Transformasi Asia Barat, 26 Februari 2022
Perkembangan di negara-negara Asia Barat pekan lalu diwarnai sejumlah isu penting seperti Hizbullah: AS Tinggalkan Ukraina Sendirian, Begitu Juga Sekutunya di Lebanon.
Selain itu, masih ada isu lain seperti Menlu Saudi Akui Perang Yaman di Luar Prediksi Riyadh, Ganti Rugi Lunas, Nama Irak Dihapus dari Pasal 7 Piagam PBB, Suriah Dukung Keputusan Rusia Akui Luhansk dan Donetsk, Kabinet Rezim Zionis Terancam Bubar, Emir Qatar: Kami Berharap Hak Penggunaan Nuklir Damai Dijamin, Kemlu Bahrain Ungkap Alasan Kehadiran Personil Mossad di Negaranya, Sekjen Hizbullah: Kehancuran Rezim Zionis Tinggal Waktu Saja ! Saudi Kesal Gara-Gara Jerman Tolak Jual Senjata.
Hizbullah: AS Tinggalkan Ukraina Sendirian, Begitu Juga Sekutunya di Lebanon
Ketua Dewan Eksekutif Hizbullah Lebanon mengatakan, keputusan sebagian pihak untuk bertumpu pada dukungan Amerika Serikat adalah sebuah kesalahan, dan masalah Ukraina kembali membuktikan hal ini.
Sayid Hashem Safieddine, Jumat (25/2/2022) seperti dikutip situs Al Ahed News menuturkan, perkembangan terbaru konflik Rusia dan Ukraina adalah bukti lain bahwa AS selalu meninggalkan sekutunya sendirian.
Ia menambahkan, terbebasnya Lebanon dan kawasan Asia Barat dari seluruh bencana, hanya akan bisa terwujud jika kebebasan hakiki dari hegemoni AS diperoleh.
Menurut Sayid Hashem Safieddine, AS ketika sadar kepentingannya terancam, maka ia akan berpaling, dan melindungi kepentingannya sendiri, bahkan akan meninggalkan mereka yang sudah dijanjikan akan didukung dan bekerja sama.
"Setelah memprovokasi Ukraina, AS dan barat sekarang meninggalkan Ukraina sendirian. Presiden AS Joe Biden setelah melihat bahwa situasi serius, mengumumkan tidak akan terlibat dalam perang," imbuhnya.
Sayid Safieddine menegaskan, "Ini realitas sebenarnya AS, sebagaimana kita saksikan di Lebanon. AS beberapa kali meninggalkan sendirian orang-orang yang sudah diberi janji atau ditipunya. Mereka diseret ke neraka fitnah di Lebanon, kemudian ditinggalkan."
Menlu Saudi Akui Perang Yaman di Luar Prediksi Riyadh
Menteri luar negeri Saudi mengatakan negaranya berharap perang di Yaman tidak akan berlangsung lama, tetapi perang itu terlalu lama.
Menteri Luar Negeri Arab Saudi, faisal bin Farhan Al Saud dalam sebuah wawancara dengan kantor berita Jerman yang diterbitkan pada Rabu (23/2/2022) malam mengakui bahwa serangan militer Saudi di Yaman bertujuan untuk melindungi pemerintah terguling Mansour Hadi, tetapi faktanya tidak seperti yang diharapkan Riyadh yang menelan waktu lama.
Tanpa menyebutkan invasi militer Saudi terhadap Yaman yang dimulai pada Maret 2015 berlanjut hingga hari ini, Bin Farhan mengklaim langkah militer Arab Saudi diambil untuk menemukan proses politik demi menyelesaikan krisis.
Pada wawancara tersebut, menlu Saudi juga menyalahkan Pemerintah Penyelamatan Nasional Yaman, karena meningkatkan ketegangan dengan melancarkan perlawanan terhadap operasi militer yang dipimpin Riyadh, bahkan membebaskan daerah-daerah yang dikendalikan oleh koalisi Saudi dan tentara bayarannya, seperti Marib.
Perang Yaman sekarang berada pada titik kritis, karena tentara dan komite rakyat Yaman telah menguasai medan tempur di berbagai bidang, termasuk di Yaman tengah dan barat.
Invasi militer tujuh tahun yang dilancarkan koalisi Arab-Amerika pimpinan Saudi terhadap Yaman berbalik menjadi mimpi buruk bagi Riyadh, dengan munculnya aksi balasan serangan drone dan rudal dari arah Yaman.
