Apakah Penerbangan Mencurigakan dari Gaza Awal dari Fase baru Pengungsian Paksa?
Pars Today – Lebih dari 150 warga Palestina yang tinggal di Gaza dipindahkan ke Afrika Selatan dengan sebuah penerbangan yang mencurigakan dari Gaza; sementara itu, para pejabat Afrika Selatan menyatakan tidak mengetahui hal tersebut dan penyelidikan masih berlangsung.
Bersamaan dengan meningkatnya laporan mengenai perpindahan-perpindahan mencurigakan di Gaza, sekitar 150 warga Palestina asal Gaza dipindahkan dengan sebuah penerbangan dari Gaza menuju Afrika Selatan. Cyril Ramaphosa, Presiden Afrika Selatan, menyatakan bahwa dinas intelijen negara tersebut tengah menyelidiki kedatangan misterius sebuah pesawat carter ke Johannesburg yang membawa lebih dari 150 warga Palestina dari Gaza.
Pejabat setempat mengatakan bahwa kelompok tersebut tiba di Bandara Internasional O. R. Tambo, namun pada awalnya mereka dicegah untuk masuk dan lebih dari 10 jam tertahan di dalam pesawat karena tidak terdapat cap keluar yang lazim pada paspor mereka. Pada akhirnya, dengan campur tangan sebuah lembaga amal lokal dan karena rasa empati serta kepedulian pemerintah Afrika Selatan, mereka diizinkan untuk masuk.
Kedutaan Palestina di Afrika Selatan dalam sebuah pernyataan menyatakan bahwa penerbangan tersebut diatur oleh sebuah organisasi yang tidak terdaftar dan menyesatkan.
Penerbangan misterius yang membawa lebih dari 150 warga Palestina dari Gaza ke Afrika Selatan, yang dilakukan tanpa dokumen keluar resmi dan cap paspor yang lazim, bukan sekadar sebuah insiden sederhana, melainkan bagian dari kebijakan yang mendalam dan jangka panjang mengenai pemindahan paksa warga Palestina yang telah dijalankan Israel selama beberapa dekade dan kini tengah dilaksanakan dengan dukungan para sekutunya.
Rezim Zionis memiliki berbagai motivasi dalam upaya memaksa warga Palestina di Gaza untuk hijrah, yang salah satu yang terpenting adalah mengurangi jumlah penduduk Palestina di Gaza dan Tepi Barat. Pendekatan ini dianggap sebagai bagian dari rencana yang lebih luas untuk mengubah komposisi demografis demi keuntungan Tel Aviv; suatu rencana yang bertujuan mengurangi bobot demografis warga Palestina di wilayah-wilayah pendudukan. Dalam kerangka ini, pemindahan paksa penduduk berfungsi sebagai alat yang mempermudah pelaksanaan program permukiman dan perluasan kehadiran Israel di tanah-tanah pendudukan.
Selain itu, berkurangnya keberadaan demografis warga Palestina membuka ruang bagi pengembangan proyek-proyek yang selama ini menghadapi penolakan keras dari masyarakat lokal maupun komunitas internasional, serta memungkinkan eksploitasi yang lebih besar atas tanah dan sumber daya. Meskipun proses seperti ini secara langsung bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum internasional dan dalam banyak dokumen global dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia, para pejabat Tel Aviv tetap menjadikannya bagian dari agenda mereka.
Di sisi lain, kebijakan ini memberi Israel kesempatan untuk di tingkat internasional menggambarkan krisis kemanusiaan Gaza sebagai “masalah migrasi” dan menutupi tanggung jawabnya terhadap blokade dan pendudukan. Sesungguhnya, pemindahan paksa warga Palestina ke negara-negara lain merupakan bagian dari strategi yang dianggap Israel sebagai solusi senyap bagi masalah Palestina; sebuah solusi yang tanpa banyak sorotan, namun dengan konsekuensi yang mendalam, mengubah peta demografis kawasan.
Kebijakan ini tentu memiliki sejarah panjang. Sejak Hari Nakba pada tahun 1948 ketika lebih dari 700 ribu warga Palestina diusir secara paksa dari rumah mereka dan mengungsi ke negara tetangga, hingga perang berukutnya yang menghasilkan gelombang-gelombang baru pengungsian, Israel selalu berupaya dengan berbagai cara untuk memisahkan warga Palestina dari tanah mereka. Kebijakan ini selalu muncul dalam bentuk berbagai rencana dan program dari pihak Israel, sedemikian rupa sehingga dalam bulan-bulan terakhir bahkan secara resmi mendapat dukungan dari Trump, Presiden Amerika Serikat. Namun masalah utama dari sudut pandang Tel Aviv adalah perlawanan rakyat Palestina dan penegasan mereka atas hak kepemilikan tanah mereka, serta tidak adanya dukungan dari negara-negara lain terhadap rencana pemindahan paksa warga Palestina.
Sejak kebijakan pemindahan paksa secara terang-terangan dikemukakan oleh rezim Zionis dan Presiden Amerika Serikat, berbagai negara bukan hanya menolaknya tetapi juga mengecamnya. Oleh karena itu, tampaknya para pejabat Zionis kini berupaya melaksanakan kebijakan tersebut melalui perantara dan secara tidak langsung, dan penerbangan terbaru menuju Afrika Selatan hanyalah contoh baru dari kebijakan lama yang kini dilanjutkan dengan cara yang lebih kompleks dan terselubung.
Dalam kondisi seperti ini, penerbangan samar menuju Johannesburg merupakan sebuah simbol dari proses yang selama bertahun-tahun, baik secara terang-terangan maupun terselubung, terus diikuti. Peristiwa ini menunjukkan bahwa kebijakan pemindahan paksa, meskipun menghadapi penentangan global, tidak hanya belum berhenti, tetapi justru berlangsung dengan metode yang lebih kompleks. Apa yang hari ini tampak dalam bentuk perpindahan-perpindahan misterius dan tidak transparan, pada hakikatnya merupakan upaya untuk menghindari tekanan internasional dan melaksanakan kembali pola lama; pola yang meskipun penuh biaya, tetap gagal melemahkan tekad bangsa Palestina dalam mempertahankan hak alami mereka untuk tetap tinggal di tanah mereka.
Kini, lebih dari kapan pun sebelumnya, tindakan-tindakan seperti ini mengingatkan akan pentingnya pengawasan global dan kepekaan opini publik terhadap upaya-upaya terencana yang bertujuan mengubah struktur demografis Gaza; sebuah upaya yang jika tidak dilawan dapat menimbulkan konsekuensi yang tidak dapat diperbaiki bagi masa depan Palestina dan kawasan. (MF)