Amerika Tinjauan dari Dalam, 27 November 2021
-
Jend. Kenneth McKenzie, komandan CENTCOM
Dinamika di Amerika Serikat selama sepekan terakhir diwarnai sejumlah isu penting seperti Jenderal AS: Rudal Iran Teruji Hantam Target secara Akurat.
Selain itu, masih ada isu lainnya seperti Pentagon: Kami Tak akan Keluar dari Irak, AS akan Kirim Persenjataan Lebih Besar ke Ukraina, NY Times: AS Peringatkan Israel, Sabotase Nuklir Iran Kontradiktif, AS Terus Pasok Senjata ke Arab Saudi, CIA Peringatkan Intel Rusia soal Sindrom Havana, AS Kirim Kapal Perusak ke Laut Hitam, AS ke Saudi: Ansarullah Tak akan Mundur, Cari Solusi Lain !
Jenderal AS: Rudal Iran Teruji Hantam Target secara Akurat
Salah satu jenderal pasukan Amerika Serikat di kawasan Asia Barat mengakui kemampuan rudal-rudal balistik Iran.
Jenderal Kenneth McKenzie, Kepala Pusat Komando Militer AS di Timur Tengah, CENTCOM, dalam wawancara dengan majalah Time mengatakan, "Apa yang dilakukan Iran dalam 3-5 tahun terakhir adalah membangun platform rudal balistik yang sangat mumpuni."
Ia menambahkan, "Iran bagaimanapun juga telah menunjukkan bahwa rudal-rudalnya memiliki kapabilitas yang teruji dalam menyerang target secara presisi."
Jenderal McKenzie kemudian menyinggung serangan rudal Iran ke pangkalan Amerika Serikat, Ayn Al Assad dan Erbil di Irak pada Januari 2020 silam.
"Iran meluncurkan lebih dari selusin rudal balistik Qiam-1 dan Fateh-313 dari lokasi peluncuran di tiga pangkalan di barat Iran yang menghantam dua pangkalan militer Ayn Al Assad dan Erbil, tempat ratusan tentara AS ditempatkan. Rudal-rudal Iran itu mengubah bangunan, pesawat, dan tempat tinggal menjadi puing-puing yang terbakar. Tidak ada yang tewas tapi 109 tentara AS gegar otak," paparnya.
Menurut Jenderal McKenzie, beberapa rudal Iran itu meledak hanya sekian puluh meter dari target.
Pentagon: Kami Tak akan Keluar dari Irak
Seorang pejabat Departemen Pertahanan Amerika Serikat, Pentagon mengatakan, pasukan AS, setelah operasi-operasi militer mereka berakhir pada 31 Desember 2021, masih akan tetap tinggal di Irak.
Juru bicara Pentagon, Jessica McNulty, Selasa (23/11/2021) seperti dikutip Newsweek menuturkan, sikap AS tidak berubah, dan negara ini tidak bermaksud menarik seluruh pasukannya dari Irak.
Ia menambahkan, "AS akan memegang komitmen yang disepakati pada dialog strategis Irak-AS, termasuk untuk tetap bertahan di Irak hingga akhir tahun 2021 dengan misi militer."
Menurut Jessica McNulty, pasukan AS atas permintaan pemerintah Irak akan tetap berada di negara ini menjalankan tugas sebagai konsultan militer, dan bertukar informasi dengan Baghdad, serta membantu Irak memerangi ISIS.
Pernyataan ini berbeda dengan statemen yang disampaikan Menhan AS Lloyd Austin di Bahrain baru-baru ini. Ia menegaskan hingga akhir tahun 2021 tidak akan ada lagi pasukan AS di Irak yang menjalankan misi militer.
AS akan Kirim Persenjataan Lebih Besar ke Ukraina
Amerika Serikat dikabarkan berusaha mengirim persenjataan lebih banyak ke Ukraina, sebagai respon atas peningkatan ketegangan di perbatasan Ukraina dan Rusia.
Stasiun televisi CNN, Senin (22/11/2021) melaporkan, pemerintah Presiden Joe Biden saat ini sedang mengkaji kemungkinan pengiriman penasihat militer, dan perlatan perang baru termasuk senjata, ke Ukraina.
Dalam beberapa hari terakhir, media-media Amerika Serikat mengutip pejabat intelijen negara ini mengklaim bahwa Rusia bermaksud menyerang Ukraina pada pertengahan musim dingin tahun ini.
Menurut sejumlah sumber terpercaya, bantuan militer baru AS untuk Ukraina mencakup rudal anti-tank dan rudal anti-kendaraan lapis baja baru Javelin, dan mortir.
