10 Tahun Kehadiran Militer Arab Saudi di Bahrain
Hanya satu bulan dari meletusnya kebangkitan rakyat Bahrain, Arab Saudi mengirim pasukannya untuk menumpas aksi demonstrasi rakyat di Bahrain.
Kebangkitan rakyat Bahrain menentang rezim Al Khalifa meletus sejak 14 Februari 2011. Setelah meletusnya aksi protes, rezim Al Khalifa meminta bantuan Arab Saudi untuk menumpas protes rakyatnya. Al Saud mengirim pasukannya ke Bahrain dengan kedok pasukan Perisai Jazeera. Padahal pasukan Perisai Jazeera sebuah program untuk melindungi negara-negara anggota Dewan Kerja Sama Teluk Persia (P-GCC) dari agresi asing. Sementara Bahrain menghadapi aksi protes damai dari warganya sendiri.

Satu dekade telah berlalu dari penempatan pasukan Arab Saudi di Bahrain. Kini pertanyaannya adalah apa hasil dari penempatan pasukan tersebut?
Kehadiran militer Arab Saudi di Bahrain, pertama-tama menunjukkan baik rezim Al Khalifa maupun Al Saud merasa ketakutan atas terbentuknya gerakan protes warga di Bahrain. Kejatuhan rezim Al Khalifa dan terbentuknya pemerintahan baru di perbatasan Arab Saudi sama halnya dengan hilangnya satu sekutu dekat Al Saud.
Al Saud dengan menempatkan pasukannya di Bahrain telah mencegah kejatuhan dini rezim Al Khalifa dan bergabungnya rezim ini dengan Hosni Mubarak, Zine El Abidine Ben Ali, Ali Abdullah Saleh dan Muammaf Gaddafi. Meski demikian peristiwa di Bahrain menunjukkan bahwa Al Khalifa untuk jangka panjang tidak akan selamat dari ancaman dan bahaya keruntuhan, tapi tekad revolusioner Bahrain untuk menumbangkan pemerintah malah semakin solid.
Isu lain adalah kehadiran militer Arab Saudi di Bahrain, sebuah penegasan atas keterasingan Al Khalifa di dalam negeri. Al Khalifa berkuasa di Bahrain, namun mereka tidak tercatat sebagai penduduk pribumi. Oleh karena itu, untuk menghadapi protes rakyat, rezim ini menyewa pasukan bayaran asing dan memanfaatkan militer asing.
Dengan demikian, setelah penempatan pasukan Arab Saudi di Bahrain, berbagai faksi dan tokoh Bahrain secara resmi menyatakan negara ini dijajah oleh Arab Saudi. Kondisi ini setelah 10 tahun masih terus berlanjut dan rezim Al Khalifa mengekor kebijakan Riyadh dan tidak memiliki independensi di pengambilan keputusan kebijakan dalam dan luar negeri.
Dampak ketiga dari kehadiran militer Arab Saudi di Bahrain adalah kian sulitnya meraih solusi untuk mengakhiri instabilitas di negara ini. Faktanya, kehadiran militer Saudi di Bahrain telah membuat rakyat negara ini sampai pada kesimpulan bahwa mereka tidak lagi menghadapi rezim Al Khalifa, tapi Al Saud.
Melalui intervensi Arab Saudi di Bahrain, solusi keamanan yakni penumpasan demonstran menjadi prioritas ketimbang solusi politik, yakni dialog dengan demonstran serta struktur politik Bahrain semakin brutal dalam menghadapi gerakan protes, aktivis sipil, Hak Asasi Manusia (HAM) dan para pemimpin agama. Oleh karena itu, legitimasi dan penerimaan rakyat terhadap Al Khalifa semakin tutun dan saat ini rezim ini menghadapi kesulitan serius untuk meraih kesepakatan dengan kubu oposisi.
Mungkin jika tidak ada intervensi militer Al Saud di Bahrain, konflik antara mayoritas warga dan rezim Al Khalifa tidak akan semakin parah, dan terbuka peluang lebar untuk meraih solusi politik. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kehadiran militer Arab Saudi di Bahrain untuk jangka panjang tidak akan menjamin kepentingan Al Khalifa. (MF)