AS Tinjauan dari Dalam, 7 November 2020
(last modified Sat, 07 Nov 2020 07:19:21 GMT )
Nov 07, 2020 14:19 Asia/Jakarta
  • Donald Trump dan Joe Biden
    Donald Trump dan Joe Biden

Dinamika di Amerika Serikat pekan ini diwarnai pemilu presiden dan hasilnya. Mulai dari saling klaim menang para kandidat hingga ancaman serta menolak menerima kemenangan rival.

Selain itu, masih ada isu penting lainnya seperti tanggapan para politisi negara dunia mengenai pemilu presiden di AS, ulah pendukung Trump paksa dihentikannya penghitungan suara, potensi bentrokan di AS pasca pilpres.

Selangkah Lagi Menang, Joe Biden Mulai Dikawal Ketat Paspampres AS

Calon Presiden Amerika Serikat (AS) dari Partai Demokrat, Joe Biden, tampaknya tinggal selangkah lagi menuju Gedung Putih. Proses penghitungan suara masih berlanjut, tetapi peluang pria berusia 77 tahun itu sungguh besar.

Menyadur dari Washington Post, Sabtu (7/11/2020), hal itu membuat Joe Biden mulai mendapat pengawalan ketat dari Secret Service alias Pasukan Pengamanan Presiden AS. Pengawalan dilakukan ketika Joe Biden menuju markas tim kampanyenya di Wilmington, Delaware.

Joe Biden

Secret Service, di bawah naungan Departemen Keamanan Dalam Negeri AS, memang bertanggung jawab untuk melindungi Gedung Putih dan pejabat senior pemerintah. Mantan Presiden dan Wakil Presiden AS turut mendapat keistimewaan untuk pengawalan tersebut.

Sebagai mantan Wakil Presiden era 2008-2016, Joe Biden memang berhak mendapat keistimewaan tersebut. Namun, ia memilih tidak memanfaatkannya. Pengawalan baru dilakukan setelah Joe Biden mendapat tiket dari Partai Demokrat sebagai capres, Juli 2020.

Jika berhasil menang sebagai Presiden AS, maka pengawalan terhadap Joe Biden akan ditingkatkan ke level tertinggi. Hal tersebut wajar mengingat statusnya sebagai pemimpin negara adi kuasa.

Kemenangan memang sudah di ambang mata bagi Joe Biden. Hingga Sabtu (7/11/2020) pagi WIB, perolehan suara elektoralnya sudah menyentuh angka 264. Ia unggul jauh dari Donald Trump yang baru mengumpulkan suara elektoral 214.

Melihat masih ada negara-negara bagian yang belum menyelesaikan penghitungan, Joe Biden sangat yakin meraih kemenangan. Dalam pidatonya di Wilmington, Delaware, mantan pendamping Presiden Barack Obama itu percaya diri dapat meraup 300 suara elektoral.

“Kami akan memenangi pemilihan ini. Kami sedang dalam trek yang benar untuk mendapat lebih dari 300 suara dewan elektoral,” ujar Joe Biden saat berpidato di Wilmington, Delaware, mengutip dari The Guardian.

“Lihat saja angka penghitungan secara nasional. Kami sedang dalam trek yang benar dengan mayoritas suara berada di belakang kami. Total suara kami terus bertambah. Kami akan mengalahkan Donald Trump dengan selisih 4 juta suara,” tandasnya.

Donald Trump Minta Joe Biden Tidak Buru-Buru Klaim Kemenangan

Penghitungan suara Pemilihan Presiden (Pilpres) Amerika Serikat (AS) 2020 terus berlanjut. Calon petahana, Donald Trump, mendesak agar lawannya, Joe Biden, untuk tidak buru-buru mengklaim kemenangan.

Hingga Sabtu (7/11/2020) pagi, Joe Biden tampak selangkah lagi mengamankan 270 suara elektoral. Calon dari Partai Demokrat itu sudah mengumpulkan 264 suara, berbanding 214 milik Donald Trump. Masih ada beberapa negara bagian lain yang melakukan penghitungan suara, yang diprediksi menguntungkan Biden.

Donald Trump

Sadar lawannya hanya tinggal selangkah lagi menuju Gedung Putih, Donald Trump kembali mengungkapkan isi kepalanya lewat Twitter. Joe Biden diminta jangan buru-buru mengklaim kemenangan karena klaim serupa juga bisa dibuatnya.

