Mengapa Perundingan Wina Berhenti? Ternyata Ini Penyebabnya
Menteri Luar Negeri Republik Islam Iran Hossein Amir Abdollahian melakukan pembicaraan telepon dengan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada Jumat (6/5/2022) malam.
Dalam percakapan telepon tersebut, keduanya membahas beragam isu, terutama negosiasi JCPOA di Wina. Menlu Iran menungkapkan bahwa kebijakan salah Amerika Serikat (AS) yang menerapkan tekanan maksimum terhadap Republik Islam Iran adalah penyebab situasi saat ini dalam perundingan di Wina.
Menlu Iran menyinggung kelanjutan pertukaran pesan antara Iran dan AS melalui Uni Eropa dan mengkritik resolusi anti-Iran di Senat AS baru-baru ini. Amir Abdollahian menegaskan, pencapaian kesepakatan yang langgeng, kuat dan adil membutuhkan keputusan yang realistis dan berani dari pemerintah AS untuk menebus pendekatan-pendekatan yang salah di masa lalu.
Putaran kedelapan perundingan di Wina menngenai pencabutan sanksi telah dimulai pada 27 Desember 2021. Negosiasi ini memasuki fase yang krusial pada 11 Maret 2022 atas saran Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Joseph Borrell. Untuk itu para perunding kembali ke negara masing-masing untuk konsultasi politik.
Masalah jaminan dan penghapusan nama individu dan organisasi (lembaga) dari daftar merah dan dari rangkaian sanksi masih menjadi salah satu kasus di mana AS sebagai pelanggar perjanjian nuklir JCPOA, belum membuat keputusan politik yang diperlukan untuk menyelesaikannya.
Republik Islam Iran menekankan bahwa mengingat sejarah inkonsistensi Barat, terutama AS, untuk implementasi penuh JCPOA, maka pihak-pihak yang terlibat perundingan harus mencari kesepakatan yang kuat, adil dan langgeng.
Melalui jalan tersebut, selain untuk mengurangi kekhawatiran yang diklaim Barat atas program nuklir damai Iran, juga terbuka kondisi yang diperlukan bagi Iran untuk menggunakan secara penuh sumber-sumber ekonominya dan hak-haknya dalam perjanjian tersebut. Untuk itu, tim perunding Iran telah mengajukan usulan dan inisiatif praktis kepada pihak-pihak yang bernegosiasi. Serangkaian interaksi dengan pihak-pihak lain dalam negosiasi juga akan berlangsung dalam kerangka garis merah.
Ketika pembicaraan Wina menunggu keputusan politik AS tentang sejumlah masalah penting yang masih tersisa, Senat Amerika baru-baru ini justru mengumumkan rencana untuk mempertahankan sanksi terhadap Bank Sentral Republik Islam Iran, dan rencana untuk mencegah pencabutan sanksi terhadap Korps Garda Revolusi (IRGC) jika pemerintahan Joe Biden ada kemungkinan untuk kembali ke JCPOA.
Hanif Ghaffari, seorang pakar urusan internasional menilai kerja sama dan koalisi senator-senator dari Partai Demokrat dan Republik untuk menyetujui rencana anti-Iran ini sebagai indikasi yang jelas dari komitmen mereka terhadap taktik "kembali ke JCPOA yang tidak berguna".
Di sisi lain, kelanjutan sanksi dan penggunaan kebijakan ganda diplomasi serta tekanan maksimum AS terhadap Iran terjadi pada saat pencapaian kesepakatan dalam pembicaraan Wina mengharuskan AS untuk meninggalkan keserakahan dan ketamakannya dan negara ini harus melakukan tindakan obyektif dan dapat dipercaya.
Surat kabar Amerika, Politico mengutip seorang pejabat Gedung Putih menyebutkan bahwa posisi Washington adalah tidak akan menghapus IRGC dari daftar yang disebut sebagai organisasi teroris asing kecuali jika Iran setuju untuk mengambil langkah-langkah khusus yang bisa mengurangi kekhawatiran tentang masalah keamanan di luar JCPOA.
Hal itu sangat tidak masuk akal. Pasalnya, sifat utama dari perjanjian nuklir JCPOA adalah didasarkan pada pencabutan sanksi ekonomi terhadap Iran ketika negara ini memenuhi kewajiban nuklirnya, dan perjanjian ini juga tidak ada hubungannya dengan masalah pertahanan dan kebijakan regional Iran.
Jelas bahwa penggunaan sanksi yang berkelanjutan terhadap Iran, sabotase terus menerus AS dalam negosiasi serta tuntutan-tuntutan di luar JCPOA menunjukkan bahwa pejabat Washington masih mengejar kebijakan yang gagal dari pemerintahan sebelumnya (Donald Trump) dan hingga sekarang belum memiliki kemauan politik yang diperlukan untuk menebus pendekatan salah di masa lalu, dan kembali ke JCPOA. (RA)