya akan energi.

3. Pemborosan Energi
Pentingnya menghemat energi cukup sering diremehkan. Pemborosan energi menggambarkan pemborosan sumber energi, khususnya bahan bakar dan listrik. Akibatnya, pengurangan limbah menjadi sumber penghematan energi yang sangat besar, yang membutuhkan tindakan baik pada tingkat individu maupun kolektif.
4. Pilihan Energi Terbarukan yang Belum Dijelajahi atau Kurang Dimanfaatkan
Energi terbarukan masih tetap tidak digunakan atau kurang dimanfaatkan di sebagian besar negara. Sebagian besar energi berasal dari sumber yang tidak terbarukan seperti batu bara. Ini berarti ada cukup banyak ruang untuk perbaikan di area ini.
Sementara itu, Krisis energi global disebut-sebut dapat terjadi diakibatkan perubahan cuaca dan lonjakan permintaan. Itu menjadi alarm menjelang musim dingin, ketika kebutuhan energi meningkat untuk menyalakan dan memanaskan rumah.
Di Cina, pemadaman bergilir bagi penduduk telah dimulai, sementara di India pembangkit listrik berebut batu bara. Advokasi konsumen di Eropa menyerukan larangan pemutusan sambungan jika pelanggan tidak dapat segera melunasi tunggakan mereka.
Menurut data dari Badan Intelijen Komoditas Independen di Eropa, gas alam sekarang diperdagangkan setara dengan US$ 230 per barel, dalam hal minyak naik lebih dari 130% sejak awal September dan lebih dari delapan kali lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Di Asia Timur, harga gas alam naik 85% sejak awal September, mencapai sekitar US$ 204 per barel dalam hal minyak. Di Amerika Serikat, harga jauh lebih rendah tetapi masih melonjak ke level tertinggi dalam 13 tahun.
Upaya untuk mengamankan gas alam juga mendorong naiknya harga batu bara dan minyak, yang dalam beberapa kasus dapat digunakan sebagai pengganti tetapi lebih tidak ramah lingkungan.
Antisipasi Indonesia
Melihat kenyataan ini, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro mengatakan, Indonesia harus berhati-hati dalam menjalankan transisi energi ini.
"Di dalam konteks Indonesia saya kira kita harus hati-hati melihatnya, karena memang yang dimau dunia transisi energi, bukan revolusi energi. Jadi transisi secara bertahap, bukan secara katakanlah langsung dinaikan jadi sekian persen supaya kita kelihatan keren di mata dunia," katanya, sebagaimana dikutip Parstodayid dari Detik, Jumat (8/10/2021).
"Kita melihatnya harus balance antara kepentingan ekonominya, sosial politiknya, dan kemudian juga yang tidak kalah penting keberlanjutan pasokan energi kita. Saya bukan anti EBT, saya sangat mendukungan perkembangan EBT, tapi di dalam konteks ini harus dilakukan secara cermat dan hati-hati," tambahnya.
Dia mengatakan, EBT sendiri memiliki dua tantangan utama. Pertama, mengenai keberlanjutan pasokan. Kedua, harga yang belum efektif.
Masalah keberlanjutan pasokan, ia mencontohkan PLTS di mana saat musim kemarau hanya bisa produksi selama 4 sampai 6 jam per hari. Sisanya harus dipenuhi dari oleh energi lain. Ia juga mengatakan, pembangkit ini sangat tergantung dengan cuaca.
"Sementara kalau kita lihat kebutuhan industri, itu ada industri-industri yang tidak boleh listriknya hanya sekadar berkedip. Artinya tidak mentoleransi adanya pemadaman," sambungnya.
Bicara mengenai harga, fosil jauh lebih murah. Ia menyebut, untuk listrik dari sumber energi batu bara per kWh hanya Rp 600, namun EBT paling murah di atas Rp 1.000. PLTS bahkan dalam beberapa tahun terakhir harganya di atas Rp 7.000.
"Hal ini saya kira yang pemerintah perlu bijak di dalam melihatnya. EBT bagus tapi aspek ketahanan ekonomi secara keseluruhan juga perlu dikedepankan," katanya. (Detik)