Brexit dan Friksi Internal Kabinet Theresa May
(last modified Mon, 17 Jul 2017 06:44:35 GMT )
Jul 17, 2017 13:44 Asia/Jakarta

Menteri keuangan Britania Raya, Philip Hammond dalam sebuah wawancara terbaru sebelum dimulainya babak kedua perundingan mengenai keluarnya Inggris dari Uni Eropa, mengatakan, Inggris membutuhkan waktu satu periode untuk keluar dari Uni Eropa.

Hammond dalam wawancara dengan BBC mengungkapkan, para menteri senior semakin percaya bahwa keluarnya Inggris dari Uni Eropa membutuhkan waktu demi mengatasi kendala yang akan timbul kemudian. Ia menegaskan, "Kami saat ini sedang memasuki sebuah proses real dengan dimulainya perundingan, dan hampir seluruh anggota kabinet memiliki sikap bersama untuk meningkatkan perundingan demi menghasilkan kontrak terbaik,".

Pasca pemilu 8 Juni, dan hilangnya dukungan mayoritas di majelis rendah untuk pembentukan kabinet barunya, Perdana Menteri Inggris, Theresa May berada dalam tekanan untuk meninjau ulang perundingan Brexit. Theresa May menggelar pemilu dini dengan tujuan untuk memuluskan perundingan Brexit. Tapi hasil pemilu justru menunjukkan sebaliknya, semakin membatasi geraknya. Tekanan pengunduran diri May mengalir deras dari dalam partai konservatif, dan luar partai ini. Tapi tampaknya Theresa May tidak mudah begitu saja menyerah berhadapan dengan berbagai tekanan tersebut. Meski demikian, masalah Brexit saat ini menjadi alat politik untuk menekan Theresa May yang dimainkan para pesaingnya.

Hasil pemilu 8 Juni membawa sebuah pesan penting mengenai kekhawatiran rakyat Inggris atas upaya perdana menterinya untuk menarik keluar negara ini dari Uni Eropa. Theresa May mengatakan, "Tidak tercapainya kesepakatan masih lebih baik dibandingkan dengan tercapainya sebuah kesepakatan buruk. Tapi kini, mayoritas rakyat Inggris mengharapkan tercapainya sebuah kesepakatan baik dengan biaya seminimal mungkin pasca keluarnya Inggris dari Uni Eropa dan menempatkan negara ini sebagai mitra terpercaya bagi Uni Eropa."

Tercapainya sebuah kesepakatan baik antara Inggris dengan Uni Eropa menjadi salah satu isu utama di ranah politik dan media serta menyita perhatian pusat-pusat riset dan para pemikir Inggris. Salah satu tawaran yang mengemuka adalah prakarsa Philip Hammond mengenai urgensi penentuan satu periode untuk berunding dengan Uni Eropa dalam masalah Brexit.

Penentangan keras terhadap Brexit dikemukakan mantan perdana menteri Inggris Tony Blair. Dalam sebuah wawancara dengan Skynews, Blair mengatakan, "Tahun lalu, kita menikmati pertumbuhan ekonomi tercepat di antara negara anggota G7. Tapi kini pertumbuhan ekonomi kita berada di posisi terendah di antara anggota G7. Indeks tabungan kita juga berada di posisi terendah dalam 50 tahun terakhir,".

Politisi senior kubu konservatif  Inggris ini menegaskan, "Opini publik investor dunia relatif memandang negatif terhadap kita dan nilai mata uang kita pun turun rata-rata sekitar 10 hingga 20 persen. Contohnya investasi di bidang industri turun sekitar 30 persen. Standar hidup masyarakat pun tidak mengalami kenaikan. Kondisi ini menjadi pukulan besar bagi kita,". Oleh karena itu, Blair menyerukan dihentikannya Brexit. Sedangkan Philip Hammond menyerukan proses lunak keluarnya Inggris dari Uni Eropa. Menteri keuangan Britania Raya ini menekankan usulannya untuk menetapkan waktu dalam perundingan Brexit dengan resiko dan tingkat kerugian bagi Inggris seminimal mungkin. Definisi satu periode yang tepat dan kondusif bermakna berlanjutnya lalu lintas bebas orang dari Inggris ke Uni Eropa atau sebaliknya, dan penerapan aturan pengadilan Eropa.

Tapi prakarsa Hammond memicu reaksi dari menteri perdagangan internasional Inggris, Liam Fox. Pendukung Brexit ini mengatakan, "Saya senang menerima prakasa penentuan satu periode pasca keluarnya Inggris dari Uni Eropa. Tapi usulan ini harus berada dalam kerangka penjadwalan waktu, dan Inggris harus bebas bertindak untuk berunding dalam masalah traktat perdagangan. Reaksi tersebut menunjukkan terjadinya friksi besar di tubuh kabinet Theresa May sendiri mengenai masalah Brexit."

Tags