Selain itu AS juga sedang mengkaji pengiriman sistem pertahanan udara seperti rudal Stinger. Di sisi lain Departemen Pertahanan AS bersikeras untuk mengirim beberapa peralatan tempur seperti helikopter Mi-17 ke Ukraina.
AS menuduh Rusia akan memasukan sekitar 100.000 tentaranya ke Ukraina dari Krimea, dan perbatasan Belarus, untuk ditempatkan di lokasi-lokasi yang sulit dijangkau, dan bersiap menduduki sejumlah luas wilayah Ukraina untuk jangka panjang.
NY Times: AS Peringatkan Israel, Sabotase Nuklir Iran Kontradiktif
Surat kabar Amerika Serikat, New York Times mengabarkan peringatan pemerintah Washington kepada rezim Zionis Israel bahwa serangan ke fasilitas nuklir Iran "tidak konstruktif", justru menyebabkan percepatan program nuklir Iran.
NY Times, Minggu (21/11/2021) menulis, "Dalam 20 bulan lalu agen intelijen Israel meneror ilmuwan nuklir senior Iran, dan menciptakan ledakan-ledakan besar di empat fasilitas nuklir serta rudal Iran, dengan harapan sentrifugal-sentrifugal produsen bahan bakar nuklir lumpuh, karena mungkin saja suatu hari nanti Iran mampu menciptakan bom, namun pejabat intelijen AS, dan inspektur internasional mengatakan, Iran kembali menghidupkan program nuklirnya dengan cepat yang sebagian besar dengan pemasangan mesin-mesin baru, sehingga Tehran dapat mengayakan uranium dengan kecepatan yang luar biasa."
Menurut NY Times, pejabat AS memperingatkan sejawatnya dari Israel bahwa serangan terus menerus ke fasilitas nuklir Iran mungkin dari sisi taktik membuahkan hasil, tapi serangan-serangan ini pada akhirnya akan memberikan hasil yang kontradiktif.
Menanggpi peringatan ini, pejabat Israel mengaku tidak akan mengurangi aksi-aksi tersebut, dan mengabaikan peringatan-peringatan kemungkinan bahwa aksi-aksi semacam ini dapat mempercepat rekonstruksi program nuklir Iran.
AS Terus Pasok Senjata ke Arab Saudi
Data dari Departemen Pertahanan AS mengungkapkan bahwa pengiriman senjata Amerika ke Arab Saudi terus berlanjut meskipun Presiden Joe Biden mengaku telah menghentikan dukungannya terhadap perang Yaman.
Data dari Departemen Pertahanan AS, yang dikutip oleh MintPress News, Minggu (21/11/2021) mengungkapkan aliran senjata AS yang terus berlanjut ke Saudi sejak dimulainya agresi di Yaman.
Sebuah penyelidikan menunjukkan kontrak senjata senilai sekitar 28,4 miliar dolar ditandatangani sejak Maret 2015, termasuk sekitar 20 kontrak yang disetujui oleh pemerintahan Biden tahun ini, senilai 1,2 miliar dolar.
Arab Saudi menghabiskan sekitar 34 miliar dolar untuk membeli senjata dari pihak lain pada periode yang sama. Dengan demikian, belanja militer Saudi dari perusahaan AS diperkirakan mencapai 63 miliar dolar sejak agresinya di Yaman.
Baru-baru ini, tiga anggota Senat AS, Rand Paul, Mike Lee, dan Bernie Sanders, menyatakan sekelompok senator menentang penandatanganan kesepakatan senjata pemerintahan Biden dengan Riyadh.
Patut dicatat bahwa kesepakatan itu, yang telah disetujui oleh Departemen Luar Negeri AS, mencakup 280 rudal canggih udara-ke-udara jarak menengah AIM-120C-7/C-8 dan 596 peluncur rudal serta amunisi lain.
Penjualan juga termasuk peralatan pendukung, suku cadang, dan dukungan teknik dan teknis yang disediakan oleh pemerintah dan kontraktor AS.
Pada 4 Februari 2021, Presiden Joe Biden mengumumkan bahwa ia telah menghentikan dukungan AS untuk perang Saudi di Yaman.
CIA Peringatkan Intel Rusia soal Sindrom Havana
Direktur Dinas Intelijen Pusat Amerika Serikat, CIA memberikan peringatan keras kepada pejabat intelijen Rusia dalam lawatannya ke Moskow. Menurutnya, jika terbukti berada di balik Sindrom Havana yang menjangkiti sejumlah diplomat dan mata-mata AS, mereka akan menerima konsekuensinya.
William J. Burns, Rabu (24/11/2021) seperti dikutip Washington Post mengatakan, penderitaan yang dirasakan oleh para diplomat AS dan keluarga mereka di luar batas perilaku yang dapat diterima dari personel intelijen.
