Perempuan, Modernitas, dan Peradaban: Antitesis Khamenei terhadap Feminisme Liberal Barat
https://parstoday.ir/id/news/opini-i180662-perempuan_modernitas_dan_peradaban_antitesis_khamenei_terhadap_feminisme_liberal_barat
Di pusaran dominasi Feminisme Liberal di dunia, Iran menawarkan jalan ketiga yang tak dimiliki Barat.
(last modified 2025-11-19T09:49:03+00:00 )
Nov 19, 2025 16:24 Asia/Jakarta
  • Perempuan, Modernitas, dan Peradaban: Antitesis Khamenei terhadap Feminisme Liberal Barat

Di pusaran dominasi Feminisme Liberal di dunia, Iran menawarkan jalan ketiga yang tak dimiliki Barat.

Oleh: Sayyed Abdullah, Dosen Hubungan Internasional, Universitas Brawijaya Malang

Selama setengah abad terakhir, wacana global tentang perempuan didominasi satu suara: feminisme liberal. Narasi itu tampil seolah final, universal, dan tidak terbantahkan, bahwa kebebasan adalah otonomi mutlak, kesetaraan berarti penyamaan total, dan semua masyarakat, apa pun akar budayanya, harus mengikuti cetak biru yang sama.

Namun sejarah membuktikan: setiap ideologi yang memaksakan “kebenaran universal” pada masyarakat majemuk pada akhirnya akan runtuh oleh realitas yang lebih kompleks. Inilah titik kritis yang dibahas dalam studi mengenai pemikiran Ayatullah Ali Khamenei tentang perempuan. Ia tidak sekadar menawarkan kritik teologis; ia mengajukan alternatif epistemologis, sebuah civilizational framework yang, suka atau tidak, kini menjadi salah satu model penyeimbang dominasi wacana Barat.

Di saat banyak negara Muslim berjalan limbung menyalin mentah-mentah blueprint Barat, Iran justru menunjukkan bahwa ada jalan ketiga yang lebih organik, lebih berakar, dan lebih kompatibel dengan masyarakat non-Barat.

Feminisme Liberal: Janji Manis, Realitas Pahit

Feminisme liberal telah menghasilkan kemajuan signifikan, dari akses pendidikan hingga perlindungan hukum. Tetapi problemnya jelas: doktrin ini dibangun atas pengalaman perempuan Barat kulit putih kelas menengah. Ia tidak lahir dari keragaman dunia Muslim. Ia tidak memahami spiritualitas sebagai sumber makna. Ia alergi pada konsep keluarga sebagai institusi peradaban.

Ketika paradigma yang sangat spesifik itu dijual sebagai “standar universal”, terjadilah tragedi intelektual. Pengalaman perempuan Muslim dipaksa cocok dengan kerangka yang tidak pernah dirancang untuk mereka. Inilah sebabnya model Pahlavi gagal: perempuan dijadikan etalase modernitas, bukan subjeknya. Peningkatan akses terpusat di kelas urban; masyarakat mayoritas merasa terasing. Tidak ada jembatan epistemologis antara Islam dan modernitas, yang ada hanya imitasi visual ala Eropa.

Tampaknya, modernisasi yang memutus akar budayanya sendiri memang pasti rapuh.

Khamenei: Menggeser Pertarungan dari Aktivisme ke Epistemologi

Ayatullah Ali Khamenei masuk ke gelanggang bukan sebagai aktivis gender, tetapi sebagai arsitek ideologi peradaban. Ia menawarkan tiga tesis besar: Pertama, kesetaraan tidak harus berarti penyeragaman. Keadilan berarti menempatkan sesuatu pada tempatnya, bukan menyamakan yang memang berbeda. Kedua, kebebasan tanpa moral adalah pintu menuju penindasan baru Kapitalisme global memperdagangkan tubuh perempuan namun menyebutnya “emansipasi”. Ketiga, pembangunan manusia lebih fundamental daripada pembangunan ekonomi. Perempuan, terutama sebagai ibu dan pendidik adalah produsen peradaban, bukan sekadar tenaga kerja. Dengan kata lain, Khamenei memindahkan perdebatan perempuan dari isu teknis (kuota, hak kerja, regulasi) ke isu akar mengenai apa basis moral, spiritual, dan epistemologis yang membentuk sebuah masyarakat? Ini bukan sekedar kontra-narasi; ini counter-hegemony.

