Pertemuan Rahbar dengan Masyarakat Qom
Ribuan warga kota Qom bertemu dengan Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran Ayatullah al-Uzdma Sayid Ali Khamenei di Huseniyah Imam Khomeini di Tehran, ibu kota Republik Islam Iran, Rabu pagi, 9 Januari 2019.
Pertemuan tersebut menandai kebangkitan bersejarah masyarakat kota Qom dalam menghadapi rezim Pahlevi pada 19 Dey 1356 Hs.
Kebangkitan berdarah 19 Dey 1356 Hs atau 9 Januari 1978 di kota Qom adalah salah satu peristiwa penting, yang berujung pada penggulingan rezim despotik Pahlevi dan pintu gerbang bagi kemenangan Revolusi Islam di bawah pimpinan Imam Khomeini ra.
Kebangkitan ini muncul untuk memprotes penerbitan sebuah artikel dengan judul "Iran dan Kolonisasi Merah dan Hitam" yang dimuat di surat kabar Ettelaat pada 7 Januari 1978 atas perintah Savak (dinas rahasia rezim Shah Pahlevi). Artikel ini menyerang kepribadian Imam Khomeini ra sebagai ulama dan politisi, yang melakukan kegiatan anti-rezim di tempat pengasingannya di kota Najaf, Irak.
Artikel itu menghina Imam Khomeini dengan kata-kata kasar seperti; "simbol reaksioner hitam" "pemicu kolonialisme" dan "bukan warga Iran." Artikel tersebut diyakini ditulis oleh Menteri Informasi dan Pariwisata Daryush Homayun dan dicetak setelah mendapat lampu hijau dari Savak.
Tujuan penerbitan artikel ini oleh rezim erat kaitannya dengan perkembangan sosial-politik Iran pada masa itu. Pada awal 1977, Shah Pahlevi sedikit mengendurkan tindakan represif sehingga aktivitas politik kembali berdenyut. Ketika itu, Shah menghadapi tekanan publik dunia dan terpengaruh oleh kebijakan hak asasi manusia yang diumumkan oleh Presiden baru AS, Jimmy Carter.
Para penentang rezim termasuk kalangan ulama, kubu sayap kiri, dan nasionalis mulai agak leluasa dalam melakukan kegiatan politik. Masjid, mushalla, dan basis-basis politik oposisi telah berubah menjadi poros bagi kegiatan politik mereka.
Ehsan Naraki mengutip keterangan salah seorang petinggi Savak, mengatakan bahwa Shah Pahlevi memerintahkan penulisan artikel tersebut setelah menyadari besarnya pengaruh Ayatullah Khomeini di tengah oposisi.
Artikel "Iran dan Kolonisasi Merah dan Hitam" diterbitkan dengan nama samaran, Rashidi Motlagh dan dicetak bertepatan dengan hari pelarangan jilbab di Iran. Setelah surat kabar Ettelaat edisi 7 Januari 1978 beredar di Qom, tulisan yang menghina Imam Khomeini dan ulama ini dengan cepat tersebar di hauzah ilmiah.
Pada 8 Januari, Hauzah Ilmiah Qom secara serentak meliburkan kegiatan mereka dan sekitar 200 pelajar agama melakukan long march ke rumah-rumah para ulama besar. Aksi ini berlanjut sampai tanggal 9 Januari (19 Dey) dan pada sore harinya, pasukan keamanan rezim mulai menggunakan kekerasan untuk membubarkan massa sehingga tujuh santri gugur dan sekitar 15 lainnya terluka.
Pasca insiden ini, demonstrasi menjalar sampai ke kota Najaf dan Imam Khomeini dalam sebuah pesan yang keras, memperingatkan Shah Pahlevi dan menantang rezim despotik dengan aksi perlawanan.
Kebangkitan 19 Dey adalah awal dari pecahnya demonstrasi beruntun yang mengguncang berbagai kota Iran dan sekaligus mengenang para santri yang gugur di Qom. Aksi ini memiliki pengaruh besar dalam menggalang massa untuk melawan rezim Shah dan merupakan hitungan mundur bagi kejatuhan rezim dan kemenangan Revolusi Islam.
Pasar-pasar dan perguruan tinggi meliburkan kegiatannya pada acara 40 hari pembunuhan warga Qom. Kota-kota lain di Iran juga menggelar acara tahlilan untuk mengenang orang-orang yang gugur di tangan rezim. Di 13 kota, acara ini berubah menjadi demonstrasi politik dan kegiatan di kota Tabriz dibubarkan paksa oleh aparat..
Aparat keamanan menembak mati seorang remaja Tabriz yang kemudian memicu demonstrasi besar-besaran oleh warga. Ribuan orang berhamburan ke jalan-jalan dengan meneriakkan slogan anti-rezim dan menyuarakan dukungan kepada Imam Khomeini.
