Amerika Tinjauan dari Dalam 25 Mei 2019
(last modified 2019-05-25T11:59:20+00:00 )
May 25, 2019 18:59 Asia/Jakarta
  • Donald Trump, Presiden Amerika Serikat
    Donald Trump, Presiden Amerika Serikat

Perkembangan yang terjadi di AS selama sepekan terakhir menyoroti sejumlah isu penting di antaranya; Berlanjutnya gelombang pengunduran diri di Gedung Putih, kegeraman Trump atas langkah Demokrat untuk menggunakan hak interpelasi, dan Ancaman AS terhadap Turki soal pembelian S-400 dari Rusia.

Berlanjutnya Gelombang Pengunduran Diri di Gedung Putih

Menyusul gelombang pengunduran diri dalam pemerintahan Trump, dua pejabat Gedung Putih lainnya dijadwalkan segera mundur. "Shahira Knight" dan "Johnny DeStefano" dua pejabat senior pemerintah Donald Trump, Presiden Amerika Serikat pada 21 Mei mengumumkan bahwa mereka akan segera mengundurkan diri dari jabatannya.

Shahira Knight, Wakil Direktur Dewan Ekonomi Nasional Presiden Donald Trump akan meninggalkan Gedung Putih pada awal Juni 2019 dan kembali ke sektor swasta. Sementara DeStefano berencana mengundurkan diri pada hari Jumat 24 Mei.

Shahira Knight

Ketika Donald Trump pertama memasuki Gedung Putin, Shahira Knight dipilih sebagai pejabat senior Dewan Ekonomi Nasional AS. Dia kemudian dipromosikan dan menjabat sebagai wakil direktur dewan ini. Sedangkan Johnny DeStefano bertugas di Gedung Putih sebagai penasihat Presiden Amerika Serikat dan mengawasi kantor-kantor seperti Kantor Staf Kepresiden dan Kantor Hubungan Masyarakat. Dia bergabung dengan Gedung Putih setelah pelantikan Donald Trump. Pengunduran diri kedua pejabat Gedung Putih ini merupakan kelanjutan dari serangkaian pengunduran diri di pemerintahan Donald Trump.

Semenjak Donald Trump, Presiden Amerika Serikat menjabat telah melakukan pemberhentian atau pengunduran diri terpaksa para pejabat pemerintah dan tim Gedung Putih dan pada saat yang sama, beberapa pejabat telah mengundurkan diri dari posisi mereka karena memprotes kebijakan Trump. Sejauh ini, lebih dari 50 pejabat dari pemerintahan Trump telah dipecat atau mengundurkan diri.

Dengan demikian, periode kepresidenan Trump akan tetap selamanya di benak orang Amerika karena proses yang tidak pernah terjadi sebelum ini. Di antara mereka mungkin pengunduran diri Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson, Juru Bicara Gedung Putih Sean Spicer, Ahli Strategi Senior Gedung Putih Stephen K. Bannon, Hope Hicks, Direktur Komunikasi Gedung Putih, dan Rick Dearborn, Wakil Kepala Staf Kepresidenan. Ini berlaku bahkan untuk para pejabat yang lebih radikal dari Trump seperti John Bolton, Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih.

Majalan National Interest dalam sebuah laporan yang mengutip sumber-sumbernya mengkonfirmasikan desakan Donald Trump untuk memecat John Bolton dari pemerintahannya. Faktanya, Trump sangat cepat dalam merekrut para pejabat dan kemudian memecat mereka. Bahkan terkadang aktivitas sebagian stafnya di Gedung Putih hanya berjalan dalam beberapa hari. Selain tindakan ini, pejabat yang masuk dan keluar secara terpaksa di Gedung Putih juga menambah jumlah mereka yang mengundurkan diri. Sejatinya, para pejabat Amerika yang mengundurkan diri tidak bersedia untuk bekerja sama dengan Trump, meskipun mereka secara lisan memuji Trump, tapi mereka tidak benar-benar percaya pada pandangan dan tindakan Trump.

Kegeraman Trump atas Langkah Demokrat untuk Menggunakan Hak Interpelaasi

Kubu Demokrat di DPR AS pada hari Rabu, 22 Mei, pada sidang istimewa dan darurat, membahas masalah interpelasi presiden negara itu. Sidang itu diadakan setelah Don McGahn, mantan penasihat hukum Gedung Putih mengirim surat kepada Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat dan menyatakan bahwa ia tidak akan hadir di sidang DPR sesuai rekomendasi Trump serta tidak akan bersaksi terkait penyelidikan soal dugaan keterlibatan Rusia dalam pemilu presiden Amerika 2016.

