Nasib UEA, Dibenci Dunia Islam dan Gagal Dapatkan Senjata AS
(last modified Tue, 01 Dec 2020 14:43:24 GMT )
Des 01, 2020 21:43 Asia/Jakarta
  • Trump dan Mohammed bin Zayed
    Trump dan Mohammed bin Zayed

Amerika Serikat di masa pemerintahan Presiden Donald Trump melakukan transaksi penjualan senjata besar-besaran dengan negara-negara pesisir selatan Teluk Persia khususnya Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab. Di Akhir masa berkuasanya Trump, penjualan senjata ke UEA mencapai puncaknya.

Sekitar 29 lembaga kontrol senjata, dan hak asasi manusia menandatangani surat yang menentang penjualan rudal, jet tempur, dan drone Amerika ke UEA senilai 23 miliar dolar, dan mendesak Kongres Amerika untuk membatalkan kontrak penjualan senjata tersebut.

Dalam surat itu tertulis, penjualan senjata yang sudah direncanakan matang oleh UEA, akan menyebabkan berlanjutnya kerugian bagi warga sipil, dan memperburuk krisis kemanusiaan di negara-negara dilanda konflik semacam Yaman, dan Libya.

Penentangan keras lembaga kontrol senjata, dan HAM atas penjualan senjata Amerika ke UEA, bersumber dari keterlibatan UEA dalam perang Yaman bersama koalisi pimpinan Saudi, dan aksi anti-kemanusiaan serta kejahatan terhadap rakyat Yaman.

Di sisi lain, UEA juga memainkan peran kunci dalam perang saudara di Libya, dengan dukungan-dukungan luas terhadap pasukan Khalifa Haftar yang mengaku sebagai komandan Pasukan Nasional Libya, LNA.

Hingga kini, selain mengirim langsung pasukan ke Libya, UEA juga menggelontorkan jutaan dolar uangnya dalam bentuk senjata untuk membantu Jenderal Haftar.

UEA menjadi negara Arab pertama yang bersedia melakukan normalisasi hubungan dengan rezim Zionis Israel di masa Trump, hal ini menunjukkan ambisi negara itu untuk memiliki persenjataan supercanggih Amerika, semacam jet tempur F-35, dan drone MQ-9 Reaper (Predator B), serta rudal-rudal canggih udara ke udara, dan udara ke darat, senilai lebih dari 23 miliar dolar.

jet tempur F-35

Sebelumnya Amerika menolak menjual jet tempur F-35, dan drone MQ-9 Reaper kepada UEA demi menjaga keunggulan kualitas senjata Israel. Dengan begitu, meski pemerintah Trump sendiri dikarenakan imbalan yang dijanjikan UEA, dan memperhatikan kepentingan industri militernya, sangat ingin melakukan transaksi ini, namun sekarang kurang dari 2 bulan sebelum Trump lengser, 29 lembaga kontrol senjata, dan HAM dunia menentangnya, sehingga nasib transaksi tersebut menjadi suram.

Pada saat yang sama transaksi penjualan senjata besar-besaran Amerika ke UEA juga mendapat penentangan keras dari Kongres.

Bob Menendez, dan Chris Murphy, senator dari Partai Demokrat, dan Rand Paul, senator dari Partai Republik adalah orang-orang yang bermaksud menyusun empat resolusi terpisah di Senat Amerika, dan menjegal rencana Trump menjual persenjataan canggih ke UEA.

Para senator Amerika ini menegaskan bahwa ketergesa-gesaan Trump untuk menjual peralatan militer canggih, menyebabkannya mengabaikan proses pengkajian di Kongres, dan Departemen Luar Negeri Amerika juga tidak mau menjawab pertanyaan seputar dampak berbahaya penjualan senjata ini bagi keamanan nasional.

Masalah lainnya, Joe Biden, presiden terpilih Amerika, diduga punya pandangan negatif terkait Saudi, dan UEA sebagai dua sekutu Washington di pesisir selatan Teluk Persia, dan ia menginginkan redefinisi hubungan Amerika dengan kedua negara itu.

Seth Binder, petugas advokasi di Project on Middle East Democracy (POMED) yang mengkoordinasi 29 lembaga kontrol senjata dan HAM penentang eskpor senjata ke UEA, yang juga akademisi, dan pendukung langkah Biden mengatakan, diharapkan, secara umum rencana penjualan senjata ke UEA, terhenti. Namun jika dalam jangka pendek langkah ini tidak efektif, hal itu memberi pesan kepada Biden, bahwa ada lembaga-lembaga yang menentang pengiriman senjata ke UEA.

Artinya UEA dari dua sisi kalah, di satu sisi, normalisasi hubungan dengan Israel menyebabkan kebencian Dunia Islam terhadapnya, sementara di sisi lain, ia tidak berhasil meraih ambisi menguasai persenjataan canggih Amerika. (HS)

Tags