Arab Saudi, dengan dukungan Amerika Serikat, UEA dan beberapa negara lain melancarkan invasi militer ke Yaman sejak Maret 2015 dan memblokade daerah darat, laut dan udara negara tetangganya itu.
Pecahnya perang yang dikobarkan Arab Saudi dan sekutunya di Yaman sejauh ini telah menewaskan ratusan ribu warga Yaman, melukai puluhan ribu dan membuat jutaan warga Yaman mengungsi.
Sebagai aksi balasan, pasukan Yaman telah berulang kali menargetkan berbagai bagian Arab Saudi dan UEA dan mencapai kemenangan signifikan di medan perang dengan koalisi Saudi.
Ganti Rugi Lunas, Nama Irak Dihapus dari Pasal 7 Piagam PBB
Menteri Luar Negeri Irak Fuad Hussein mengatakan Irak telah keluar dari ketentuan Pasal 7 Piagam PBB.
Pemerintah Irak pada hari Senin meminta Dewan Keamanan PBB untuk mencabut sanksi yang terkait dengan Pasal 7 Piagam PBB.
"Irak hari ini membuka kembali lembaran penting dari sejarahnya yang berlangsung lebih dari 30 tahun," kata Hussein dalam pidatonya di Dewan Keamanan PBB pada Rabu (23/2/2022) seperti dikutip laman Farsnews.
Dia menambahkan sebuah lembaran baru telah dimulai dalam sejarah diplomatik, politik, dan ekonomi Irak, lembaran yang akan memperkuat peran regional dan internasionalnya.
"Baghdad telah memenuhi semua kewajiban internasionalnya di bawah resolusi PBB dan membayar ganti rugi 52,4 miliar dolar secara penuh," tambahnya.
PBB pada Mei 1991 memerintahkan pemerintah Irak, yang saat itu diperintah oleh mantan diktator Saddam Hussein, untuk membayar ganti rugi 52,4 miliar dolar setelah menginvasi Kuwait.
Ganti rugi ini diberikan kepada pemerintah Kuwait dan pihak lain yang terkena dampak invasi militer Irak dan pendudukan negara tersebut.
Suriah Dukung Keputusan Rusia Akui Luhansk dan Donetsk
Wakil Menteri Luar Negeri Suriah, Bashar al-Jaafari mengatakan Damaskus mendukung pengakuan kemerdekaan Luhansk dan Donetsk oleh Rusia.
Presiden Vladimir Putin menyatakan pada Senin malam bahwa Rusia mengakui kemerdekaan Republik Rakyat Donetsk dan Luhansk serta menandatangani perjanjian kerja sama dan persahabatan dengan para pemimpin republik tersebut di Kremlin.
Menlu Suriah menuturkan dalam sebuah pernyataan bahwa pemerintah Damaskus mendukung pengakuan kemerdekaan Luhansk dan Donetsk oleh Presiden Vladimir Putin, karena ini terkait dengan keamanan nasional Rusia.
"Keamanan nasional Rusia adalah garis merah Suriah, dan Rusia mendukung kemerdekaan dua republik yang memproklamirkan diri berdasarkan sikap berprinsipnya," tegasnya seperti dilansir kantor berita Suriah (SANA), Rabu (23/2/2022).
Damaskus juga mengumumkan kesiapannya untuk menjalin hubungan dengan dua republik yang memproklamirkan diri itu.
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Suriah Faisal al-Miqdad dalam sebuah pidato, menyatakan dukungan atas kemerdekaan Luhansk dan Donetsk yang telah memisahkan diri dari Ukraina.
Kabinet Rezim Zionis Terancam Bubar
Salah satu menteri di kabinet rezim Zionis mengumumkan pengunduran dirinya yang menempatkan Perdana Menteri Israel Naftali Bennett menghadapi beberapa tantangan, bahkan ancaman pembubarannya.
Eli Avidar, menteri dari partai sayap kanan Israel, Yisrael Beiteinu mengumumkan pengunduran dirinya dari kabinet Bennett dalam konferensi pers hari Selasa (2/2/2022).
Ini adalah pengunduran diri pertama di kabinet Naftali Bennett, Perdana Menteri rezim Zionis, tapi berpotensi memicu gelombang pengunduran diri selanjutnya.
