Polemik Penerbitan Perppu KPK
(last modified Tue, 08 Oct 2019 04:07:54 GMT )
Okt 08, 2019 11:07 Asia/Jakarta
  • Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
    Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Presiden Joko Widodo atau Jokowi sedang mempertimbangkan dan mengalkulasi dua opsi penting. Pertama, menerbitkan peraturan pengganti undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi atau Perppu KPK.

Setelah Perppu KPK, opsi kedua adalah legislative reviewLegislative review adalah meninjau kembali revisi UU KPK bersama DPR periode baru 2019-2024.

Revisi UU KPK telah disahkan oleh DPR periode lalu pada 17 September 2019. Revisi UU itu kemudian ditentang para mahasiswa yang kemudian menimbulkan gelombang demonstrasi di berbagai daerah dalam beberapa hari. Kini polemik seputar Perppu KPK terus bergulir.

PPP: Perppu KPK Opsi Paling Akhir

Ketua Fraksi PPP, Arsul Sani angkat bicara mengenai hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) terkait mayoritas masyarakat mendukung Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) KPK. Dia menyebut, Perppu merupakan opsi terakhir dari kemungkinan pilihan yang ada.

"Partai-partai politik yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Kerja dan yang ada di parlemen menyampaikan bahwa Perppu itu, kalau dalam bahasa yang simpel harus jadi opsi yang paling akhir, setelah semuanya dieksplor dengan baik tentunya," kata Arsul di Jakarta, Senin (7/10/2019) seperti dilansir situs Liputan6.com.

Menurut dia, dukungan masyarakat akan survei LSI itu dikarenakan isu soal Perppu KPK sudah menjadi topik utama di berbagi media. Arsul menilai, hasil survei hanya sebagai bentuk rujukan saja dan bukan penentu keputusan.

Selain itu dia juga menyebut, perlu atau tidaknya Perppu harus melalui sebuah kajian yang bersifat akademik dan sejumlah perdebatan publik.

"Survei itu jadi bahan pertimbangan, saya kira bukan jadi bahan penentu. Itulah saya kira yang harus kita pakai untuk menentukan nanti apakah jalannya legislatif review (revisi UU) atau perppu atau judicial review," ucapnya.

Kendati begitu, Arsul menyebut, Presiden Jokowi akan kembali berkomunikasi dengan parpol pendukung terkait keputusan soal Perppu KPK.

"Kita tidak bisa berkalau-kalau, karena pada saat kami bertemu dengan presiden pada hari Senin malam lalu di Istana Bogor, presiden belum buat keputusan," jelasnya.

Pertemuan Presiden Jokowi dengan pimpinan DPR RI di Istana Negara. (dok)

Hasil Survei LSI

Sebelumnya, Lembaga Survei Indonesia (LSI) menggelar survei opini publik terhadap gerakan mahasiswa dan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Tujuan dari survei ini salah satunya untuk mengetahui apakah masyarakat menerima atau menolak UU KPK.

Hasilnya, sebanyak 70,9 persen responden setuju bahwa UU KPK hasil revisi dapat melemahkan kinerja lembaga antirasuah dalam memberantas korupsi.

"Sebanyak 70,9 persen publik yang tahu revisi UU KPK, yakin bahwa UU KPK yang baru melemahkan KPK, dan yang yakin sebaliknya hanya 18 persen," kata Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan di Erian Hotel Jakarta Pusat.

Sementara itu, Pengamat Hukum Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Ahmad menyebut, penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) bukanlah pilihan utama atas revisi Undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang KPK.

"Ada pilihan lain yang lebih elegan dan sekaligus tidak mempermudah konstruksi kegentingan memaksa negara," kata Suparji di Jakarta, Senin 7 Oktober 2019.

Dia menilai konstruksi darurat menjadi lebih dipemudah bila pemerintah mengeluarkan Perppu atas desakan masyarakat. Selain itu, hal tesebut juga dikhawatirkan akan menjadi sebuah tradisi ketatanegaraan yang mengabaikan kepastian hukum.

"Undang-undang begitu cepat berubah, mempertimbangkan hal tersebut maka sebaiknya tidak dikeluarkan Perppu," ucapnya.

Kendati begitu, Suparji menyarankan agar pemerintah lebih fokus dalam menyosialisasikan UU KPK kepada masyarakat. Hal itu bertujuan untuk meyakinkan masyarakat bahwa UU KPK hasil revisi tidak melemahkan KPK. (RM)