Amerika Tinjauan dari Dalam, 27 Januari 2024
Perkembangan di Amerika selama sepekan lalu diwarnai sejumlah isu penting, di antaranya; Pengiriman Baru Senjata AS Tiba di Tel Aviv.
Selain itu, masih ada isu seperti;
- Los Angeles Times: Saatnya AS Putar Haluan dalam Masalah Gaza
- NY Times: Iran Kirim Pesan kepada Israel dengan Rudal Kheibar Shekan
- AS Akui Dua Tentaranya Tewas di Dekat Laut Merah
- Demonstran Pro-Palestina Interupsi Pidato Joe Biden
- AS Mengaku Siap Memulai Perundingan Penarikan Tentaranya dari Irak
Pengiriman Baru Senjata AS Tiba di Tel Aviv
Saluran TV 12 rezim Zionis melaporkan pada Kamis malam bahwa pengiriman baru senjata Amerika telah memasuki Wilayah Pendudukan Palestina.
Menurut laporan IRNA, pengiriman senjata ini mencakup puluhan jet tempur F-35, F-15 dan helikopter Apache.
Laporan ini dipublikasikan bersamaan dengan pernyataan Osama Hamdan, salah satu anggota senior Hamas, pada Jumat malam, Amerika telah mengirim setidaknya 230 pesawat dan 20 kapal kargo yang membawa senjata ke militer Israel.
Di sisi lain, Kementerian Kesehatan Palestina di Jalur Gaza mengumumkan pada Kamis malam bahwa jumlah syuhada di Gaza sejak awal perang telah mencapai 25.900 orang dan jumlah korban luka mencapai 64.110 orang.
Sumber-sumber berita juga melaporkan kematian sedikitnya 27 warga Palestina dan melukai 176 lainnya dalam kejahatan yang dilakukan tentara Israel di Jalur Gaza pada Kamis sore.
Warga Palestina sedang menunggu untuk menerima bantuan kemanusiaan di Bundaran Kuwait di kota Gaza ketika mereka dibom oleh tentara Israel.
Dalam serangan ini, 20 orang tewas dan 150 lainnya luka-luka. Sejumlah korban syahid dan luka dibawa ke Rumah Sakit Al-Shifa.
Sumber berita juga melaporkan serangan tentara Zionis di kawasan Sekolah Hayat di kota Khan Yunis di selatan Jalur Gaza, yang mengakibatkan tujuh warga Palestina syahid dan 26 lainnya terluka.
Gerakan Perlawanan Islam Palestina (Hamas), pada tanggal 7 Oktober, sebagai tanggapan atas lebih dari tujuh dekade pendudukan Palestina dan hampir dua dekade pengepungan Gaza serta pemenjaraan dan penyiksaan ribuan warga Palestina, memulai operasi yang dikenal seperti Badai Al-Aqsa.
Operasi ini adalah salah satu serangan paling mematikan terhadap rezim ini. Pejuang Hamas memasuki wilayah pendudukan melalui pagar perbatasan di beberapa titik, menyerang desa-desa dan selain membunuh sejumlah besar warga Israel, juga menangkap sejumlah dari mereka.
Menanggapi operasi ini, rezim Israel melancarkan serangan besar-besaran terhadap Gaza dan mengepung wilayah tersebut sepenuhnya.
Israel telah menyatakan tujuan perangnya dalam operasi ini untuk menghancurkan gerakan Hams. Hal ini terlepas dari kenyataan bahwa banyak analis dan pakar, bahkan di wilayah Palestina yang diduduki, menganggap tujuan ini tidak realistis dan tidak mungkin tercapai.
Los Angeles Times: Saatnya AS Putar Haluan dalam Masalah Gaza
Josh Powell, mantan direktur Departemen Luar Negeri AS dalam sebuah opini di Los Angeles Times mengatakan, "Perjalanan di Gaza saat ini tidak membuahkan hasil, dan inilah saatnya bagi Amerika Serikat untuk mengubah haluan."