“Joe Biden tidak seharusnya mengklaim kemenangan. Saya juga bisa membuat klaim serupa. Proses hukum sekarang baru dimulai!” cuit Donald Trump lewat akun @realDonaldTrump.

Cuitan tersebut diyakini untuk merespons hilangnya keunggulan Donald Trump di dua negara bagian penting, Pennsylvania dan Georgia. Calon dari Partai Republik itu sebelumnya sempat unggul jauh atas Joe Biden, tetapi perlahan keunggulan itu terkikis.

“Saya memegang keunggulan telak di negara-negara bagian ini hingga malam hari pemilihan, hanya untuk melihat keunggulan ini secara ajaib menghilang seiring berjalannya waktu. Mungkin keunggulan ini akan kembali seturut proses hukum!” lanjut Donald Trump.

Proses hukum memang menjadi upaya terakhir Donald Trump untuk mempertahankan posisinya di Gedung Putih. Kepada media, Jumat 6 November 2020 malam waktu setempat, sang presiden berjanji untuk terus berjuang keras.

“Kami yakin masyarakat Amerika pantas melihat transparansi penghitungan suara dan sertifikasi pemilihan umum. Ini bukan lagi soal satu pemilihan umum, tetapi integritas keseluruhan proses pemilihan umum,” tegas Donald Trump, dikutip dari Fox News.

Dugaan adanya kecurangan itu membuat Tim Kampanye Donald Trump meminta penghitungan suara di Nevada dihentikan. Pasalnya, mereka menduga ada puluhan ribu suara yang masuk, yang berasal dari orang-orang yang tidak lagi di tinggal di negara bagian tersebut.

Heiko Maas: Politikus AS harus Tunduk terhadap Hukum dan hasil Pemilu

Menteri Luar Negeri Jerman saat merespon pemilu presiden di Amerika Serikat merekomendasikan elit politik negara ini untuk tunduk pada hukum dan hasil pemilu.

Seperti dilaporkan FNA, Heiko Maas Rabu (4/11/2020) menyinggung statemen kandidat pemilu presiden AS terkait pemilu dan penghitungan suara serta mengatakan, "Penting untuk mempercayai hasil pemilu."

Heiko Maas

Sementara itu Menteri Pertahanan Jerman, Annegret Kramp-Karrenbauer saat diwawancarai televisi ZDF ketika merespon tensi pasca pemilu di Amerika mengatakan, kondisi ini bisa berujung pada sebuah krisis konstitusi di negara ini.

Donald Trump hari Rabu mengklaim kemenangan dirinya di pemilu meski belum ada hasil pasti dari penghitungan suara pilpres di negara ini.

Presiden Amerika ini juga menuding kubu Demokrat berusaha mencuri suara di pemilu presiden.

Sekaitan dengan ini dan menyusul unggulnya Joe Biden dari Donald Trump, tim sukses Trump berulang kali mengajukan gugatan untuk menghentikan laju suara elektoral Biden.

Berdasarkan laporan terbaru, Joe Biden memperoleh 264 suara elektoral dan Donald Trump sebanyak 214 suara.

Di sistem pemilu presiden Amerika, presiden negara ini dipilih melalui suara anggota Lembaga Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Amerika Serikat (United States Electoral College) yang berjumlah 538 orang.

Di proses ini, setiap kandidat presiden sedikitnya membutuhkan 270 suara elektoral untuk menang.

Pendukung Trump Paksa Dihentikannya Penghitungan Suara

Para pendukung presiden Amerika Serikat berkumpul di pusat penghitungan suara di negara bagian Arizona dan Michigan untuk menghentikan penghitungan suara lewat pos dan berusaha memasukinya dengan cara paksa.

Menurut laporan NBC News, sejumlah besar pendukung Presiden Donald Trump mencoba memasuki TPS di Arizona dan Michigan untuk menghentikan penghitungan suara, tetapi tidak berhasil karena kehadiran polisi.

Kantor Pemiu Presiden Arizona selanjutnya mengumumkan bahwa para petugas kantor ini akan melanjutkan pekerjaannya sampai penghitungan surat suara selesai.

Sebelum Arizona, Detroit, dan Michigan juga menjadi tempat protes para pendukung presiden AS, yang berunjuk rasa di depan TPS untuk menghentikan pemungutan suara.

