Mempertanyakan Kejujuran AS untuk Memberantas Daesh
Amerika Serikat, Barat dan sekutunya di kawasan memiliki peran yang tak terbantahkan dalam menciptakan dan mendukung kelompok teroris takfiri Daesh (ISIS) untuk menggulingkan pemerintah sah Suriah.
Setelah Daesh gagal mencapai tujuannya dan AS tidak bisa lagi mengontrol kelompok teroris ini, Washington membentuk apa yang disebut sebagai koalisi internasional anti-Daesh untuk memberantas gerombolan bentukannya itu.
Media Amerika mengutip pejabat Pentagon pada Minggu pagi, 27 Oktober 2019 melaporkan bahwa militer AS berhasil membunuh Pemimpin Daesh Abu Bakar Al-Baghdadi dalam operasi khusus di barat laut Suriah.
Newsweek menyebutkan, operasi pada Sabtu malam dilakukan oleh pasukan khusus AS setelah menerima informasi terperinci tentang tempat persembunyian al-Baghdadi di Provinsi Idlib, Suriah.
Jaringan televisi al-Mayadeen juga melaporkan bahwa al-Baghdadi tewas di desa Barisha di distrik Harem di barat laut Idlib.
Sementara itu, jaringan CNN Amerika mengutip seorang pejabat Pentagon melaporkan bahwa pemimpin Daesh bunuh diri dengan meledakkan rompi bom bunuh diri ketika pasukan Amerika mendekat.
Seorang pejabat Pentagon mengatakan, tes DNA dan biometrik akan memastikan identitas al-Baghdadi, di mana jasadnya berada di tangan pasukan AS.
Setelah operasi selesai, Presiden AS Donald Trump pada Sabtu malam mengomentari operasi ini dalam tweetnya.
"Sesuatu yang sangat besar baru saja terjadi! Gedung Putih kemudian mengumumkan bahwa presiden akan membuat pernyataan utama," tulis Trump pada hari Minggu pukul 9:00 pagi.
Sebenarnya, AS telah menciptakan ruang bagi aktivitas al-Baghdadi sejak negara ini membebaskan gembong teroris ini dari penjara Abu Ghraib pada tahun 2009. Setelah Daesh terbentuk, AS juga memberikan dukungan finansial dan senjata kepada kelompok takfiri ini.
Dengan mengumumkan bahwa AS telah membunuh teroris Daesh yang telah melakukan berbagai kejahatan mengerikan di Suriah dan Irak dan negara-negara lainnya, Washington ingin menjaga rahasia atas perannya dalam menciptakan, mendanai dan mempersenjata kelompok teroris tersebut. Hal itu juga dilakukan menyusul berakhirnya tanggal kadaluwarsa Daesh.
Trump berulang kali mengklaim bahwa AS komitmen untuk melenyapkan Daesh. Klaim ini sepenuhnya bertentangan dengan fakta. Trump tampaknya lupa bahwa dirinya dalam kampanye pemilu presiden 2016 telah berulang kali menyebut pemerintahan Obama sebagai pihak yang menciptakan Daesh.
Faktanya, AS adalah pendiri dan pendukung utama Daesh. Oleh karena itu, Trump mengkritik pemerintahan Obama dan menjadikan isu ini sebagai bahan kampanyenya untuk menarik suara masyarakat Amerika.
Dalam pidato kampanye pada Januari 2016, Trump mengatakan, Barack Obama dan Hillary Clinton adalah orang-orang yang tidak jujur. Mereka membentuk Daesh. Clinton dan Obama menciptakan Daesh.
Setelah berkuasa, Trump berulang kali mengklaim bahwa AS memiliki peran kunci dalam memberantas Daesh melalui pembentukan dan pengarahan koalisi internasional anti-kelompok teroris ini. Klaim ini untuk memalingkan publik dari peran dan dukungannya atas terbentuknya Daesh.
Trump rupanya lupa bahwa AS menggunakan teroris Daesh untuk menggulingkan pemerintah sah Suriah. Namun setelah kelompok teroris ini gagal untuk mencapai tujuan tersebut, dan bahkan AS juga tidak bisa mengontrolnya, maka Washington membentuk apa yang disebut sebagai koalisi internasional anti-Daesh pada tahun 2014.
Setelah mengklaim bahwa Daesh di Suriah telah hancur, Trump menyerukan penarikan pasukan AS dari negara Arab ini. Dia mengeluarkan perintah pemindahan sebagian besar pasukan AS dari Suriah ke Irak sebelum dimulainya agresi militer Turki ke Suriah utara.
Alih-alih memerangi terorisme, pasca meletusnya krisis Suriah pada 2011, AS, Barat dan sekutu Arabnya justru memberikan dukungan finansial dan senjata kepada kelompok-kelompok teroris takfiri termasuk Daesh untuk menggulingkan pemerintahan Presiden Suriah Bashar al-Assad.
Menurut pakar politik Ivan Ipolitov, tujuan Amerika pada beberapa tahun terakhir adalah memperalat terorisme dan ekstremisme untuk memajukan kebijakan luar negeri negara ini, di mana konsekuensinya adalah melemahnya negara-negara di Asia Barat sehingga semakin tercipta ruang untuk pertumbuhan terorisme dan ekstremisme.
Pendekatan AS di Suriah menunjukkan bahwa sejak tahun 2011-2014, yaitu ketika Daesh menduduki sebagian wilayah Suriah dan sejumlah kota dan wilayah di Irak, AS memberikan dukungan logistik dan finansial kepada kelompok teroris ini.
Sejak Juni 2014, di mana AS membentuk apa yang disebut sebagai koalisi internasional anti-Daesh, tujuan Amerika adalah melindungi Daesh dan mengarahkannya untuk melakukan operasi anti-militer dan pemerintah Suriah serta sekutunya.
Dengan demikian, kejujuran AS untuk memberantas Daesh sepenuhnya dipertanyakan. Hal ini juga terlihat dalam pernyataan Trump bahwa memerangi Daesh di Suriah hanya menguntungkan Iran dan Rusia. (RA)