Avidar mengecam keras kabinet Bennett atas kinerjanya, dengan mengatakan, "Saya seharusnya mengundurkan diri tiga bulan lalu ketika menjadi jelas bahwa kabinet tidak bermaksud untuk menunjuk saya sebagai menteri ntelijen."
"Bennett tidak bermaksud untuk mengimplementasikan perjanjian berkala yang dia tandatangani dengan Yair Lapid," tegasnya.
Dengan pengunduran diri ini, Eli Avidar akan kembali ke Knesset.
Partai Likud pimpinan Benjamin Netanyahu tidak akan pernah mengambil bagian dalam pemungutan suara untuk meloloskan RUU yang diusulkan oleh kabinet Bennett, setelah Menteri Perang Israel Benny Gantz hari Senin mengumumkan awal dari jatuhnya kabinet Bennett.
Dalam keadaan seperti ini, sumber-sumber Zionis melaporkan krisis lain di kabinet Bennett.
Surat kabar berbahasa Ibrani Haaretz menulis bahwa pengunduran diri Eli Avidar dan kembalinya dia ke Knesset diperkirakan akan menjadi masalah besar lainnya bagi koalisi 61 anggota yang terdiri dari 120 anggota di Knesset, sehingga sulit untuk membentuk koalisi mayoritas. Bahkan, pengunduran diri Avidar menambah krisis di kabinet Bennett.
Emir Qatar: Kami Berharap Hak Penggunaan Nuklir Damai Dijamin
Emir Qatar dalam konferensi pers bersama dengan Presiden Republik Islam Iran mengatakan, Doha berharap dicapai kesepakatan yang didukung oleh semua pihak di Wina.
Presiden Iran, Sayid Ebrahim Raisi, Senin (21/2/2022) dalam lawatannya ke Doha, bertemu dengan Emir Qatar, Syeikh Tamim bin Hamad Al Thani.
Dikutip stasiun televisi Al Jazeera, Emir Qatar dalam jumpa pers bersama dengan Presiden Iran mengumumkan bahwa pihaknya berharap lawatan Presiden Iran membuka fase baru dalam hubungan dua negara.
"Sejumlah nota kesepahaman dan kesepakatan antara Iran dan Qatar ditandatangani dalam momen kunjungan Presiden Raisi ke Doha," ujarnya.
Emir Qatar menambahkan, "Kami membicarakan masalah regional dan internasional yang penting bagi Qatar dan Iran, terutama masalah keamanan dan stabilitas regional. Kami menekankan bahwa dialog adalah metode terbaik untuk menyelesaikan konflik dan menghadapi tantangan."
Menurut Syeikh Tamim bin Hamad, dirinya mendapat informasi seputar perundingan pencabutan sanksi Iran di Wina, dan Doha berharap segera dicapai kesepakatan yang didukung seluruh pihak, dan berharap hak negara-negara dunia untuk menggunakan energi nuklir secara damai bisa dijamin.
Kemlu Bahrain Ungkap Alasan Kehadiran Personil Mossad di Negaranya
Wakil Menteri Luar Negeri Bahrain mengumumkan kehadiran personil Dinas Intelejen Rezim Zionis, Mossad di negaranya.
Televisi Al-Mayadeen melaporkan, Wakil Menteri Luar Negeri Bahrain Abdullah bin Ahmed Al-Khalifa hari Senin (21/2/2022) mengatakan bahwa Mossad hadir di Bahrain sebagai bagian dari kerja sama keamanan dan intelijen dengan antara negaranya dengan rezim Zionis.
"Personil Mossad hadir di negara ini sebagai bagian dari kerja sama keamanan antara Bahrain dan Israel yang mengarah pada upaya mewujudkan keamanan dan stabilitas yang lebih besar. Kerja sama keamanan dan intelijen dengan Israel juga merupakan bagian dari kemitraan kami," ujar Wakil Menlu Bahrain.
Pejabat tinggi Israel, termasuk Perdana Menteri Rezim Zionis Naftali Bennett dan Menteri Perang Israel Benny Gantz, baru-baru ini mengunjungi ibu kota Bahrain, Manama.
Menteri Perang Israel telah menandatangani perjanjian keamanan dengan Manama selama pertemuan dengan timpalannya dari Bahrain, Abdullah bin Hassan Al-Naimi.
Perjanjian yang ditandatangani pertama kali sejak normalisasi hubungan kedua belah pihak pada 11 September 2020 itu akan meningkatkan kerja sama keamanan strategis antara Bahrain dan Tel Aviv.