Pendukung presiden AS berusaha mencapai TPS di Detroit, tetapi kehadiran pasukan keamanan dan polisi mencegah mereka melakukannya.

Sementara itu, kampanye Donald Trump telah memulai tindakan hukum untuk menghentikan penghitungan pemilihan umum presiden di negara bagian Michigan, Pennsylvania, dan Georgia.

Kampanye Donald Trump juga menuduh Demokrat melanggar hak pemilih pro-Republik.

Donald Trump telah berulang kali menegaskan kemenangannya dan mengklaim bahwa jika kandidat Demokrat Joe Biden menang, berarti ada kecurangan dalam pemilu.

Potensi Bentrokan Bersenjata Pasca Pilpres AS

Perang politik dan bahkan bentrokan bersenjata berpeluang pecah di Amerika Serikat di tengah berlanjutnya ketegangan dan kerusuhan yang belum pernah terjadi sebelumnya atas hasil pemilu presiden 2020.

Donald Trump Jr, putra tertua presiden AS, dalam sebuah twit berkata, "Hal terbaik untuk masa depan Amerika adalah @realDonaldTrump berperang total atas pemilihan ini untuk mengungkap semua penipuan, kecurangan, pemilih yang sudah mati dan tidak lagi di negara bagian itu, yang telah berlangsung terlalu lama."

Mantan penasihat senior Trump, Stephen K. Bannon mengatakan bahwa jika Presiden Trump memenangkan kembali pemilu, ia harus segera menghilangkan Anthony S. Fauci, ahli penyakit menular terkemuka di AS dan Direktur FBI Christopher A. Wray melalui eksekusi abad pertengahan.

Pemilu di Amerika

Pernyataan ini menunjukkan bahwa Trump dan para pendukung fanatiknya sedang mempersiapkan perang besar-besaran dan bahkan berdarah dengan apa yang mereka sebut sebagai "sistem korup" di AS. Tentu saja, Trump sendiri terus berbicara tentang rencananya menggugat hasil pemilu melalui pengadilan.

Trump dalam sebuah wawancara, yakin bahwa para hakim Mahkamah Agung Federal pada akhirnya akan membatalkan suara, yang dituduhnya curang dan mengkonfirmasi kemenangan capres Partai Republik dalam pemilu.

Pertanyaan ini sudah berkali-kali diutarakan kepada kalangan politik dan media, dan bahkan masyarakat Amerika, kira-kira bagaimana reaksi para pendukung fanatik jika Mahkamah Agung akhirnya tidak memilih Trump sebagai presiden?

Bukti-bukti menunjukkan bahwa AS sedang bergerak dari "perang dingin internal" ke arah "perang keras." Perang dingin internal ini dimulai bertahun-tahun lalu, bahkan sebelum Trump memasuki Gedung Putih pada Januari 2017, ketika kaum konservatif dan liberal Amerika memilih meninggalkan toleransi politik dan berusaha untuk secara fisik menyingkirkan satu sama lain dari kancah politik AS.

Dalam pertarungan ini, sebuah gerakan yang kemudian dikenal sebagai Trumpisme menyingkirkan saingan mereka pada pemilu 2016 sebagai "rezim penguasa yang korup di Amerika."

Sekarang giliran rival-rival Trumpisme untuk menyingkirkan Trump dan pendukungnya pada pemilu 2020, dengan menggunakan semua alat kekuasaan mulai dari undang-undang pemilu hingga komunitas intelijen dan media.

Balas dendam politik-ideologi ini telah menempatkan AS pada situasi politik terburuk sejak berakhirnya Perang Saudara pada tahun 1864. Selama lebih dari 150 tahun, masyarakat Amerika tidak pernah begitu terpecah, saling bermusuhan, dan sarat akan kebencian, dan kemarahan.

Saat ini kesalahan salah satu pihak bisa menyulut api peperangan di AS. Meskipun dari segi perkembangan sosial-politik di Amerika, kemungkinan terulangnya perang saudara seperti di masa lalu tidak akan terjadi, namun perang dengan peralatan modern diprediksi akan pecah di negara itu.

Kecuali para politisi Amerika mengesampingkan permusuhan dan membangun jembatan untuk mengatasi kerawanan sosial-politik yang mendalam di negara itu, sebuah proses yang tampaknya sangat sulit atau bahkan tidak mungkin.