Saat Bencana BMKG Pilih Mana, Informasi atau Akurasi?
Dua hari lalu tepatnya hari Jumat, 2 Agustus Banten dilanda gempa dengan magnitudo 6,9 pada pukul 19.30 WIB. Gempa ini juga terjadi di sejumlah daerah, di antaranya Bengkulu, Jawa Barat, Lampung, hingga Jawa Tengah, dan Mataram, NTB.
Gempa Banten diikuti peringatan dini tsunami yang dikeluarkan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang kemudian dicabut pada pukul 21.35 WIB.
Dalam rilis peringatan dini yang dikeluarkan BMKG, ada daftar wilayah yang berpotensi tsunami dengan status berbeda-beda. Ada yang berstatus waspada, siaga, dan awas.
Namun ketika terjadi bencana yang lebih umum gempa, tsunami dan lain-lain, BMKG lebih memilih kecepatan dalam memberikan informasi, ataukah akurasinya?
Kecepatan informasi tentang bencana gempa bumi menjadi pegangan bagi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika ( BMKG).
Menurut BMKG, dengan memberikan informasi bencana secepat mungkin, maka masyarakat akan memiliki golden time atau waktu sangat berharga untuk mengevakuasi diri secara mandiri dan menyelamatkan diri.
"Kecepatan inilah yang membuat masyarakat memiliki golden time secara lebih dini untuk melakukan evakuasi mandiri," kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, Minggu (4/8/2019). Sebagaimana dipantau Parstodayid dari Kompas, Minggu, 4 Agustus.
Menurut Dwikorita, pegangan BMKG tersebut sesuai dengan amanah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika.
Berdasarkan Pasal 37 dalam undang-undang itu, ini sebagaimana diterapkan di negara termaju dalam mitigasi dan peringatan dini tsunami.
Sementara untuk akurasi data gempa, bisa dicapai dengan proses pemutakhiran sesuai perkembangan jumlah sinyal-sinyal kegempaan yang terekam jaringan sensor gempa bumi.
Kecepatan diutamakan Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono juga mengatakan, kecepatan informasi bencana harus lebih diutamakan dibandingkan akurasi data.
Pasalnya, kecepatan dan akurasi merupakan dua hal yang tak selalu terpenuhi dalam waktu yang bersamaan. Contohnya adalah ketika memberi peringatan dini tsunami.
Saat kejadian gempa pada Jumat (2/8/2019) di wilayah Samudera Hindia Selatan, Banten, BMKG melakukan pemutakhiran informasi gempa bumi tektonik berpotensi tsunami yang terjadi.
Pada awal informasi disebutkan bahwa gempa yang terjadi berkekuatan magnitudo 7,4 berkedalaman 10 kilometer. Kemudian, informasi itu dimutkahirkan menjadi magnitudo 6,9 berkedalaman 48 kilometer.
Contoh lainnya, gempa Tohoku di Jepang yang terjadi pada 2011.
Saat itu Japan Meteorogical Agency (JMA) dalam waktu tiga menit langsung menyampaikan informasi kejadian gempa magnitudo 7,9 dan peringatan dini tsunami dengan ketinggian 6 meter.
Pada menit ketiga, jaringan sensor gempa JMA masih menangkap sebagian kecil sinyal-sinyal gempa yang baru mampu memberi perhitungan magnitudo mencapai 7,9 dan potensi tsunami.
"Namun di menit ke-3 itu, masyarakat terdampak sudah bisa siaga untuk menghadapi ancaman tsunami dengan melakukan evakuasi mandiri," kata Daryono.
Kemudian pada menit ke-50, JMA pun memutakhirkan kembali informasi magnitudo gempa menjadi 8,8 dan berakhir di magnitudo 9,0 dalam pembaruan terakhirnya.
"Jadi akurasi baru dapat dicapai setelah menit ke-50 untuk gempa dengan magnitudo 9,0," kata Daryono.
"Apabila peringatan dini diinformasikan setelah menit ke-50 karena menunggu akurasi, tsunami pasti sudah melanda lebih dulu di pantai-pantai terdekat," kata dia.
Ia menjelaskan, situasi dan kondisi geologi serta tektonik di Jepang hampir serupa dengan situasi dan kondisi di wilayah Indonesia.
Beberapa pantai di Indonesia, kata dia, berada pada posisi dengan sumber-sumber gempa bermagnitudo besar.
Perhitungan akurasinya pun baru bisa dicapai pada menit-menit yang akan selalu terlambat dengan kedatangan tsunami.