Motherhood: Ruang yang Justru Membentuk Dunia

Di Barat, motherhood sering digambarkan sebagai “beban”. Dalam paradigma liberal, kesuksesan perempuan diukur dari seberapa jauh ia bisa keluar dari rumah dan masuk ke arena yang dulu didominasi laki-laki. Khamenei membalik asumsi itu 180 derajat.

Motherhood bukan nostalgia; itu strategi peradaban.

Perempuan sebagai ibu dan pendidik membentuk manusia sebelum negara membentuk warga negara. Mereka mencetak karakter, nurani, integritas, dan spiritualitas. Pendidikan formal hanya melanjutkan fondasi yang telah ditanamkan ibu.

Data Iran menegaskan hal ini bahwa 70% tenaga pendidik sekolah dasar adalah perempuan. selain itu, Peran aktif perempuan dalam pendidikan tinggi bukan kebijakan kosmetik, melainkan manifestasi dari fondasi pendidikan sejak kecil. Jika Barat membangun masyarakat berbasis individu, Iran—melalui paradigma ini—membangun masyarakat berbasis keluarga dan spiritualitas. Dua fondasi yang oleh modernitas Barat sudah lama tergerus.

Partisipasi Publik: Ketika Data Membantah Stereotip

Tuduhan klise terhadap Iran adalah bahwa perempuan “dibatasi”. Padahal data justru memaparkan kebalikannya:

• 60% mahasiswa universitas adalah perempuan.

• Iran termasuk negara dengan persentase tertinggi perempuan di STEM di kawasan.

• 50% tenaga medis muda adalah perempuan.

• 30% advokat adalah perempuan.

• Perempuan memimpin lonjakan bisnis digital & ekonomi kreatif selama satu dekade terakhir.

Jadi apa yang sebenarnya terjadi?

Iran bukan menghambat perempuan, tetapi mengatur ekosistem sosial agar perempuan berkontribusi tanpa kehilangan identitas spiritual dan peran peradabannya. Sementara model Barat memaksa perempuan meniru laki-laki untuk dianggap sukses, model Iran justru mengatakan: Jadilah perempuan sepenuhnya, bukan salinan laki-laki. Itu bukan retorika moralistik; itu positioning identitas.

Data Barat mendukung klaim itu. Tingkat depresi perempuan muda di AS & Eropa tertinggi sepanjang sejarah (Pew, 2020). Sebanyak 736 juta perempuan mengalami kekerasan (WHO, 2021)—angka tertinggi justru di negara-negara paling liberal. Industri mode, pornografi, dan media hiburan menjadikan tubuh perempuan komoditas global terbesar. Jika feminisme liberal adalah pembebasan, mengapa kapitalisme menjadi penentu identitas perempuan modern?

Di sinilah kritik Khamenei menjadi relevan: liberalisme telah gagal melindungi perempuan dari pasar. Iran, dengan segala kekurangannya, setidaknya menawarkan model perlindungan berbasis spiritual, bukan berbasis komodifikasi.

Iran sebagai Laboratorium Jalan Ketiga

Kita harus jujur: model Iran bukan utopia. Ia memiliki tantangannya sendiri. Tetapi kita tidak bisa mengabaikan fakta bahwa ia menyediakan kerangka epistemologis yang konsisten, menolak tunduk pada dikte Barat, ia telah menghasilkan capaian pendidikan dan profesional yang signifikan bagi perempuan. ia membuktikan bahwa emansipasi tidak harus meniru Barat.

Iran, dengan segala kontroversinya, adalah proof of concept bahwa perempuan dapat maju tanpa meninggalkan nilai, spiritualitas, dan kodrat. Dan inilah poin yang membuat banyak analis di Barat tidak nyaman, karena model ini menantang monopoli epistemologis Barat.

Kesimpulan: Kita Memasuki Era Pluralitas Emansipasi

Feminisme liberal bukan musuh. Ia memberikan kontribusi besar. Tetapi ia bukan satu-satunya jalan. Dan bukan jalan terbaik untuk semua masyarakat. Pemikiran Khamenei mengingatkan dunia bahwa kebebasan harus punya arah, kesetaraan bukan penyamaan, spiritualitas adalah sumber daya sosial, identitas perempuan tidak boleh diperdagangkan, dan peradaban tidak dapat dibangun dengan memutus hubungan manusia dari akar kulturalnya.

Dunia sedang bergerak menuju multipolaritas politik. Mungkin sudah waktunya juga kita menerima multipolaritas epistemologi tentang perempuan. Iran telah menunjukkan arah itu. Dunia Muslim tinggal memilih apakah akan ikut meniru Barat tanpa filter atau membangun jalan ketiga yang lebih berakar, lebih sadar, dan lebih manusiawi.