Prabowo di PBB: Dari Retorika Global South Menuju Ujian Palestina
Oleh: Purkon Hidayat. Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto akan berpidato pada Sidang Umum ke-80 PBB di New York hari Selasa waktu setempat. Tampaknya, kehadiran Presiden Prabowo akan menegaskan sebuah deklarasi: Indonesia kembali ingin tampil sebagai pemain global.
Dengan percaya diri, ia akan menegaskan posisi Indonesia sebagai bagian dari Global South yang menuntut tata dunia lebih adil dan inklusif. Namun, retorika itu kini menghadapi ujian paling nyata: Palestina. Di Gaza, tragedi kemanusiaan terus berlangsung, sementara impian mendirikan negara Palestina merdeka belum juga terwujud.
Spirit Bandung
Pidato Prabowo mengingatkan kita pada Konferensi Asia-Afrika 1955 di Bandung. Ketika itu, Soekarno menyerukan solidaritas bangsa-bangsa berkembang melawan kolonialisme, melahirkan semangat Gerakan Non-Blok (GNB).
Kini, Prabowo akan menghidupkan kembali gema itu di podium PBB. Namun lawan yang dihadapi berbeda: ketidakadilan struktural global, veto lima negara besar, dan kebuntuan diplomasi yang membuat isu Palestina terus membentur dinding. Jelas, spirit Bandung memang masih relevan, tetapi ujian praktiknya jauh lebih berat.
Palestina Jadi Batu Ujian
Upaya Indonesia menjadi corong suara Global South menghadapi batu ujian Palestina sebagai salah satu parameter keberhasilannya.
Pertama, publik dunia hingga kini terus menyaksikan ribuan warga sipil masih menjadi korban, infrastruktur luluh lantak, dan generasi baru hidup dalam trauma berkepanjangan. Setiap seruan gencatan senjata berulang kali dipatahkan oleh hak veto AS di Dewan Keamanan PBB.
Kedua, Indonesia konsisten mendukung solusi dua negara, tetapi dukungan itu acapkali terdengar sebagai rutinitas diplomatik. Dunia menanti langkah lebih konkret, apakah Indonesia berani memimpin inisiatif baru di PBB untuk memperkuat pengakuan Palestina?
Ketiga mengenai isu moral Global South. Jika Global South benar-benar ingin diakui sebagai kekuatan penting di arena internasional, mereka harus berani bersatu memperjuangkan isu Palestina, bukan hanya mengulang jargon solidaritas.
Di sinilah peran Indonesia dipertaruhkan. Apakah kita akan sekadar menambah suara di forum internasional, atau benar-benar memimpin langkah kolektif untuk menyuarakan keadilan bagi Palestina sebagai negara merdeka?
Tali Tipis
Selama ini diplomasi Indonesia selalu menekankan posisi “bebas-aktif”. Namun dalam isu Palestina, posisi itu bukan sekadar pilihan politik, melainkan tuntutan moral.
Tantangan datang dari dua arah. Di satu sisi, Indonesia ingin menjadi mitra semua negara besar, termasuk Amerika Serikat yang selama ini memveto resolusi Palestina. Di sisi lain, Indonesia harus membuktikan komitmennya di hadapan dunia Islam dan Global South. Tampaknya, menyatukan keduanya menjadi langkah sulit. Namun jika berhasil, Indonesia bisa mengubah wajah diplomasi internasional.
Indonesia Sebagai Jembatan
Visi Indonesia sebagai jembatan dunia menemukan relevansinya dalam isu Palestina. Indonesia dipercaya oleh banyak pihak—tidak terikat blok militer, punya reputasi sebagai demokrasi besar, dan memiliki legitimasi moral di mata dunia Islam.
Pertanyaannya: apakah Jakarta siap melangkah lebih jauh? Misalnya, mendorong pengakuan PBB atas Palestina sebagai negara merdeka penuh, atau membangun koalisi Global South yang seirama mendukung kemerdekaan Palestina.
Dari Panggung ke Arena Sejarah
Pidato Presiden Prabowo di PBB diharapkan akan memberi energi baru bagi diplomasi Indonesia. Tetapi sejarah tidak diukir di podium, melainkan di arena nyata.
Palestina menjadi batu ujian nyata. Jika Indonesia berani mengambil langkah lebih konkret untuk memperjuangkan negara merdeka Palestina, pidato Prabowo akan dikenang sebagai titik balik Global South. Jika tidak, ia hanya akan menjadi gema retorika yang indah, tapi cepat hilang ditelan gegap gempita konflik dunia.