Sebelumnya, Justin Amash anggota dewan Republikan dari negara bagian Michigan mempublikasikan pesan di akun Twitter-nya menuduh William Barr, Jaksa Agung berusaha untuk menipu opini publik dalam upaya mempertahankan posisi Trump. Laporan Robert Mueller, Penyidik Khusus tentang dugaan keterlibatan Rusia dalam pemilihan 201 Amerika menunjukkan bahwa  Trump melakukan sabotase dalam pelaksanaan hukum dan keadilan.

Amash juga mengumumkan bahwa beberapa teman dari kubunya secara diam-diam setuju dengan interpelasi Donald Tramp. Amash adalah anggota dewan pertama Republik yang percaya bahwa penyelidikan yang dilakukan Mueller menunjukkan bahwa Trump harus diminta keterangannya dalam hal ini. Dia menpublikasi twitt yang secara detil menjelaskan masalah ini dan mengatakan bahwa laporan Mueller mengilustrasikan beberapa contoh tindakan (Donald Trump) yang menghalangi penuh dari implementasi keadilan. Dengan diterbitkannya laporan Mueller, tekanan untuk memulai proses interpelasi terhadap Trump meningkat. Sebuah jajak pendapat baru-baru ini di Amerika Serikat juga menunjukkan bahwa 70 persen Demokrat mendukung interpelasi terhadap Donald Trump.

Nancy Pelosi

Tindakan kubu Demokrat untuk menginterpelasi Donald Trump telah menyebabkan Presiden Amerika Serikat menjadi marah dan menanggapi hal ini. John Yarmuth, ketua Komisi Anggaran DPR AS, mengatakan dalam sebuah wawancara dengan kantor berita CNN pada hari Rabu, "Proses interpelasi harus dimulai seiring dengan peningkatan jumlah anggota dewan yang menyerukan interpelasi Presiden Donald Trump." Alexandria Ocasio-Cortez, anggota dewan lain dari Demokrat juga meminta rekan-rekannya untuk memulai proses menginterpelasi Donald Trump dan mengatakan, "Tindakan Presiden telah mewujudkan syarat untuk interpelasi."

Intervensi wakil Demokrat yang sangat berpengaruh ini telah membawa gelombang tekanan kepada ketua DPR AS, Nancy Pelosi, tetapi Pelosi sampai saat ini menolak permintaan Demokrat untuk memulai proses interpelasi Trump. Pelosi pada hari Kamis, 23 Mei mengumumkan bahwa bertindak untuk menginterpelasi Presiden Donald Trump pada saat ini masih terlalu dini dan "sangat memecah belah".

Pelosi dan anggota senior Dewan Perwakilan Rakyat telah berusaha keras selama berbulan-bulan untuk menghentikan tuntutan anggota dewan tingkat rendah dari Demokrat untuk memulai proses interpelasi Trump. Pelosi pada hari Rabu mengatakan, kubu Demokrat di Kongres percaya bahwa Presiden Donald Trump sedang berusaha untuk menyembunyikan masalah ilegal dari semua orang. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat dalam percakapan dengan wartawan setelah pertemuan anggota dewan Demokrat menekankan, "Tidak seorang pun lebih tinggi dari huku, termasuk Presiden Amerika Serikat. Kami percaya presiden AS sedang menyembunyikan sesuatu."

Kubu Demokrat yang mengontrol Dewan Perwakilan Rakyat dan Trump terlibat dalam permainan kekuasaan yang berbahaya terkait kemampuan para wakil untuk melakukan interpelasi presiden. Sejumlah penyelidikan terhadap Trump yang dilakukan pelbagai komite di Kongres praktis menemui jalan buntu. Penelitian ini mencakup berbagai studi, bagian dari penyelidikan ini terkait kemungkinan tertutupnya hukum oleh Trump dalam proses penyelidikan Robert Mueller, penyidik khusus kasus dugaan keterlibatan Rusia dalam pemilu presiden Amerika dan sebagian lainnya terkait perusahaan dan kegiatan keuangan dan ekonomi pribadi presiden.

Trump berusaha bertahan menghadapi permintaan kubu Demokrat di Kongres agar ia mengirim tanda tagihan pajak tau kehadiran mantan penasihatnya agar memberikan kesaksian dihadapan anggota Kongres karena masih mengejar pemilu presiden 2020. Dengan kata lain, seolah-olah Trump dengan cara tertentu memprovokasi aliran radikal dalam Partai Demokrat untuk memaksa mereka memulai proses interpelasi presiden. Itupun dilakukan terhadap orang yang telah memiliki prestasi yang dapat diterima di sektor ekonomi dan bagian dari kubu konservatif yang berpengaruh dan kuat di Amerika Serikat serta ingin memenangkan pemilihannya kembali dalam pemilu mendatang.

