Menjaga Kemanusiaan di Era AI: Pendidikan Tinggi dalam Perspektif Transpersonal
https://parstoday.ir/id/news/opini-i182024-menjaga_kemanusiaan_di_era_ai_pendidikan_tinggi_dalam_perspektif_transpersonal
Oleh: Khusnul Yaqin, Guru Besar Ekotoksikologi Perairan, Universitas Hasanuddin
(last modified 2025-12-11T05:59:33+00:00 )
Des 11, 2025 12:48 Asia/Jakarta
  • Menjaga Kemanusiaan di Era AI: Pendidikan Tinggi dalam Perspektif Transpersonal

Oleh: Khusnul Yaqin, Guru Besar Ekotoksikologi Perairan, Universitas Hasanuddin

Selama ini saya banyak meminjam gagasan Warwick Fox tentang Transpersonal Ecology untuk membaca persoalan lingkungan. Namun, kali ini saya justru merasa pendekatan psikologi transpersonal relevan digunakan untuk memahami satu tantangan baru yang tak kalah mendesak: bagaimana mendidik mahasiswa di tengah gelombang kecerdasan buatan.

Kita hidup dalam era yang penuh paradoks. AI mampu membuka akses pengetahuan yang dahulu hanya bisa ditembus lewat puluhan buku, jurnal, dan riset panjang. Tetapi di saat yang sama, kemudahan itu berpotensi mengikis struktur batin pembelajar. Jika digunakan tanpa kesadaran, Kecerdasan buatan (AI) dapat memanjakan, bahkan melumpuhkan kemampuan bernalar, membaca, meneliti, dan merasakan hubungan otentik dengan ilmu. Di titik inilah, tugas dosen bukan semakin ringan, tetapi justru kian menuntut kreativitas dan kehati-hatian. Tantangan kita bukan sekadar mengajar, tetapi menjaga agar manusia tetap utuh di tengah banjir kecerdasan buatan.

Dua ekstrem berbahaya muncul di ruang kuliah. Pertama, mereka yang sepenuhnya bersandar pada AI. AI dianggap sebagai sumber utama kebenaran; proses membaca dan memahami dianggap tak lagi penting. Secara permukaan mereka tampak mengetahui banyak hal, tetapi tak memiliki fondasi epistemik. Mereka bisa menjawab, tetapi sering tak mampu menilai kualitas jawabannya sendiri.

Kedua, mahasiswa yang justru alergi teknologi. AI dipandang sebagai ancaman, sehingga mereka memilih menjauh. Padahal, menutup diri dari perkembangan teknologi berarti kehilangan kesempatan untuk tumbuh bersama dinamika zaman. Kedua ekstrem ini tidak menghasilkan ilmuwan, tidak melahirkan pemikir, dan tidak membentuk insan universitas.

Contoh situasi nyata tampak di kelas-kelas dasar ilmu perikanan. Ada mahasiswa yang belum pernah membuka satu pun textbook fundamental, tetapi sudah menggunakan AI untuk mengerjakan tugas. Jawaban mereka rapi, tetapi tidak berakar dalam struktur pengetahuan internal mereka. Ruang imajinal mereka kosong dari konsep. Di sisi lain, ada mahasiswa yang menolak AI mentah-mentah sehingga tertinggal dalam penggunaan metode analisis dan perangkat penelitian modern. Membiarkan keadaan ini sama saja dengan melepaskan mahasiswa hanyut dalam arus teknologi tanpa kompas intelektual. Dan itu bukan pendidikan.

Di titik inilah psikologi transpersonal menjadi relevan. Abraham Maslow menggambarkan transpersonal sebagai tahap ketika manusia melampaui ego dan bergerak menuju aktualisasi diri yang lebih tinggi yang menggabungkan kecerdasan, intuisi, kreativitas, pengalaman batin, dan kedalaman spiritual. Dari perspektif ini, mengajar bukanlah memindahkan pengetahuan dari kepala dosen ke kepala mahasiswa. Mengajar adalah perjalanan kesadaran; ruang tumbuh bersama yang menggerakkan seluruh dimensi kemanusiaan.

Salah satu prinsip penting psikologi transpersonal adalah kemampuan seorang pendidik untuk, sesekali, menjadi murid. Ini bukan sekadar empati, tetapi kemampuan memasuki ruang batin mahasiswa: merasakan kebingungannya, keingintahuannya, ketergantungannya pada teknologi, dan pencariannya akan makna. Dari pemahaman ini, lahirlah bimbingan yang sejati. Dosen tidak anti-AI, tetapi juga tidak menyerahkan pendidikan kepada AI. Dosen menempatkan AI sebagai penguat daya pikir, bukan pengganti fondasi ilmu.

Bimbingan praktis dimulai dari hal mendasar: mahasiswa harus memiliki pijakan konseptual sebelum memakai AI. Mereka perlu disiplin membaca textbook dasar. Dosen memastikan pondasi itu kokoh. Baru setelah itu, AI diperkenalkan sebagai alat elaborasi, eksplorasi, dan penelitian. Ketika mahasiswa memiliki peta pengetahuan internal, AI berubah menjadi mitra intelektual, bukan ancaman. Namun, kedalaman ilmu tetap harus ditopang oleh bacaan lanjutan, diskusi, dan riset.

Di tingkat sistem, universitas dan kementerian perlu melihat penulisan textbook sebagai prioritas nasional. Penulis textbook harus diberi penghargaan setara dengan penulis jurnal bereputasi. Tanpa textbook yang kuat, jangkar keilmuan mahasiswa rapuh, dan AI akan mengambil alih ruang yang seharusnya ditempati proses belajar manusia. Sebaliknya, jika textbook kokoh, AI menjadi jembatan menuju wilayah pengetahuan yang lebih luas.

Pada akhirnya, mendidik mahasiswa di zaman AI bukan memilih melarang atau membebaskan. Mendidik berarti menghadirkan manusia seutuhnya dalam arus perubahan. Dengan pendekatan psikologi transpersonal, dosen tidak sekadar mengajar. Ia menyertai mahasiswa dalam perjalanan pertumbuhan kesadaran—membantu mereka mengintegrasikan ilmu, pengalaman batin, intuisi, dan teknologi. AI akan terus bertambah cerdas. Tetapi seorang pendidik memiliki tugas yang jauh lebih besar: memastikan teknologi tidak menggantikan proses memanusiakan manusia.