Bahrain dan rezim Zionis secara resmi menandatangani perjanjian normalisasi di Gedung Putih pada 15 September 2020, melalui mediasi mantan Presiden AS Donald Trump.
Kompromi itu terjadi di saat ribuan warga Bahrain turun ke jalan Jumat sore lalu untuk mengutuk kunjungan pejabat Israel ke negaranya.
Sekjen Hizbullah: Kehancuran Rezim Zionis Tinggal Waktu Saja !
Sekretaris Jenderal Hizbullah Lebanon, Sayid Hassan Nasrullah menyebut kemenangan Revolusi Islam Iran yang dipimpin oleh Imam Khomeini sebagai keajaiban yang mempengaruhi dunia, dan kehancuran rezim Zionis tinggal masalah waktu saja.
Revolusi Islam Iran yang dipimpin oleh Imam Khomeini meraih kemenangan pada 11 Februari 1979.
Sayid Hassan Nasrullah pada peringatan kesyahidan Sayid Abbas Mousavi, mantan Sekretaris Jenderal Hizbullah Lebanon Rabu (23/2/2022) malam menyinggung keberhasilan Imam Khomeini memimpin Revolusi Islam menggulingkan rezim despotik Pahlevi, serta mengusir Amerika Serikat dan rezim Zionis dari Iran.
"Revolusi Islam Iran adalah simbol keajaiban," ujar Sekjen Hizbullah Lebanon.
"Selama kemenangan Revolusi Islam di Iran, seluruh dunia sejalan dengan gerakan Imam Khomeini," tegas Nasrullah.
Sekjen Hizbullah Lebanon juga menekankan bahwa rezim Zionis bersifat sementara dan akan tumbang, oleh karena itu mendukung usulan yang berkembang di dunia maya untuk menggunakan istilah "rezim sementara" bagi Israel.
Sekjen Hizbullah Lebanon menilai masalah kehancuran Israel hanya tinggal waktu saja.
"Situasi internal rezim Zionis dan perkembangan internasional semuanya mengarah pada kehancuran Israel, dan kami adalah bagian dari proses ini. Kami berada dalam situasi yang pasti akan datang," papar Nasrullah.
"Tujuan sebenarnya dari perlawanan, keadilan dan perdamaian untuk melindungi rakyat, membela kebebasan, tanah air, bangsa dan nilai-nilai yag dijunjung tinggi," ungkap Sekjen Hizbullah.
Sheikh Naeem Qasim, Wakil Sekretaris Jenderal Hizbullah di Lebanon, sebelumnya pernah menyebut pengaruh pemikiran Imam Khomeini, pendiri Republik Islam Iran, terhadap pembentukan gerakan perlawanan di Lebanon.
Saudi Kesal Gara-Gara Jerman Tolak Jual Senjata
Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Faisal bin Farhan Al Saud mengatakan ia tidak mengerti logika Jerman yang tidak mau menjual senjatanya ke Saudi.
Selama dipimpin Kanselir Angela Merkel, pemerintah Jerman membatalkan sebagian besar ekspor senjata ke Saudi pada November 2018, di mana salah satu yang menjadi pertimbangan adalah intervensi negara itu dalam perang Yaman.
"Saudi membutuhkan senjata untuk mempertahankan diri dari serangan Houthi dari negara tetangga, Yaman. Kami memiliki tugas untuk melindungi negara kami," kata Faisal bin Farhan, seperti dilaporkan surat kabar al-Quds al-Arabi, Rabu (23/2/2022).
Dia mencatat bahwa Riyadh dan Berlin menjalin kerja sama jangka panjang dan baik di bidang senjata.
"Larangan (ekspor) senjata ini mengirimkan sinyal yang sangat salah,” kata Faisal bin Farhan di sela-sela Konferensi Keamanan Munich.
"Kita akan menemukan apa yang kita butuhkan, baik di Jerman atau di tempat lain," tegasnya.
Pemerintah baru Jerman, yang dipimpin oleh Olaf Scholz, juga berniat untuk menempuh kebijakan pelarangan ekspor senjata ke Arab Saudi. Pemerintahan saat ini sedang mempertimbangkan apakah akan mengakhiri pengecualian sebelumnya atau tidak.
Dalam 18 bulan terakhir, antara Januari 2020 dan Juni 2021, 57 kargo senjata senilai 32,7 juta euro dikirim dari Jerman ke Arab Saudi.