Tanpa Rekonstruksi Struktural, Akankah Gaza Keluar dari Siklus Permanen Krisis ?
-
Anak-anak Gaza
Pars Today – UNICEF kembali memperingatkan tentang memburuknya krisis kemanusiaan di Gaza dan menyatakan bahwa lebih dari satu juta anak-anak di wilayah tersebut masih menghadapi kekurangan air dan pangan yang sangat parah. Banyak anak, meskipun telah diberlakukan gencatan senjata, setiap malam tetap tidur dalam keadaan lapar.
Tess Ingram, juru bicara Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF), menegaskan bahwa meskipun gencatan senjata merupakan kabar baik, hal itu belum cukup untuk mengakhiri kelaparan dan menjamin akses keluarga-keluarga di Gaza terhadap air minum yang layak. Ia menambahkan bahwa infrastruktur air dan layanan kesehatan di Gaza telah rusak berat, dan keluarga-keluarga di sana berjuang setiap hari untuk bertahan hidup dalam kondisi tersebut.
UNICEF juga menyatakan bahwa pengiriman bantuan ke Gaza memang sedikit meningkat setelah dimulainya gencatan senjata, namun jumlah tersebut masih jauh di bawah tingkat sebelum perang dan tidak mampu memenuhi kebutuhan kemanusiaan yang sangat besar.
Berdasarkan laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa, kekurangan tenaga medis, obat-obatan, dan peralatan telah menyebabkan ribuan anak yang membutuhkan perawatan tidak mendapatkan penanganan memadai di rumah sakit Gaza. Wakil juru bicara Sekretaris Jenderal PBB juga, dengan menyoroti situasi yang bersifat tragis, menyampaikan bahwa kondisi di Gaza begitu parah sehingga kehidupan normal bagi sebagian besar keluarga tidak lagi memungkinkan.
Persediaan makanan dan air minum telah mencapai titik minimum; sebagian besar penduduk kini hidup di ruang terbuka atau di tempat penampungan sementara, sementara rumah sakit menghadapi kekurangan serius dalam peralatan vital.
Apa yang terjadi hari ini di Gaza bukan sekadar krisis kemanusiaan, melainkan juga merupakan contoh nyata dari kegagalan moral dan politik di tingkat internasional. Meskipun gencatan senjata telah mengurangi kekerasan secara langsung, namun kerusakan besar pada infrastruktur serta berlanjutnya pembatasan terhadap masuknya bantuan kemanusiaan telah menghalangi rakyat Gaza untuk benar-benar merasakan manfaat dari gencatan senjata tersebut.
Ketika air tidak lagi mengalir di pipa-pipa, listrik terputus, toko roti berhenti beroperasi, dan rumah sakit kekurangan obat serta bahan bakar, maka istilah gencatan senjata kehilangan makna nyatanya dan berubah menjadi keheningan yang hanya menaungi puing-puing kehancuran.
Krisis yang terjadi saat ini bukanlah hasil dari beberapa minggu atau bulan pertempuran, melainkan kelanjutan dari bertahun-tahun blokade menyeluruh, penghancuran sistematis terhadap infrastruktur vital, serta tekanan ekonomi dan sosial terhadap warga Palestina di Gaza.
Kebijakan pembatasan ketat terhadap impor bahan bakar, obat-obatan, bahan pangan, peralatan air dan sanitasi, bahkan bahan bangunan, telah membuat Gaza tidak mampu melakukan rekonstruksi maupun memenuhi standar minimum kehidupan yang layak. Banyak pabrik terpaksa ditutup, sektor pertanian hancur akibat kekurangan air dan rusaknya lahan, sementara tingkat pengangguran mencapai titik tertinggi. Akibatnya, masyarakat kini sangat bergantung pada bantuan internasional — bantuan yang pada gilirannya juga dibatasi dan diawasi secara ketat.
Siklus ekonomi yang rusak ini bukan hanya membuat kelangsungan hidup menjadi sulit, tetapi juga mengancam fondasi sosial Gaza. Generasi baru anak-anak Palestina yang tumbuh dalam kondisi kekurangan gizi dan haus hari ini, kelak akan menghadapi masalah fisik dan mental yang serius.
Hancurnya sekolah-sekolah dan pusat-pusat pendidikan berarti hilangnya masa depan yang tak dapat dipulihkan. Ribuan pelajar kini belajar di tenda dan tempat penampungan, sementara para guru — yang juga menjadi korban perang — berjuang untuk menjaga agar pendidikan tetap hidup. Namun tanpa keamanan, gizi yang memadai, dan kesehatan yang terjamin, sistem pendidikan yang efektif tidak mungkin terwujud.
Ketika anak-anak berdiri dalam antrean air dan makanan, bukan di ruang kelas, itu berarti masa depan Gaza sedang dijadikan sasaran.
Dalam dimensi politik, Israel dengan bertumpu pada dukungan politik dari Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa, pada praktiknya tidak bertanggung jawab kepada lembaga internasional mana pun dan terus melanjutkan kebijakan pembatasan terhadap penduduk Gaza. Bahkan, Israel berulang kali melanggar ketentuan gencatan senjata yang telah disepakati.
Situasi ini kembali menempatkan klaim Barat mengenai kebebasan, hak asasi manusia, dan keadilan dalam posisi yang sangat diragukan. Diamnya sebagian besar komunitas internasional terhadap kelaparan anak-anak, penghancuran rumah sakit, serta penghalangan masuknya obat-obatan dan pangan, telah menambah penderitaan rakyat Gaza.
Namun demikian, perlawanan sosial masyarakat Gaza masih terus berlanjut. Organisasi-organisasi lokal tetap menyalurkan makanan kepada keluarga-keluarga, kelompok medis sukarelawan memberikan perawatan bagi anak-anak, dan para guru mendirikan kelas-kelas kecil di tempat penampungan.
Upaya-upaya ini menunjukkan bahwa masyarakat Gaza, meskipun berada di bawah tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya, tidak menyerah. Akan tetapi, ketahanan rakyat tidak dapat menggantikan tanggung jawab komunitas internasional.
Yang dibutuhkan Gaza bukan hanya beberapa truk bantuan, melainkan pengakhiran blokade dan rekonstruksi yang sesungguhnya. Pemulihan infrastruktur air dan listrik, pembebasan arus ekonomi, pengoperasian kembali rumah sakit dan sekolah, serta jaminan akses rakyat terhadap sumber daya vital merupakan fondasi bagi kembalinya kehidupan di Gaza.
Jika dunia benar-benar mengaku membela hak-hak anak, maka dunia harus memaksa rezim Zionis untuk mematuhi prinsip-prinsip hukum internasional — dengan menggunakan instrumen politik, hukum, dan ekonomi. Para ahli menegaskan bahwa tanpa pencabutan blokade dan rekonstruksi struktural, Gaza akan terus terperangkap dalam lingkaran krisis yang tiada akhir.
Masa depan Gaza masih bisa ditulis kembali, namun bukan dengan bahasa blokade dan kehancuran — melainkan dengan keadilan, tanggung jawab, dan kemanusiaan. Hari ketika anak-anak Gaza tidak lagi lapar, dapat tidur dengan tenang, pergi ke sekolah, dan membayangkan masa depan yang lebih cerah daripada masa lalu, adalah hari ketika dunia dapat mengatakan bahwa ia tidak berdiam diri di hadapan tragedi ini. (MF)