Gencatan Senjata Gaza Tanpa Keadilan, Ilusi Damai di Atas Penjajahan
Oleh: Sayyed Abdullah, Dosen Hubungan Internasional, Universitas Brawijaya Malang
Pengakuan internasional atas kemerdekaan Palestina seharusnya menandai awal berakhirnya kekerasan. Namun realitas pascagencatan senjata New York Oktober 2025 justru menunjukkan sebaliknya: kekerasan tidak berhenti, hanya berganti wajah. Gencatan senjata hadir sebagai simbol, tetapi absen sebagai praktik.
Ratusan pelanggaran, pembunuhan warga sipil, serta penghancuran masjid dan gereja menegaskan satu hal: gencatan senjata hari ini bukan alat perdamaian, melainkan mekanisme pengelolaan konflik. Ia berfungsi menenangkan opini publik global, bukan melindungi korban. Dalam praktiknya, gencatan senjata menjadi jeda operasional yang memberi waktu, bukan keadilan.
Inilah mengapa narasi “konflik Israel–Palestina” perlu dikoreksi secara tegas. Masalahnya, yang terjadi bukan konflik dua pihak setara, melainkan penjajahan yang dipelihara melalui perangkat politik modern. Menyebut ini konflik, justru mengaburkan relasi kuasa dan menormalisasi ketimpangan struktural yang dialami Palestina.
Masalah utama pascagencatan senjata bukan kekosongan hukum internasional. Aturan sudah lengkap, resolusi menumpuk, laporan pelanggaran berlimpah. Faktanya, yang hilang adalah penegakan. Israel menikmati impunitas politik yang luas, terutama karena perlindungan Amerika Serikat. Dukungan ini menciptakan zona kebal hukum, di mana pelanggaran HAM tidak menimbulkan konsekuensi berarti.
Dalam situasi seperti ini, berharap banyak pada diplomasi antar-pemerintah adalah kesalahan kalkulasi. Negara-negara boleh bersuara, tetapi tanpa tekanan nyata, suara itu hanya menjadi arsip. Karena itu, pusat gravitasi perjuangan Palestina bergeser: dari meja diplomasi ke ruang publik global.
Di sinilah peran masyarakat sipil menjadi penentu. Universitas, media, organisasi kemanusiaan, aktivis, hingga gerakan boikot ekonomi bekerja pada medan yang paling sensitif: legitimasi. Dalam politik global kontemporer, legitimasi adalah aset strategis. Ketika legitimasi runtuh, keunggulan militer kehilangan pembenaran moralnya.
Meningkatnya pengakuan Palestina oleh lebih dari 20 negara Eropa bukan kebetulan. Ia adalah hasil akumulasi tekanan pengetahuan, konsistensi narasi, dan kerja panjang masyarakat sipil global. Opini publik internasional bergerak, dan Israel mulai kehilangan pijakan moralnya di hadapan dunia.
Indonesia tidak boleh puas hanya dengan posisi normatif. Dukungan historis terhadap Palestina harus diterjemahkan menjadi kepemimpinan diplomatik yang lebih ofensif dan strategis. Opini publik domestik yang kuat adalah modal utama untuk mendorong langkah tersebut bukan sekadar kecaman, namun tekanan multilapis: politik, ekonomi, dan intelektual.
Kesimpulannya jelas: gencatan senjata tanpa keadilan hanyalah ilusi damai. Selama penjajahan dipertahankan, kekerasan akan selalu menemukan jalannya. Ketika negara-negara besar memilih ambigu, masyarakat sipil justru tampil paling rasional. Solidaritas hari ini bukan sekadar empati, tapi strategi perlawanan yang paling efektif.