Menyinggung serangan brutal rezim Zionis terhadap warga Palestina di Gaza, Powell menulis, “Sayangnya, setelah lebih dari tiga bulan, kami melihat Amerika Serikat dan Israel, sekutu utamanya di kawasan, masih mencari opsi pertama di antara semua solusi lainnya."
Mantan pejabat Amerika ini menulis,"Pertimbangkan tujuan nyata Israel dalam operasinya militernya di Gaza yaitu pembebasan tahanan dan penghancuran Hamas. Hingga kini, Israel belum mencapai tujuan apa pun dan mungkin hanya dapat memilih salah satu di antaranya, dan kecil kemungkinan untuk mencapai keduanya,".
Josh Powell juga menulis, "Rekonstruksi Gaza akan memakan biaya puluhan miliar dolar dan akan memakan waktu satu dekade dalam kondisi terbaik. Sementara itu, negara-negara Arab telah mengatakan kepada Amerika Serikat bahwa mereka tidak akan berinvestasi dalam pembangunan fasilitas yang akan diratakan lagi dalam lima tahun kemudian,".
Dia lebih lanjut menyebutkan situasi warga Palestina yang selamat dari serangan-serangan ini dan menambahkan,"Tidak ada infrastruktur yang memadai untuk memberi makan, menyediakan pakaian dan mempekerjakan mereka di Gaza,".
Politisi Amerika ini menambahkan, "Ke mana pun Anda melihat, yang ada hanyalah jalan buntu. Dalam situasi saat ini, masa depan yang paling mungkin terjadi adalah masa tanpa negara Palestina dan tanpa alternatif yang jelas. Masa depan tanpa gencatan senjata di mana Israel secara teratur menyerang wilayah yang mereka anggap sebagai ancaman baik di Gaza, maupun Tepi Barat,".
"Di masa depan Palestina yang bisa dibayangkan semua orang akan kalah. Israel kehilangan kesempatan untuk mencapai perdamaian abadi, semakin terisolasi dari komunitas internasional, dan tidak pernah mencapai keamanan nyata yang dijanjikan kepada warganya. Amerika Serikat juga kehilangan kredibilitas moralnya," tulis Powell.
Mengenai dukungan AS terhadap Israel, Powell mengungkapkan bahwa Presiden Joe Biden akan terus memberikan senjata tanpa syarat kepada Israel untuk menghancurkan Gaza dan perlindungan diplomatik untuk mencegah solusi politik nyata atau pertanggungjawaban apa pun berdasarkan hukum internasional.
Pada akhirnya, ia menegaskan bahwa Biden tetap berkomitmen pada jalan apa pun yang diambil Israel, meski hal itu merugikan Amerika.
NY Times: Iran Kirim Pesan kepada Israel dengan Rudal Kheibar Shekan
Koran New York Times menyebut serangan rudal terbaru Iran ke posisi kelompok teroris Daesh (ISIS) di Suriah dengan rudal Kheibar Shekan bukan sekedar balas dendam kepada kelompok teroris ini, tapi juga unjuk kekuatan Iran kepada Barat, khususnya Israel.
Korps Garda Revolusi Islam Iran (IRGC) Selasa (16/1/2024) dini hari membalas kejahatan terbaru kelompok teroris di Kerman dan Rask, selatan Iran dengan menembakkan sejumlah rudal balistik termasuk empat rudal Kheibar Shekan ke pusat konsentrasi para komandan dan anasir utama yang terlibat dalam operasi teror terbaru, khususnya Daesh, di Suriah.
New York Times terkait hal ini menulis, Iran dalam serangannya terhadap teroris Daesh menggunakan salah satu rudal tercanggih dan jarak jauhnya, yakni Kheibar Shekan.
Jangkauan dan keakuratan rudal Kheibar Shekan menarik perhatian petinggi keamanan di Eropa dan Israel, serta pakar yang terus memantau kemajuan teknologi Iran.