Massa menyerang gedung-gedung bioskop dan depot-depot penjualan minuman keras. Banyak warga terbunuh atau terluka selama bentrok dengan aparat penguasa.
Pada 10 Farvardin 1357 Hs (30 Maret 1978), acara peringatan 40 hari syuhada Tabriz dilaksanakan di 15 kota dan di beberapa kota seperti Yadz, sejumlah warga terbunuh akibat serangan aparat keamanan. Peringatan 40 hari syuhada Yadz yang digelar di 24 kota di Iran juga berakhir dengan kekerasan aparat.
Demonstrasi masif ini memaksa Shah Pahlevi membatalkan kunjungannya ke Eropa Timur. Selama aksinya, para demonstran mengusung slogan bersama yaitu "Kematian untuk Shah", "Salam untuk Khomeini", dan "Kebahagiaan untuk Syuhada Qom dan Tabriz."
Para analis di Iran dan luar negeri tidak pernah mengira bahwa demonstrasi tersebut akan menyebabkan penggulingan rezim, karena Presiden AS Jimmy Carter baru saja menyambangi Iran dan mengumumkan dukungan mutlak kepada Shah. Carter menyebut Iran sebagai pulau yang stabil di wilayah Timur Tengah yang bergolak.
Sejumlah laporan yang dikirim oleh Kedutaan Besar AS di Tehran ke Washington juga tidak berbicara tentang situasi genting di Iran.
Duta Besar AS di Iran waktu itu, William Sullivan dalam bukunya "Mission to Iran" menulis, "Peringatan 40 hari syuhada dan demonstrasi yang digelar 40 hari sekali untuk mengenang mereka, pada awalnya benar-benar sebuah ritual keagamaan. Kubu politik oposisi baik Liberal, Sosialis, Demokrat, maupun Komunis tidak mengikuti peringatan itu. Sebagian dari kubu ini diawasi ketat oleh Savak dan mereka mustahil bisa melakukan kegiatan secara terbuka.
Karena demonstrasi anti-Shah dilakukan oleh kubu agamis, jadi banyak pengamat politik memandangnya bukan sebuah bahaya serius bagi rezim dan secara umum sangat sedikit orang yang menganggap rezim Shah sedang berhadapan dengan bahaya serius dari dalam atau luar."
Namun, berbeda dengan anggapan para analis, demonstrasi massa pada tahun 1357 HS justru bertambah besar dan secara perlahan terbentuk koalisi yang tidak resmi antara kubu ulama, intelektual, dan pedagang untuk melawan penguasa. Dengan demikian, kegiatan anti-rezim meningkat tiga kali lipat dan jumlah oposan yang aktif melakukan aksi sedikitnya naik empat kali lipat.
Peringatan 40 hari syuhada merupakan babak baru perlawanan terhadap rezim Shah pada 1978. Sudah menjadi tradisi bahwa para santri akan dikirim ke kota-kota dan desa selama bulan Ramadhan untuk kegiatan dakwah. Pada tahun itu, mereka memainkan peran besar dalam memberikan pencerahan politik dan mengenalkan sosok Imam Khomeini kepada masyarakat.
Pada acara shalat Idul Fitri di Tehran, masyarakat memanfaatkan momen itu untuk melancarkan perlawanan terhadap rezim dan memuji kepemimpinan Imam Khomeini. Para pelajar dan mahasiswa juga mulai bergabung dalam barisan masyarakat untuk melawan rezim. Namun, mereka juga tidak luput dari tindakan represif aparat penguasa sehingga sejumlah pelajar dan mahasiswa ikut menjadi martir.
Ada banyak peristiwa penting yang terjadi menjelang kemenangan Revolusi Islam, termasuk kepergian Shah Pahlevi ke luar negeri dengan alasan berobat pada 26 Dey. Shah berada di bawah tekanan oposisi dan telah melakukan upaya apapun untuk meredam demonstrasi antara lain; memberlakukan pemerintahan militer, menunjuk seorang jenderal yang kejam, Gholam Reza Azhari sebagai perdana menteri, dan kemudian menerima pengangkatan seorang PM dari salah satu kubu oposisi, Front Nasional. Namun semua langkah itu tidak mampu meredam gerakan revolusioner rakyat.
Kepulangan Imam Khomeini dari tempat pengasingan di Paris pada 1 Februari 1979 telah meruntuhkan rezim despotik Shah. Peristiwa ini memberi semangat baru bagi bangsa Iran untuk melakukan perlawanan terhadap rezim despotik dan Revolusi Islam mencapai kemenangan 10 hari kemudian, atau kurang dari satu tahun setelah Kebangkitan 19 Dey (RA)