Pengungkapan lain Kejahatan Prancis di Afrika: Pembantaian di "Thiaroye" di Senegal
https://parstoday.ir/id/news/world-i179162-pengungkapan_lain_kejahatan_prancis_di_afrika_pembantaian_di_thiaroye_di_senegal
Pars Today – Seiring dengan perilisan laporan terkait pembantaian Thiaroye di Senegal, terungkap dimensi baru kejahatan Prancis di Afrika.
(last modified 2025-10-28T10:46:42+00:00 )
Okt 28, 2025 17:43 Asia/Jakarta
  • Pengungkapan lain Kejahatan Prancis di Afrika: Pembantaian di

Pars Today – Seiring dengan perilisan laporan terkait pembantaian Thiaroye di Senegal, terungkap dimensi baru kejahatan Prancis di Afrika.

Seperti dilaporkan Pars Today, dengan tersiarnya laporan terbaru pemerintah Senegal terkait "Pembantaian Thiaroye", salah satu kejahatan tergelap dan paling disangkal dari kolonialisme Prancis di Afrika telah muncul dari keheningan sejarah dan kini kembali menjadi berita.

 

Damien Glez, dalam artikelnya bertajuk "Senegal: White Paper on the Thiaroye Massacre casts stark light on a hidden crime" yang dimuat di laman The Africa Report, menulis: Laporan setebal 301 halaman yang disampaikan kepada presiden Senegal mengungkapkan banyak hal tentang penyangkalan Prancis dan tekad Senegal untuk mengungkap kebenaran dan menuntut reparasi. Ketika calon presiden Prancis saat itu, Emmanuel Macron, menyebut kolonisasi sebagai "kejahatan terhadap kemanusiaan" di Aljazair pada tahun 2017, ia mungkin mengira telah mengusir hantu kehadiran Prancis di Afrika. Macron, yang lahir setelah era kolonial Prancis, mungkin memandang peringatan 80 tahun pembantaian Thiaroye Desember lalu sebagai kesempatan untuk menutup lembaran sejarah tersebut. Namun, ia tidak memperkirakan tekad Senegal untuk mendefinisikan ulang hubungannya dengan Prancis.

 

Pada 16 Oktober, enam bulan setelah tenggatnya, Presiden Senegal Bassirou Diomaye Faye dan Perdana Menteri Ousmane Sonko menerima Buku Putih setebal 301 halaman di istana kepresidenan. Menurut komite peneliti di baliknya, buku putih tersebut dimaksudkan untuk "mengembalikan kebenaran sejarah" tentang pembantaian Thiaroye.

 

Pembantaian tersebut, yang terjadi pada 1 Desember 1944, melibatkan eksekusi massal oleh pasukan kolonial Prancis dan polisi terhadap para tentara Afrika yang dikenal sebagai Thiaroye Senegal dan yang sebelumnya dicap sebagai 'pemberontak'. Sebagaimana yang mungkin diharapkan oleh rakyat Senegal, data yang dikumpulkan dan ditafsirkan oleh para peneliti mengungkapkan lebih dari sekadar ketidakakuratan oleh otoritas Prancis.

 

Laporan para sejarawan dan arkeolog menunjukkan bahwa tragedi itu "direncanakan" dan "disembunyikan" serta dilaksanakan melalui "tindakan terkoordinasi." Beberapa arsip Prancis tidak hanya disembunyikan tetapi juga dipalsukan, termasuk catatan kedatangan dan keberangkatan di kota Moreaux di Prancis dan ibu kota Senegal, Dakar.

 

Meskipun sumber resmi Prancis selalu menyatakan jumlah korban tewas maksimum 70 orang, laporan terbaru memperkirakan bahwa "perkiraan paling kredibel adalah antara 300 dan 400" dan bukti menunjukkan bahwa sekitar 400 tentara "menghilang." Penggalian di pemakaman Thiaroye, 15 kilometer dari Dakar, telah menemukan makam-makam yang dibuat setelah penguburan yang diketahui sebelumnya. Kerangka-kerangka tersebut juga berisi tengkorak, tulang rusuk, dan tulang belakang yang terpenggal, bahkan tanda-tanda penyiksaan, seperti "rantai besi di sekitar pergelangan kaki." Keberadaan jenazah yang terlantar menunjukkan bahwa pembunuhan tidak terbatas di kamp saja.

 

Penulis artikel ini menekankan bahwa laporan tersebut bukan akhir jalan untuk mengungkap fakta. Terlepas dari terungkapnya penyangkalan Prancis, masih banyak bayang-bayang yang tersisa, terutama mengenai tempat pemakaman para korban yang sebenarnya. Ketidakjelasan yang sama ini telah mendorong presiden Senegal, dengan perasaan "pahit dan sedih", untuk menuntut pembebasan lebih banyak arsip dari Prancis, kelanjutan penggalian, dan dimulainya proses kompensasi atas kerugian material dan moral.

 

Kini, laporan Senegal yang baru ini bukan hanya sebuah dokumen sejarah, tetapi juga sebuah langkah menuju pencarian keadilan dan penulisan ulang sebagian sejarah yang para korbannya telah disembunyikan selama beberapa dekade. (MF)