Menurut koran ini, kombinasi rudal dan drone terbaru telah membantu Iran menjadi produsen beberapa senjata paling canggih di Asia Barat, dan kemampuannya memproduksi ribuan drone telah mengejutkan banyak pejabat Barat.
Rudal Kheibar Shekan, yang diluncurkan pada tahun 2022, adalah rudal berpemandu berbahan bakar padat dengan jangkauan 1.450 kilometer.
Ciri yang membedakan rudal Kheibar Shekan dengan rudal Iran lainnya adalah hulu ledaknya yang bermanuver dengan sayap aerodinamisnya dan lolos dari beberapa sistem pertahanan udara.
Keputusan menggunakan rudal Kheibar Shekan dalam serangan pekan terakhir terhadap kelompok teroris Daesh, sementara rudal yang lebih sederhana seharusnya juga mampu melancarkan operasi ini, cenderung dinilai sebagai keingininan Iran untuk menunjukkan kekuatannya kepada Barat.
Menurut Fabian Hinz, pakar militer dan Asia Barat, "Iran dengan menguji rudal tercanggihnya, telah mengirim pesan kepada Israel."
AS Akui Dua Tentaranya Tewas di Dekat Laut Merah
Angkatan Bersenjata Amerika Serikat, secara implisit mengakui tewasnya dua tentara negara itu di perairan Somalia, dekat Laut Merah.
Pusat Komando Militer AS di Timur Tengah, CENTCOM, Senin (22/1/2024) dinihari mengumumkan, dua marinir yang sebelumnya diberitakan hilang dalam operasi di pesisir pantai Somalia, diklasifikasikan sebagai korban tewas.
CENTCOM minggu lalu tepatnya tanggal 13 Januari mengabarkan dua personel Angkatan Laut Amerika Serikat, hilang di sepanjang pesisir pantai Somalia.
Menurut keterangan CENTCOM, operasi pencarian dan penyelamatan kedua marinir AL Amerika Serikat, tersebut sampai sekarang masih dilakukan.
Akan tetapi detail kejadian termasuk identitas kedua marinir Amerika Serikat, kapal yang dinaiki keduanya, atau bahkan nama mereka, masih belum dipublikasikan.
Kedua marinir itu adalah anggota Armada Kelima Angkatan Laut, Amerika Serikat, yang bertugas menjalankan berbagai misi berbeda.
Dua bulan lalu, AS mengirimkan sejumlah banyak kapal perang ke Laut Merah dan Teluk Aden, dengan dalih untuk menghadapi serangan-serangan pasukan Ansarullah Yaman.
Demonstran Pro-Palestina Interupsi Pidato Joe Biden
Aktivis pendukung Palestina di Amerika Serikat beberapa kali menginterupsi pidato Presiden Joe Biden hari Selasa (23/1/2024), dan mereka meneriakkan yel-yel anti-Biden sebagai bentuk dukungan terhadap rakyat Gaza.
Saat ini, meskipun masyarakat di banyak negara di dunia marah atas kejahatan yang dilakukan oleh rezim Zionis di Gaza, Amerika Serikat terus mendukung kejahatan Zionis terhadap Palestina dengan sekuat tenaga, bertentangan dengan klaim palsunya yang mendukung Hak Asasi Manusia (HAM).
Menurut laporan FNA mengutip Politico, pidato hari Selasa Biden dalam mendukung undang-undang aborsi telah keluar dari jalur, oleh karena itu, para demonstran yang hadir di antara massa berulang kali menginterupsi pidato presiden AS sebagai bentuk protes atas kinerja pemerintahannya terkait Jalur Gaza.
Menurut Politico, Biden berusaha mengangkat bahaya keikutsertaan Donald Trump pada pemilu presiden AS 2024 dalam pidatonya bersama wakilnya Kamala Harris. Namun, ketika Biden mencoba berbicara tentang rencana Partai Republik untuk lebih membatasi hak aborsi, ia disambut dengan teriakan setiap beberapa menit dari para pengunjuk rasa yang meneriakkan "Joe si Genosida" atau "Sekarang gencatan senjata atau kami tidak akan memilih."