Meski Direktur CIA tidak menuduh langsung Rusia berada di balik fenomena misterius Sindrom Havana, namun langkah Burns mengangkat kasus sindrom ini menggambarkan kecurigaan pejabat AS terhadap Rusia.
Di sisi lain pemerintah Rusia berulangkali membantah pihaknya berada di balik Sindrom Havana yang telah menjangkiti beberapa diplomat AS tersebut. Sementara Direktur CIA mengaku pihaknya sudah meningkatkan upaya untuk menemukan penyebab, dan pihak yang bertanggung jawab atas sidrom ini.
Ketidakmampuan pemerintah AS mengungkap misteri Sindrom Havana, sampai sekrang telah menyebabkan ratusan pejabat Washington kebingungan, dan mengakibatkan pejabat yang bertugas menangani sindrom ini di Departemen Luar Negeri dipecat.
Sejak tahun 2016 sampai sekarang tercatat lebih dari 200 pejabat AS terserang Sindrom Havana di berbagai negara dunia.
AS Kirim Kapal Perusak ke Laut Hitam
Armada Keenam Angkatan Laut AS mengumumkan bahwa sebuah kapal perusak angkatan laut telah memasuki perairan Laut Hitam, di tengah meningkatnya ketegangan di kawasan.
"Kapal perusak dari kelas Arleigh Burke tiba di Laut Hitam untuk melakukan operasi dengan sekutu AS di NATO dan mitra lainnya di wilayah itu," kata pernyataan Armada Keenam Angkatan Laut AS seperti dikutip laman Mehrnews, Kamis (25/11/2021).
Kepala Delegasi Rusia untuk Negosiasi Keamanan Militer dan Kontrol Senjata di Wina, Konstantin Gavrilov mengatakan pada hari Rabu bahwa AS sedang berusaha untuk memisahkan antara Rusia dan negara-negara Eropa.
Menurutnya, AS ingin memulai sebuah perang kecil di Laut Hitam.
"Tidak ada bukti bahwa pasukan Rusia berkonsentrasi di dekat perbatasan Ukraina. Moskow tidak akan menyerah pada provokasi itu, karena kepemimpinan negara dan kementerian pertahanan telah mengendalikan situasi," tegasnya.
Gavrilov menambahkan Kiev dan Washington akan mengambil setiap langkah untuk mengalihkan perhatian publik dari masalah internal Ukraina.
Dalam seminggu terakhir, beberapa media Amerika melaporkan bahwa Rusia telah mengerahkan pasukannya di dekat perbatasan Ukraina dan berniat menyerang negara itu pada musim dingin tahun ini.
Sebelum ini, juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengkritik tuduhan itu, dengan mengatakan kecemasan dan ketegangan ini sengaja diciptakan. Dia menegaskan NATO harus berhenti mengirim senjata ke Ukraina dan mengakhiri provokasi di dekat perbatasan Rusia.
AS ke Saudi: Ansarullah Tak akan Mundur, Cari Solusi Lain !
Peristiwa terbaru yang terjadi di Yaman menunjukkan upaya Arab Saudi untuk mencari jalan keluar dari perang di tengah perbedaan pendapat dengan sekutu-sekutu utamanya.
Surat kabar Lebanon, Al Akhbar, Jumat (26/11/2021) melaporkan, ada indikasi AS berusaha meyakinkan Arab Saudi tentang urgensi menghentikan perang secepat mungkin, dan tanpa syarat dari Riyadh bahwa pihak ketiga harus terjun ke medan tempur untuk memukul mundur Ansarullah.
Pada pertemuan yang digelar tanggal 14 Juni 2021 antara Deputi Menteri Luar Negeri AS Joey Hood dengan sejumlah diplomat negara pesisir Teluk Persia, di Washington, pejabat Deplu AS itu mengatakan sekarang tidak ada yang bisa mempengaruhi sikap Houthi, bahkan setelah namanya dihapus dari daftar teroris AS, mereka tetap tidak akan mengubah sikapnya.
Hood menambahkan, "Oleh karena itu kami percaya bahwa penghentian operasi militer Saudi, dan keluarnya negara ini dari Yaman, akan membantu mengakhiri perang, meski sulit untuk menerima usulan ini, tapi menurut kami ini langkah yang benar."
Dalam pertemuan itu wakil Saudi mengatakan bahwa mundur dari perang Yaman secara tiba-tiba akan memakan biaya besar bagi Riyadh, dan negara lain seperti Qatar, Turki dan Uni Emirat Arab akan memanfaatkan kesempatan ini, sehingga kemungkinan perang akan berlangsung lama.