Pemilu 2024: Dampak Pemungutan Suara Ulang
Feb 18, 2024 21:29 Asia/Jakarta
Ribuan tempat pemungutan suara (TPS) berpotensi menggelar pemungutan suara ulang, disingkat PSU, dalam Pemilihan Umum atau Pemilu 2024, berdasarkan penemuan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI.
Adapun PSU biasanya dilakukan demi memastikan asas Pemilu yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dapat berjalan dengan baik.
Namun, selain berdampak positif bagi keberlangsungan proses demokrasi, di sisi lain pemungutan suara ulang juga memiliki dampak kurang baik. Lantas apa efek negatif dari adanya pemungutan suara ulang ini?
Sebelumnya, Bawaslu RI merekomendasikan pemungutan suara ulang di ribuan TPS lantaran terjadi sejumlah masalah usai digelar pada Rabu, 14 Februari 2024 lalu. Bawaslu RI mengungkap sebanyak 2.413 TPS berpeluang melakukan PSU. Hal itu lantaran antara lain disebabkan adanya pemilih di TPS tersebut yang mendapatkan hak pilihnya lebih dari satu kali.
“Yang paling kemungkinan akan terjadi PSU adalah kejadian 2.413 TPS yang didapati adanya pemilih mendapatkan hak pilihnya lebih dari satu kali,” kata Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja dalam konferensi pers di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Jakarta Pusat, Kamis, 15 Februari 2024.
Dinukil dari publikasi Pemungutan Suara Ulang : Menyoal Batas Waktu dan Faktor Penyebab oleh Hamdan Kurniawan, penyelenggaraan pemungutan suara ulang mengandung dua konsekuensi sekaligus. Di satu sisi, PSU merupakan mekanisme prosedural yang dijamin secara konstitusional oleh Undang-Undang.
Meski tidak mampu memuaskan semua pihak, hasil PSU cenderung dapat diterima oleh para pihak. Namun demikian, bukan berarti PSU tidak menggendong sejumlah persoalan. Hamdan merangkum sedikit ada empat efek negatif dari penyelenggaraan ulang pemungutan suara. Berikut, empat dampak negatif pemungutan suara ulang:
1. Anggaran ekstra
Berdasarkan informasi dari KPU, jumlah anggota KPPS dalam 1 TPS Pemilu 2024 adalah sebanyak tujuh orang, terdiri atas seorang ketua dan enam anggota. Adapun gaji Ketua KPPS Rp 1,2 juta dan Anggota KPPS Rp 1,1 juta. Artinya, sekurang-kurangnya dibutuhkan anggaran Rp 7,8 juta untuk penyelenggaraan PSU di setiap TPS. Belum termasuk gaji dua petugas keamanan, biaya pembuatan TPS, dan konsumsi.
2. Waktu penyelenggaraan terbatas
Rentang waktu paling lama 10 hari untuk menyelenggarakan PSU, memaksa KPU Kabupaten menyediakan logistik PSU dengan cepat. Dalam waktu kurang dari dua minggu tersebut KPU Kabupaten harus mengorganisir KPPS, PPS dan PPK, menyiapkan logistik Pemilu hingga mengundang pemilih untuk hadir mencoblos.
3. Berpeluang menyebabkan banyak golput
PSU berpeluang menyebabkan banyak yang golput lantaran rendahnya tingkat kehadiran pemilih di TPS. Hampir seluruh TPS yang menyelenggarakan PSU mengalami penurunan angka kehadiran pemilih ke TPS. Hal ini disebabkan pemilih merasa membuang-buang waktu melakukan pencoblosan kali kedua.
4. Meningkatnya suhu politik dan berpotensi menimbulkan konflik di wilayah tertentu
Dalam studi kasus penelitian Hamdan di Daerah Istimewa Yogyakarta pada Pilpres 2019, rekomendasi pengawas Pemilu untuk melaksanakan PSU di beberapa wilayah di DIY memunculkan ketegangan-ketegangan baik di kalangan penyelenggara Pemilu, peserta Pemilu maupun masyarakat secara umum.
Di kalangan penyelenggara Pemilu, rekomendasi yang sifatnya mendadak disikapi dengan ketegangan dan penolakan dari kalangan badan ad hoc. Beberapa PPK melayangkan protes melalui KPU Kabupaten/Kota karena isi rekomendasi yang tidak akurat sehingga membawa konsekuensi bagi rontoknya kepercayaan dan muruah penyelenggara Pemilu yang dianggap tidak profesional dalam bekerja.
Di kalangan peserta Pemilu, PSU disikapi dengan menyuarakan keberatan kepada KPU Kabupaten dan Bawaslu Kabupaten karena keduanya dianggap tidak menjalankan tugas dengan baik. Peserta Pemilu mengkhawatirkan perubahan hasil suara yang signifikan sehingga mengancam posisi perolehan kursi. Sedangkan bagi masyarakat, resistensi terhadap penyelenggaraan PSU dilakukan dengan caranya sendiri. (tempo)
Tags