Mencermati Pesan dari Pemilu Legislatif Irak
Pemilihan umum legislatif kelima Irak telah berlangsung hari Minggu (10/10/2021). Sementara itu, ada tiga pesan penting dari pemilu parlemen Irak.
Pesan pertama dan terpenting adalah partisipasi dalam pemilihan umum parlemen Irak.
Harus diterima bahwa partisipasi pemilu parlemen kali ini merupakan yang terendah di semua lima pileg Irak. Menurut Komisi Pemilihan Umum Irak, partisipasi rakyat dalam pemilu ini hanya sekitar 41 persen.
Dari lebih dari 21 juta pemilih yang memenuhi syarat, 9.077.779 orang pergi ke tempat pemungutan suara. Ini terlepas dari kenyataan bahwa lebih dari 44% pemilih yang memenuhi syarat berpartisipasi dalam pemilu parlemen 2018.
Partisipasi pemilih terendah sebagian besar disebabkan oleh ketidakpuasan publik terhadap situasi ekonomi dan keputusasaan mereka akan perubahan melalui kotak suara.
Baca juga: Moqtada Sadr: Koruptor Tersingkir, Irak Menang
Rakyat Irak, yang berjuang dengan tantangan ekonomi dan sosial yang signifikan, terutama pengangguran, kemiskinan dan inflasi, serta kekurangan listrik, melakukan protes pada Oktober 2019 dengan melakukan demonstrasi anti-pemerintah yang menyebabkan jatuhnya pemerintahan Adil Abdul-Mahdi dan kali ini mereka melakukan protes dengan tidak hadir di kotak suara.
Pada saat yang sama, dengan memboikot pemilu, rakyat Irak menunjukkan tidak ada harapan untuk mengubah situasi di negara ini, bahkan melalui perpindahan elit politik. Mereka juga percaya bahwa pemilu tidak akan memperbaiki situasi di negara ini.
Pesan kedua dari pemilu Irak adalah keamanan di seluruh negeri. Pemilihan umum legislatif Irak berlangsung dengan keamanan tinggi.
Sebelum pemilu, pemerintah Irak menutup semua bandara dari Sabtu sore hingga Senin pagi, melarang perjalanan antarprovinsi, serta restoran dan pusat perbelanjaan. Lebih dari 250.000 tentara juga ditugaskan untuk mengamankan pemilu.
Pemilihan umum legislatif kelima Irak telah berlangsung hari Minggu (10/10/2021). Sementara itu, ada tiga pesan penting dari pemilu parlemen Irak.
Keputusan ini mengarah pada penyelenggaraan pemilu dalam situasi yang aman, padahal masih ada ancaman teroris di Irak. Selain itu, penyelenggaraan pemilu dalam situasi yang aman dengan lebih sedikit masalah keamanan menunjukkan bahwa lingkungan di Irak telah berubah dibandingkan sebelumnya.
Dengan demikian, pemerintah mendatang Irak akan lebih sedikit menghadapi masalah keamanan militer. Namun harus lebih serius memperhatikan masalah keamanan sosial yang disebabkan oleh ketidakpuasan rakyat.
Pesan ketiga dari pemilihan umum parlemen Irak terkait dengan hasil. Menurut hasil penghitungan sementara, diumumkan bahwa Sairun dan al-Fatah, yang memenangkan kursi terbanyak pada 2018, mengalami penurunan jumlah peraihan kursi dalam pemilihan ini.
Meskipun menurut hasil penghitungan sementara dan tidak resmi, koalisi Sairun pimpinan Muqtada al-Sadr akan terus memegang kursi terbanyak di parlemen, tetapi dengan penghitungan sekitar 94 persen suara, sejauh ini Sairun hanya berharil meraih 41 suara. Sementra mereka sempat meraup 54 kursi dalam Pileg 2018.
Para analis percaya bahwa jika jumlah pemilih lebih dari 50 persen, koalisi Sairun juga tidak akan memenangkan kursi terbanyak. Dengan kata lain, berkurangnya partisipasi pemilih dalam pemilu parlemen kali ini justru menguntungkan Sadr.
Hal lain yang ditunjukkan oleh hasil pemilu parlemen adalah tidak ada arus yang dapat membentuk fraksi Akbar atau fraksi yang lebih besar.
Pada saat yang sama, pembentukan fraksi Akbar akan sulit mengingat hasil tidak resmi yang diumumkan. Karena faksi-faksi besar gagal memenangkan kursi yang signifikan dan beberapa kelompok harus membentuk koalisi untuk membentuk faksi Akbar.
Oleh karena itu, proses pencalonan Perdana Menteri baru dapat diperkirakan tidak berlangsung segera setelah pembentukan parlemen baru.