Mengingat Kembali Kejahatan Israel di Kamp Jenin Tahun 2002
Pada akhir bulan Maret 2002, pasukan rezim Zionis Israel melancarkan serangan besar-besaran ke wilayah Palestina di bawah perintah Perdana Menteri (PM) Ariel Sharon yang terkenal kejam dan dibenci.
Serangan ini merupakan operasi militer terbesar di wilayah ini sejak tahun 1967. Tentara Zionis menyerang Ramallah, Tulkarem, Qalqilya, Nablus, Bethlehem dan Jenin.
Tujuan agresi tersebut adalah untuk mengendalikan pusat-pusat populasi penting di Tepi Barat. Dari tanggal 3-17 April 2002, tentara Israel menyerang kamp pengungsi Jenin atas perintah Ariel Sharon, PM saat itu.
Pasukan Israel dengan 150 tank, pengangkut personel lapis baja, helikopter tempur, dan pesawat tempur F-16, bersama dengan 2 batalion infanteri, tim komando, dan 12 buldoser lapis baja, menyerang dan menghancurkan kamp Jenin dalam pertempuran perkotaan yang sengit.
Dalam pertempuran ini, 52 warga Palestina gugur dan 23 tentara Zionis tewas. Menurut Human Rights Watch Perserikatan Bangsa-Bangsa, 22 dari 52 warga Palestina yang gugur, adalah warga sipil.
Laporan Amnesty International mengenai pembantaian ini menyatakan, "Selama perang ini, penduduk Palestina, jurnalis Palestina dan asing serta lainnya yang berada di luar kamp, menyaksikan ratusan rudal ditembakkan ke rumah-rumah di kamp Jenin dari helikopter tempur yang menyerang bertubi-tubi. Pemandangan tembakan rudal ke arah kamp pengungsi Jenin membuat para saksi serangan udara ini, termasuk pakar militer dan media, meyakini bahwa sejumlah besar warga Palestina telah terbunuh. Pengepungan ketat di sekitar kamp pengungsi dan rumah sakit utamanya dari tanggal 4-17 April membuat dunia luar tidak dapat mengetahui apa yang terjadi di dalam kamp tersebut."
Dalam laporannya, Amnesty International juga mendokumentasikan kasus-kasus lain seperti pembunuhan, penggunaan warga Palestina sebagai tameng manusia, penyiksaan dan perlakuan kejam dan tidak manusiawi oleh pasukan Israel dan penghinaan terhadap martabat tahanan Palestina.
Mereka juga mencegah para tahanan Palestina untuk mengakses makanan dan air, dan menghampat bantuan medis dan kemanusiaan ke kamp Jenin. Selain itu, militer Israel juga merusak properti dan infrastruktur perkotaan.
Jennifer Loewenstein, seorang profesor universitas, aktivis politik dan jurnalis independen, yang dikirim ke kamp Jenin oleh Pusat Hak Asasi Manusia pada musim semi tahun 2002, menulis dalam laporannya mengenai isu ini dan ketidakpedulian media terhadap pembantaian di kamp tersebut.
Dia menulis, "Awalnya saya tidak tahu apakah saya sudah menemukan tujuan yang tepat atau belum. Di depanku ada pemandangan reruntuhan. Saya ingat, saya bertanya kepada seorang lelaki tua, di mana letak kamp pengungsi? Dia menatapku dan menunjuk ke reruntuhan dengan tangannya, dan berkata, 'Al-Makhim! (Kamp!). Saat itulah saya memahami betapa dahsyatnya kehancuran kamp tersebut. Saya berjalan dari satu tumpukan puing-puing ke tumpukan lainnya, dan sering kali, bahkan tidak mengerti apa yang saya lihat. Tanahnya berlumpurm dan orang-orang, termasuk perempuan dan anak-anak, berusaha menyelamatkan harta benda, membuka jalan di sekitar bangunan-bangunan yang runtuh untuk membantu tim-tim medis darurat masuk, dan mencari para korban di antara reruntuhan."
Jennifer menambahkan, "Bau kematian sangat menyengat di kamp. Saya mendengar orang-orang berbicara tentang 'bau kematian yang mengerikan' namun saya belum pernah mengalami hal seperti itu sampai saat itu. Saya menjauhkan diri dari kerumunan, dan naik ke pelataran yang menghadap ke area belakang rumah sakit. Di sana, staf-staf rumah sakit membungkus jenazah dengan kain putih dan membaringkannya di lantai di bawah sinar matahari. Di balik deretan jenazah ini, kuburan digali dengan tergesa-gesa agar jenazah yang meninggal tidak menimbulkan penyakit."
"Meski pelaku kejahatan dan bencana ini tidak ingin ada yang merekam apa yang dilakukan buldoser, senjata, dan bom mereka, namun saya dan beberapa jurnalis asing melihat dampak tragedi ini. Jelas sekali, para penyerang tidak ingin orang asing mengetahui bahwa listrik, air, makanan, dan peralatan medis tidak disediakan, dan tidak seorang pun diperbolehkan masuk atau keluar. Mereka tidak ingin ada yang tahu bagaimana tentara Israel membakar foto-foto keluarga, dan buang air kecil dan besar di panci dan wajan dapur warga Palestina, serta merobek-robek mainan anak-anak Palestina, dan setelah semuanya selesai, sekelompok dari mereka tertawa dan makan es krim," tulis Jennifer.
Jurnalis independen itu melanjutkan, "Organisasi bantuan dan penyelamatan tidak dapat mengirimkan kargo kemanusiaan apa pun untuk membantu warga yang terkepung di sana. Tidak ada rekaman yang direkam mengenai rumah sakit kamp dan korban lukanya. Tidak ada rekaman tentang bangunan-bangunan rumah yang dibom, dan tidak ada rekaman tentang seorang komentator yang tidak mampu menahan air mata di depan kameranya. Tidak ada foto anak-anak yang menempel pada ibu mereka karena ketakutan. Sebaliknya, solidaritas diungkapkan kepada Zionis. Absurditas ekstrim ini terjadi ketika raksasa media datang ke Yerusalem dan Tel Aviv untuk berjabat tangan dan menyatakan solidaritas terhadap para pelaku bencana."
Jenin dilupakan. Peristiwa ini terjadi 20 tahun yang lalu, dan sejak itu hingga sekarang, operasi-operasi yang lebih mengerikan terjadi di Jalur Gaza. Oleh karena itu, mengingat tragedi-tragedi tersebut menjadi semakin penting karena perlawanan besar-besaran global terhadap kolonialisme global dimulai dengan mengingat tragedi dan kejahatan sebelumnya.
Mengingat kejahatan-kejahatan tersebut mendorong dan memobilisasi ketidakpuasan global. Jika media berita gagal dalam tugasnya memantau pusat-pusat kekuatan karena kepatuhan mereka terhadap pemerintah-pemerintahya, maka merupakan tanggung jawab kita semua untuk memperbaiki kegagalan tersebut.
Dan terakhir, Jenin menjadi simbol perjuangan yang terlupakan. Mengingat tragedi Jenin, atau kejahatan apa pun yang terlupakan, merupakan bentuk perlawanan. Menelaah masa lalu dan keinginan untuk mengubah masa kini adalah langkah awal untuk aksi masyarakat dan harapan masa depan. (RA)