Menurut laporan Politico, di bawah pengaruh protes pendukung Palestina, pidato Biden diinterupsi setidaknya 14 kali, dan petugas polisi serta pegawai aula berusaha mengusir para pengunjuk rasa dari lokasi pidato Presiden AS.
Para ahli mengatakan bahwa protes hari Selasa menunjukkan ketidakpuasan yang kuat dari masyarakat terhadap Partai Demokrat Amerika di bawah pengaruh kebijakan partai tersebut selama perang Gaza dan dukungannya terhadap rezim Zionis.
Sebelumnya, ada protes lain yang mendukung Palestina saat pidato pemilu Biden di Gereja Charleston, di negara bagian California Selatan. Saat itu, para pengunjuk rasa dengan slogan "gencatan senjata sekarang juga," tidak mengizinkan Biden berpidato.
Sejak tanggal 7 Oktober lalu, dengan dukungan penuh negara-negara Barat, rezim Zionis melancarkan pembantaian besar-besaran di Jalur Gaza dan Tepi Barat terhadap rakyat Palestina yang tidak berdaya dan tertindas, serta diamnya komunitas internasional dan organisasi hak asasi manusia dalam menghadapi kejahatan Israel telah menyebabkan berlanjutnya pembunuhan terhadap perempuan dan anak-anak Palestina oleh mesin perang rezim ilegal ini.
AS Mengaku Siap Memulai Perundingan Penarikan Tentaranya dari Irak
Giliran Drone Muqawama Irak Serang Pelabuhan Ashdod, Israel Seorang pejabat AS yang menolak disebutkan identitasnya menyatakan bahwa Washington dalam sebuah surat yang diserahkan oleh Dubesnya di Baghdad, Alina L. Romanowski kepada Menlu Irak, Fuad Husein, menyatakan kesiapannya untuk memulai perundingan guna mengakhiri kehadiran militer AS dan sekutunya di Irak.
Sementara ketika protes di Irak terhadap kehadiran 2.500 tentara Amerika yang ditempatkan di negara itu semakin meningkat, Menteri Luar Negeri Irak mengumumkan bahwa surat dari duta besar Amerika di Baghdad akan ditinjau oleh Perdana Menteri Mohammad Shia al-Sudani dan pejabat terkait. Seorang pejabat Amerika yang enggan disebutkan namanya juga menyatakan bahwa persoalan ini bukanlah persoalan baru dan sudah ada pembicaraan mengenai hal tersebut antara pejabat kedua negara Irak dan Amerika Serikat. Ia mengatakan, pembicaraan ini telah dimulai sejak beberapa bulan lalu. Lebih lanjut ia menambahkan, Amerika Serikat selama perundingan juga akan membela hak penuhnya untuk membela diri.
Hal yang paradoksnya adalah bahwa Washington mengumumkan beberapa hari yang lalu, pada tanggal 16 Januari, di tengah serangan terhadap pangkalan Amerika di Irak dan Suriah, bahwa mereka bermaksud mengirim 1.500 tentara baru dari Garda Nasional New Jersey ke Irak dan Suriah dengan alasan apa yang disebutnya sebagai perang melawan kelompok teroris Daesh (ISIS).
Pihak berwenang Irak telah berulang kali menuntut penarikan pasukan Amerika dari negara tersebut. Diantaranya, Mohammad Shia Al-Sudani, Perdana Menteri Irak, pada awal Januari 2024 kembali menuntut penarikan segera pasukan Amerika dari Irak.
