Perbedaan Kafir dan Non-Muslim dalam Rekomendasi Munas-Konbes NU 2019
(last modified Fri, 01 Mar 2019 09:21:02 GMT )
Mar 01, 2019 16:21 Asia/Jakarta
  • Wakil Presiden RI Jusuf Kalla menutup Munas-Konbes NU 2019
    Wakil Presiden RI Jusuf Kalla menutup Munas-Konbes NU 2019

Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) resmi menutup Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (NU) 2019, di Pondok Pesantren Miftahul Huda al-Azhar, Kota Banjar, Jawa Barat, Jumat (1/3).

Dalam sambutannya, JK menyebut NU sebagai organisasi terbesar di dunia, dengan perkiraan memiliki anggota baik yang masuk dalam struktural maupun tidak mencapai 100 juta orang.

"Sebagai organisasi terbesar, saya kira NU bukan hanya organisasi terbesar di Indonesia, tapi terbesar di dunia. Karena walaupun 100 persen (penduduk) Saudi Islam mempunyai organisasi terbesar, ya penduduk Saudi paling tinggi 30 juta," kata JK. Demikian dilaporkan Viva, Jumat (01/03).

JK bersyukur Munas Alim Ulama dan Konbes NU telah selesai. Acara tersebut berlangsung selama tiga hari, sejak Rabu (27/2) sampai dengan hari ini. JK mengapresiasi hasil yang telah dicapai dalam forum tertinggi di bawah Muktamar NU tersebut.

Sementara itu, Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siradj membacakan lima poin rekomendasi saat acara penutupan.

Penutupan Munas Alim Ulama dan Konbes NU berlangsung di Ponpes Miftahul Huda al-Azhar, Citangkolo, Banjar, Jawa Barat, Jumat (1/3/2019). Rekomendasi-rekomendasi yang dihasilkan merupakan keputusan rapat pleno Munas Ulama NU, baik yang berkaitan dengan agama maupun organisasi.

Poin pertama yaitu istilah kafir tidak dikenal dalam sistem kewarganegaraan pada suatu negara dan bangsa. Maka setiap warga negara memiliki hak yang sama di mata konstitusi. Maka yang ada adalah nonmuslim bukan kafir.

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj menegaskan istilah kafir dan non-Muslim sebagai konteks yang berbeda merujuk pada zaman Rasulullah Muhammad SAW.

"Dalam sistem kewarganegaraan pada suatu negara bangsa tidak dikenal istilah kafir. Setiap warga negara memiliki kedudukan dan hak yang sama di mata konstitusi," kata Said dalam penutupan Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (Munas-Konbes NU) 2019 di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Banjar, Jumat. Demikian dilansir Antaranews, Jumat (01/03).

Munas-Konbes NU 2019

Ia mengatakan di masa awal dakwah Islam, Rasulullah SAW menyebut kafir bagi para penyembah berhala, klenik dan semacamnya. Setelah periode hijrah dari Mekkah ke Madinah, istilah kafir sering disebut sebagai non-Muslim.

Istilah itu kerap digunakan dalam konteks ketatanegaraan di Madinah sehingga setiap warganya memiliki hak yang sama baik itu Muslim maupun non-Muslim.

Said mengatakan penegasan kafir dan non-Muslim itu dibahas dalam Komisi Bahtsul Masail Diniyah Maudluiyah yang fokus pada penjelasan tematik.

Komisi itu juga membahas soal pandangan Islam dalam menyikapi bentuk negara bangsa dan produk perundangan atau kebijakan negara yang dihasilkan oleh proses politik modern. Forum itu merupakan bagian dari kegiatan Munas-Konbes NU 2019.

Sebelumnya, Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU KH Abdul Moqsith Ghazali mengatakan Pancasila sebagai dasar negara berhasil menyatukan rakyat Indonesia yang plural, baik dari sudut etnis dan suku maupun agama dan budaya.

Di bawah payung Pancasila, seluruh warga negara adalah setara dengan yang satu tak lebih unggul dari yang lain berdasarkan suku, etnis bahkan agama.

Hal itu selaras dengan yang pernah dilakukan Nabi Muhammad dengan membuat Piagam Madinah untuk menyatukan seluruh penduduk Madinah.

Piagam Madinah itu menegaskan bahwa seluruh penduduk Madinah adalah satu kesatuan bangsa atau umat yang berdaulat di hadapan bangsa/ umat lainnya tanpa diskriminasi.

Moqsith mengatakan kata kafir sering disebutkan oleh sekelompok orang untuk melabeli kelompok atau individu yang bertentangan dengan ajaran yang mereka yakini, kepada non-Muslim, bahkan terhadap sesama Muslim sendiri.

Bahtsul Masail Maudluiyah memutuskan tidak menggunakan kata kafir bagi non-Muslim di Indonesia. "Kata kafir menyakiti sebagian kelompok non-Muslim yang dianggap mengandung unsur kekerasan teologis," katanya.

Ia mengatakan para kiai menyepakati tidak menggunakan kata kafir, tetapi menggunakan istilah muwathinun, yaitu warga negara. Menurut dia, hal demikian menunjukkan kesetaraan status Muslim dan Non-Muslim di dalam sebuah negara.

"Dengan begitu, maka status mereka setara dengan warga negara yang lain," katanya.

Meski demikian, kata dia, kesepakatan tersebut bukan berarti menghapus kata kafir. Hanya saja, penyebutan kafir terhadap non-Muslim di Indonesia tidak bijak.

Tags