Perang Hibrida AS atas Iran, Upaya Penjajah Hadapi Ideologi Perlawanan
Mar 29, 2024 00:26 Asia/Jakarta
Amerika Serikat, sebagai ujung tombak tekanan hegemonik Barat, terhadap Iran, telah menggunakan berbagai cara apa pun untuk menggulingkan Republik Islam Iran, yang merupakan penantang serius substansi kolonialisme, dan dominasi Barat.
Sejak awal berdirinya Republik Islam Iran, seluruh instrumen yang digunakan untuk menggulingkan Iran, merupakan kombinasi dari berbagai kebijakan lunak, dan keras dalam kerangka perang hibrida.
Penggulingan pemerintahan, dan menciptakan kerusuhan politik, sanksi, serta tekanan ekonomi, operasi senyap dan teror, dukungan terhadap milisi-milisi bersenjata, aksi militer, dukungan atas agresi regional terhadap Iran, sabotase dan perang siber, tuduhan palsu hak asasi manusia ke Iran, dan serangan budaya ke negara ini, hanyalah sebagian dari upaya AS.
Sanksi-sanksi kompleks, dan berlapis ekonomi, telah menjustifikasi model-model rumit, dan kombinasi perang Amerika Serikat, melawan Republik Islam Iran.
Salah satu karakteristik penting perang hibrida adalah model-modelnya yang tidak pernah dipakai sebelumnya. Realitasnya bentuk perang ini tidak mengikuti pola-pola pasti sebelumnya, tapi lebih memanfaatkan serangkaian prinsip yang jelas, penting, dan bersandar pada kode khusus masyarakat target, dan bekerja secara unik.
Oleh karena itu, dengan menganalisa komponen-komponen perang hibrida, dapat disimpulkan bahwa pola perang terhadap Republik Islam Iran, adalah pola canggih dan khusus Iran, yang berlandaskan pada upaya menciptakan kompleksitas lingkungan intelijen, dengan maksud memengaruhi kognitif dan struktur rezim sosial tertentu.
Departemen Pertahanan AS, Pentagon, dalam doktrinnya terkait operasi intelijen, menjabarkan lingkungan intelijen sebagai tiga dimensi yang saling berkaitan, dan secara kontinu berinteraksi dengan orang-orang, lembaga dan sistem. Dimensi-dimensi ini adalah dimensi fisik, intelijen dan kognitif.
Dimensi fisik atau pada kenyataanya adalah lingkungan nyata terdiri dari sistem komando dan kendali, para pengambil keputusan utama, dan cabang-cabang pendukung. Dimensi intelijen berhubungan dengan posisi dan metode pengumpulan, pengolahan, pencatatan, penyimpanan, pendistribusian dan perlindungan informasi.
Sementara dimensi kognitif, sebagai dimensi ketiga, dalam hal ini merujuk pada manusia, dan realitasnya meliputi benak orang-orang yang menerima informasi, dan mentransfernya, menjawab informasi-informasi itu atau bertindak berdasarkan informasi tersebut.
Musuh-musuh Republik Islam Iran, terutama AS dan Rezim Zionis, serta beberapa negara Eropa, seperti Inggris, sejak awal kemenangan Revolusi Islam, membantu membentuk kelompok oposisi di dalam Iran, dengan bantuan dana, dan peralatan.
Secara tidak langsung, mereka terjun ke dalam perang bersenjata melawan Iran, sebagai negara, dan secara bersamaan menggunakan berbagai metode lain seperti memunculkan ide-ide separatisme di Iran, dengan membentuk kelompok-kelompok etnis, dan mendalangi berbagai kudeta seperti Kudeta Nojeh pada tahun 1980.
Intevensi militer langsung seperti insiden Tabas, dan mengoperasikan gerakan terorisme dalam negeri dengan membantu kelompok teroris Mohajedin Khalq Organization, MKO, dan melenyapkan para pemimpin revolusi, dalam rangka menggulingkan Republik Islam Iran.
Ketika menyadari bahwa metode-metode yang digunakan itu tidak juga membuahkan hasil, maka perang delapan tahun dipaksakan terhadap Republik Islam Iran. Barat yang kolonialis, terutama AS, tidak menggunakan strategi yang memiliki dimensi tunggal dalam menghadapi Iran, tapi mengkombinasikan berbagai dimensi, dan komponen berbeda.
Strategi hibrida yang terdiri dari tiga lapisan yaitu dimensi fisik, intelijen dan kognitif, dibangun berlandaskan pada titik-titik kelemahan, dan kesenjangan di Iran. Bangunan strategi ini terdiri dari kombinasi berbagai tekanan, dan sinergi ekonomi, politik, militer, sabotase, serangan siber, dan perang di berbagai wilayah yang dimasuki Iran.
Sepertinya tujuan akhir adalah mengubah rezim politik atau menggulingkan sistem politik Republik Islam Iran, yang dimulai dari perubahan-perubahan kognisi. Jelas bahwa kualitas strategi tekanan Barat, dan kinerja Presiden AS, termasuk Donald Trump, dalam menghadapi Iran, juga termasuk dalam kerangka perang hibrida.
Masalah infiltrasi dalam lingkaran intelijen selalu menjadi salah satu komponen yang diandalkan musuh untuk mengontrol wilayah teritorial, dan tekanan maksimal terhadap Republik Islam Iran.
Dalam hal ini, sepertinya bahkan keinginan AS, yang terkadang muncul untuk berunding dengan Republik Islam Iran, juga merupakan bagian dari strategi umum perang hibrida melawan Iran, dan dapat dianggap sebagai senjata perundingan.
Pada kenyataannya, dalam strategi ini seluruh komponen masing-masing bersinergi menciptakan krisis dalam keputusan, dan tindakan bagi masyarakat serta para pejabat pemerintah Iran.
Sebagaimana diketahui, di pemerintahan Presiden Donald Trump, hal ini dapat dilacak jejaknya, dan berujung dengan semakin luasnya kesempatan yang baik untuk memperkuat pengaruh perang hibrida AS, terhadap Iran. (HS)