Kegagalan Demokrat dalam menginterpelasi dan memakzulkan Trump sangat mungkin terjadi, apalagi dengan melihat dominasi kubu Republik di Senat dan hal ini bakal membuat mereka kalah dalam pemilu November 2020. Kecuali Demokrat bertindak menghindari kekalahan ini dengan menunda proses penyidikan kasus dugaan pelanggaran Trump setelah pemilu presiden 2020 dan ketika ia terpilih kembali dalam pemilu ini.

Nancy Pelosi dan Donald Trump

Sementara itu, Presiden AS sempat meninggalkan pertemuan dengan para pemimpin kubu Demokrat di Dewan Perwakilan Rakyat sebelum acara selesai. Donald Trum hari Rabu melakukan pertemuan dengan Nancy Pelosi, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Demokrat dan Ketua Senator minoritas Demokrat di Senat, Chuck Schumer. Setelah Trump mendengar tuduhan "ada yang disembunyikan" oleh Pelosi, ia langsung meninggalkan pertemuan tersebut. Presiden Amerika Serikat menulis di Twitter pada hari Kamis 23 Mei sebagai tanggapan atas dugaan "ada yang disembunyikan" Pelosi, "Itu terlihat disengaja dan sangat sopan dan tenang".

Trump juga membantah tuduhan kolusi dan aksi destruktif, lalu menggambarkan penyelidikan Demokrat sebagai "upaya menggulingkan" dirinya. Trump dalam sebuah konferenesi yang terburu-buru di Gedung Putih menanggapi Nancy Pelosi dan mengatakan kepada wartawan, "Tidak ada yang saya sembunyikan. Anda tahu lebih baik daripada siapa pun." 

Ancaman AS terhadap Turki Soal Pembelian S-400 dari Rusia

Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat dalam sikap terbarunya pada Rabu, 22 Mei mengancam bila kontrak pembelian sistem pertahanan rudal S-400 dari Rusia sudah final, Turki akan menghadapi konsekuensi berbahaya. Morgan Ortagus, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri AS dalam sebuah pernyataan mengatakan, "Kami telah mengatakan bahwa sistem pertahanan udara S-400 dan upaya untuk mendapatkannya akan memiliki konsekuensi serius bagi Turki dan hubungan militernya dengan Amerika Serikat dan NATO. Kami telah secara transparan mengumumkan dan berpartisipasi dalam komitmen kami, tetapi jika itu [telah final], akan ada konsekuensi yang sangat negatif bagi mereka."

Recep Tayyip Erdogan, S-400 dan Donald Trump

Turki memiliki kesempatan untuk menarik diri dari finalisasi kontrak pembelian S-400 dengan Rusia pada bulan Juni, jika tidak maka akan dikenakan sanksi AS karena impor teknologi militer dari Rusia. Turki pada tahun 2017 memutuskan untuk membeli sistem ini dari Rusia ketika upaya berulang negara ini untuk membeli pertahanan udara Patriot dari Amerika Serikat tidak berhasil.

Washington telah berulang kali mendorong Ankara untuk membatalkan rencananya membeli sistem pertahanan udara S-400 dari Rusia, dan telah berjanji untuk menggantikan Turki dengan sistem pertahanan rudal Patriotnya. Amerika Serikat bahkan untuk memaksa Turki tidak jadi membeli S-400 mengancam Turki bahwa bila negara ini tetap melanjutkan pembelian S-400, maka Washington akan menghentikan pengiriman jet tempur F-35 ke Ankara.

Amerika Serikat mengklaim bahwa sistem rudal S-400 Rusia berbahaya bagi sistem NATO, mengingat keanggotaan Turki di NATO, tetapi Ankara menyangkal klaim ini. Baru-baru ini, Mike Pence, Wakil Presiden AS mengancam Turki agar Ankara harus memilih tetap menjadi anggota NATO atau tetap membeli sistem anti rudal Rusia S-400."

Hulusi Akar, Menteri Pertahanan Turki akhirnya mereaksi berita-berita terkait tenggat waktu yang diberikan Amerika kepada negaranya. Akar mengatakan, "Ankara siap untuk menghadapi sanksi Amerika Serikat untuk membeli anti rudal S-400 Rusia."

Tags