Setelah pembunuhan brutal terhadap Syahid Soleimani, komandan Pasukan Quds Korps Pengawal Revolusi Islam Iran (IRGC), dan Abu Mahdi al-Muhandis, wakil Pasukan Hashd al-Shaabi, dan rekan-rekan mereka di bandara Baghdad pada 3 Januari 2020, parlemen Irak melakukan pemungutan suara pada tanggal 5 Januari untuk menarik pasukan koalisi anti-ISIS, termasuk pasukan Amerika, dari Irak. Namun, Amerika Serikat, dalam posisi ilegal, bersikeras untuk tetap mempertahankan kehadiran militernya di Irak. Terakhir, karena tekanan politik di dalam negeri Irak, Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, dan Perdana Menteri Irak saat itu, Mustafa Al-Kadhimi, dalam perjanjian yang dicapai pada pertengahan musim panas 2021, berkomitmen bahwa misi tempur pasukan pimpinan AS di Irak akan berakhir sebelum akhir tahun 2021.
Pada tahun terakhir masa kepresidenan Donald Trump pada tahun 2020, Amerika Serikat mengurangi jumlah tentara yang ditempatkan di Irak menjadi 2.500. Misi pasukan Amerika di Irak rupanya telah berakhir pada 31 Desember 2021. Namun, Amerika tetap memiliki kehadiran militer di negara ini dengan nama lain dan memiliki beberapa pangkalan militer seperti pangkalan Ain al-Asad di provinsi Anbar dan pangkalan Harir di provinsi Erbil.
Meskipun ada persetujuan dari Parlemen Irak, yang menuntut penarikan pasukan Amerika dari negaranya, Washington masih mempertahankan kehadiran militer di Irak dengan dalih tindakan penasehatan dan pelatihan. Masalah ini mendapat reaksi tajam dari masyarakat Irak dan respons keras mereka, serta terjadi serangan pesawat tak berawak dan rudal terhadap pangkalan Amerika di Irak dan Suriah yang semakin intensif, khususnya sejak serangan udara dan darat Israel ke Gaza menyusul operasi Badai al-Aqsa pada 7 Oktober.
Alasan terjadinya serangan-serangan tersebut, yang telah dilakukan berkali-kali terhadap pangkalan-pangkalan Amerika di Irak dan Suriah dalam bentuk serangan roket, rudal dan drone, adalah peran Amerika Serikat yang secara terbuka mendukung Tel Aviv secara politik dan dengan senjata serta penggunaan amunisi yang dikirim Washington untuk membunuh rakyat tertindas di Gaza. Muqawama Irak, sejalan dengan keinginan rakyat Irak, ingin mengakhiri kehadiran militer Amerika di negara ini secepatnya.
Tentu saja, Washington telah melakukan beberapa serangan terhadap kelompok perlawanan Irak sebagai tanggapan atas tindakan tersebut. Setelah serangan terbaru oleh pesawat Amerika di dua markas Hashd al-Shaabi, yang menyebabkan dua anggotanya syahid, pemerintah Irak, dalam sebuah pernyataan seraya mengutuk serangan ini, mengumumkan akan menuntut Washington sebagai bentuk dukungan atas kedaulatan Irak di tingkat internasional. Penasihat Keamanan Nasional Irak Qasim al-Araji seraya mengutuk serangan tentara AS terhadap markas besar Hashd al-Shaabi menilai hal tersebut sebagai pelanggaran nyata terhadap kedaulatan negaranya.
Persoalan pentingnya adalah bahwa klaim Amerika mengenai niatnya untuk menarik diri dari Irak ditanggapi dengan keraguan oleh kelompok perlawanan Irak. Dalam hal ini, bersamaan dengan pembicaraan antara Amerika Serikat dan Irak untuk mengakhiri kehadiran militer di negara tersebut, Kataib Hizbullah Irak, seraya menyabut klaim Washington menipu, mengumumkan kelanjutan serangan terhadap penjajah hingga penarikan total mereka dari Irak. Dalam pesannya kepada penjajah Amerika, Hizbullah Irak memperingatkan bahwa "serangan terhadap penjajah Amerika akan terus berlanjut sampai militer negara ini ditarik sepenuhnya dari Irak."